
Salah satunya adalah Heriawan (64) yang telah berhari-hari datang ke Disdik Kota Bandung untuk memperjuangkan anaknya. Ia berjuang karena merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem zonasi PPDB 2018.
"Anak saya itu dari kelas satu sampai enam selalu rangking. Bahkan nem anak saya paling tinggi di sekolahnya 274,5," ujar Heriawan di Kantor Disdik Kota Bandung, Jalan Ahmad Yani, Kamis (12/7/2018).
Dengan modal nilai tinggi, Heriawan pede anak perempuannya itu bisa lolos. Terlebih ada tetangga rumahnya yang berjarak kurang dari 200 meter dengan nilai yang lebih rendah berhasil masuk ke SMPN 35.
"Tapi ternyata tidak lolos anak saya. Anehnya tetangga saya itu hitungan jarak ke sekolah hanya 1,6 kilometer, sementara saya 3,1 kilometer. Padahal jarak tetangga ke rumah saya itu hanya 200-300 meter," ungkap dia
Mendapati hal itu Heriawan dibuat kecewa dan marah. Terlebih ia mencium kecurigaan anaknya tidak lolos karena ada kecurangan. "Saya didik anak baik-baik, ikut bimbel. Dia dari kelas satu sampai kelas enam selalu rangking. Bahkan nilai nem tertinggi di sekolahnya," tutur dia
Ia menilai jika sistem PPDB tidak segera dibenahi maka motivasi anak untuk berlomba-lomba meraih prestasi bisa kalah dengan mereka yang tinggal dekat sekolah. "Ya sudah, enggak usah lagi cape-cape bimbel. Toh sekarang anak males-malesan asal rumahnya deket bisa masuk sekolah (negeri)," ujar dia
Pria yang sehari-hari bekerja sebagai seorang wirausahawan ini hingga kini belum mendaftarkan anaknya ke SMP swasta. Ia masih berharap ada kejelasan dari Disdik mengenai apa yang terjadi saat ini.
Tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Siti Zulaeha (49). Anak perempuannya yang mendaftar melalui sistem zonasi harus gigit jari karena ditolak di SMPN 35 dan SMPN 19 Kota Bandung.
"Ke SMPN 35 itu jaraknya 1,4 KM, kalau SMPN 19 cuma 731 meter. Anak saya skornya 225 tapi ditolak dua-duanya," kata warga Jalan Dipatiukur itu.
Ia mengatakan hingga saat ini anaknya masih dibuat kecewa dan terus bersedih. Namun karena harus bersekolah, sang anak kini rela masuk ke SMP swasta yang berada di Simpang Dago.
"Saya ke sini hanya minta jaminan keringanan biaya, karena saya pakai KIP. Anak saya di swasta belum apa-apa sudah harus bayar Rp 2,25 juta, Rp 1,25 juta harus kontan sisanya bisa dicicil dua kali. Saya minta ada keringanan," ucap ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh cuci itu.
Pantauan detikcom puluhan orang tua siswa yang bermasalah dengan PPDB masih berkumpul di Kantor Disdik Kota Bandung. Sebagian dari mereka masih berharap anaknya bisa bersekolah di negeri, sementara lainnya meminta jaminan keringanan sekolah di swasta.
Di sisi lain, seratusan massa dari berbagai kelompok ormas dan LSM melakukan demo di halaman Kantor Disdik Kota Bandung. Mereka sama-sama mempertanyakan kinerja pemerintah yang tidak bisa menangani permasalahan PPDB 2018.
(tro/mud)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Murka Ortu di Bandung yang Anaknya Tersingkir Zonasi PPDB"
Post a Comment