Oleh: Rusydan Abdul Hadi
KIBLAT.NET – Sepakbola dengan segala pernak perniknya adalah kegiatan yang paling membangkitkan gairah dan gelora massa dalam masyarakat kontemporer. Sepertinya saya tak perlu melakukan riset ataupun mengutip tulisan seorang ahli untuk membuktikan kebenaran tesis tersebut. Dan saya pun tak perlu melakukan apapun untuk membuat anda mempercayai kebenarannya.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kegairahan sepakbola terutama melalui sifat tontonannya yang semakin mutakhir -kini kita tak lagi berebut membeli tabloid BOLA dan SOCCER di hari jumat, kita tak perlu repot-repot menggeser-geser antena TV untuk mendapatkan siaran yang jernih, namun kini kita bahkan bisa menyaksikan gocekan ciamik Evan Dimas melewati dua pemain UAE dari ruang yang paling privat sekalipun, toilet contohnya- seakan-akan telah menjadi gravitasi kehidupan manusia milenial, di mana semua mata, pikiran, jiwa, bahkan totalitas hidup berpusat dan patuh terhadap hukum-hukumnya.
Laga final Piala Dunia 2018 telah menghipnotis milaran mata, mereka rela mengabaikan status dan peran mereka –presiden, menteri, koruptor, direktur, karyawan, OB, polisi, teroris, ustadz, imam rawatib, bahkan maling sandal- dalam rentang waktu sembilan puluh menit lebih sekian ratus detik; mampu menenggelamkan jutaan warga Kroasia dalam pemujaan setingi-tingginya terhadap bintang sepakbola mereka, Luka Modric, sembari melupakan dosa sang bintang yang memberi kesaksian palsu dalam kasus korupsi dan penggelapan pajak oleh Zdravko Mamic, mafia sepakbola Kroasia.
Piala Dunia 2018 juga telah membuat repot ulama Al Azhar untuk berfatwa mengenai bolehnya pemain timnas Mesir meninggalkan puasa ramadhan, sembari melupakan berbagai masalah dan kekacauan yang berkepanjangan di negeri itu, bahkan mampu membuat Monotosh Halder, seorang penggemar Lionel Messi asal India bunuh diri karena kecewa.

Monotosh Halder, (kiri) fans Lionel Messi yang bunuh diri karena kecewa melihat Timnas Argentina kalah.
Pertanyaannya, mengapa sepakbola sebagai satu cabang olahraga bisa menjadi layaknya sebuah satelit, yang di mana orang-orang secara sukarela patuh mengelilingi orbitnya, dan terbuai dengan segala rayuannya? Mungkin ungkapan Antti Karisto, professor Universitas Helsinki bisa sedikit menjawab, bahwa “olahraga adalah satu cara mengisi kehampaan kehidupan modern dengan cara mendekatkan diri pada pengalaman puncak dan menantang bahaya.”
Baca juga: Olahraga dan Nasionalisme di Dunia Global
Ketika seseorang mengeluarkan seluruh energi yang berlebihan dalam dirinya maka sampailah dia pada titik puncak kelelahan, di sanalah diperoleh sebuah pengalaman, yang dalam bahasa Yasir Amir Piliang, dosen ITB Bandung disebut sebagai pengalaman ekstasi. Dalam artian perilakunya seperti orang yang terperangkap dalam pil ekstasi; mengalami pengalaman puncak, meninggalkan realitas, dan kehilangan rasa malu.
Christopher Lasch dalam The Culture of Narcissism mengatakan bahwa “olahraga merupakan candu masyarakat konsumer, yang mampu mengalihkan massa dari masalah-masalah nyata mereka menuju dunia mimpi glamour dan kegairahan ekstasi.” Yasir Piliang dalam Sebuah Dunia yang Dilipat manambahkan bahwa “sepak bola, misalnya, dapat melupakan orang sejenak dari kemiskinan, kesusahan, kelaparan, bencana alam, bahkan perang!”
Yah, mungkin kita perlu sedikit berterima kasih kepada Grup Band Pussy Riot, aksi “lari-lari kecil” mereka di Stadion Luzhniki 15 Juli lalu setidaknya menyadarkan beberapa pihak bahwa di balik senyum ramah Vladimir Putin terhadap tamu-tamu Piala Dunia, Putin tetaplah Putin, pemimpin otoriter bagi warga Rusia, yang tangannya berlumur darah warga Suriah.
Dari sisi penonton, hooliganisme adalah salah satu bentuk lain ekstasi sepak bola. Dalam skala lokal contohnya, Bonek Surabaya dengan slogannya SALAM SATU NYALI, WANI dengan mudah kita pahami sebagai sebuah kerelaan dan kesediaan melakukan apapun demi sepakbola; rela menjadi tak bermoral, menjarah kios-kios warga demi selembar tiket pertandingan.
Dengan konsekuensi rela mati demi Persebaya, seorang Bonek tewas dan belasan lainnya kritis dalam sebuah bentrokan dengan sekumpulan warga Solo yang kiosnya dijarah. Yang dicari para bonek bukanlah keindahan sebuah gol, melainkan puncak kegembiraan sekaligus kekecewaan. Sebagaimana suntikan ekstasi, kegembiraan serta kekecewaan yang ekstrem dapat menghasilkan pengalaman puncak berupa pelemparan, pemukulan, dan perkelahian.
Dari segi tontonan, pertandingan sepak bola kini mempunyai kekuasaan untuk mengatur jadwal kehidupan manusia. “Saya harus bangun tengah malam untuk menonton final Liga Champion”, “Karena dini hari saya menonton bola, maka besok pagi saya akan titip absen dan membolos kuliah”, “untuk mendapatkan tiket Asian games, saya harus ikut antrian yang mengular dari stadion Patriot hingga rumah sakit Mitra keluarga”, “agar saya mendapatkan tempat duduk yang nyaman, saya harus memasuki stadion pukul dua siang, tak apalah sesekali libur shalat ashar.”
Sepak bola dengan tetek bengeknya kini telah menjelma menjadi semacam perangkat terapi personal dan sosial masyarakat konsumer. Semua berawal dari sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada tiga hal, keuntungan, keuntungan, dan keuntungan, dan ironisnya kapitalisme tidak mempunyai pijakan yang kokoh mengenai adab serta moralitas, bahkan keduanya seringkali menjadi musuh terbesar.
Sehingga, para pemegang kapital akan berusaha mati-matian menawarkan perangkat-perangkat alternatif untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat konsumer, perangkat-perangkat semu yang hanya mempermainkan emosi tanpa kedalaman makna. Sinetron, drama, musik, dan yang terhebat sepak bola telah sukses melalaikan masyarakat konsumer dari sejenak merenungi kehidupannya sembari menghadap Tuhannya, dan di atas kelalaian inilah nafas kapitalisme bersambung.
Pada akhirnya, olahraga khususnya sepak bola telah kehilangan nilainya sebagai media penyehatan jasmani. Hari ini, ketika seorang anak belasan tahun mahir menggocek bola, kepalanya telah dijejali impian-impian semu; menembus tim sepakbola sekolah, menjadi pemain sepak bola pro, bermain di klub besar, bermain di timnas, bermain di piala dunia, menjadi pemain terbaik dunia lalu tergagap menjawab pertanyaan, “menjadi pemain terbaik dunia untuk apa?”
https://www.kiblat.net/2018/08/26/ekstasi-sepak-bola/Bagikan Berita Ini
0 Response to "Ekstasi Sepak Bola"
Post a Comment