Rusia menyatakan, jika Georgia gabung NATO, akan menyebabkan konflik baru yang “mengerikan”. Sementara itu, Negara Barat lain siap menyambut Georgia. Bulan lalu, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, menegaskan kembali dukungan untuk keanggotaan Georgia pada sebuah pertemuan di Brussels, tetapi tidak menyebutkan kapan itu bisa terjadi.
Oleh: RFE/RL
Sepuluh tahun setelah Rusia dan Georgia berperang, Negara Barat pada tanggal 7 Agustus mengecam kehadiran militer Moskow yang terus berlanjut di wilayah negara Kaukasus tersebut. Mereka menegaskan kembali dukungan untuk kedaulatan dan integritas teritorial Georgia.
Sebelumnya, Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev mengeluarkan peringatan keras kepada NATO, bahwa bergabungnya Georgia dengan aliansi militer Barat tersebut dapat menyebabkan konflik baru yang “mengerikan”.
Medvedev mengatakan dalam sebuah wawancara dengan stasiun radio Kommersant FM pada tanggal 6 Agustus, rencana NATO untuk akhirnya menawarkan keanggotaan kepada Georgia “benar-benar tidak bertanggung jawab” dan sebuah “ancaman terhadap perdamaian”.
Pada tanggal 7 Agustus 2008, pasukan Georgia meluncur ke wilayah Ossetia Selatan yang didukung Rusia. Ini adalah upaya untuk merebut kembali wilayah itu dari apa yang disebut Tbilisi sebagai militerisasi Rusia yang sedang berkembang.
Konflik meletus menjadi perang lima hari, di mana pasukan Rusia melaju jauh ke dalam Georgia sebelum menarik diri, setelah perjanjian damai yang ditengahi Uni Eropa.
Konflik tersebut—di mana Tbilisi dan Moskow saling menuduh dimulai oleh satu sama lain—menyebabkan ratusan orang tewas dan mengusir ribuan orang dari rumah mereka.
Setelah perang tersebut, Rusia meninggalkan ribuan pasukan di Ossetia Selatan dan wilayah lain yang memisahkan diri, Abkhazi. Dan mengakui keduanya sebagai negara merdeka.
Menandai peringatan 10 tahun konflik tersebut, Georgia dan Amerika Serikat (AS) pada tanggal 7 Agustus mengecam “pendudukan” Rusia yang terus berlanjut di wilayah Georgia.
“Ini adalah perang melawan Georgia, sebuah agresi, pendudukan, dan pelanggaran mencolok terhadap hukum internasional,” kata Presiden Georgia Giorgi Margvelashvili dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh Menteri Luar Negeri dari Latvia, Lithuania, Polandia, dan Wakil Perdana Menteri Ukraina.
“Nafsu penyerang justru meningkat setelah invasi tersebut,” tambahnya.
“Agresi” terhadap Georgia tidak dimulai pada Agustus 2008, tetapi jauh lebih awal, pada tahun 1991-1992, ujar Presiden Georgia, ketika “Rusia memisahkan dua wilayah dari pemerintah pusat Georgia, dengan cara perang hibrida.”
‘Pilihan Berdaulat Georgia’
Dalam sebuah pernyataan bersama, para menteri Latvia, Lituania, Polandia, dan Ukraina menyerukan kepada masyarakat internasional untuk terus menuntut agar Rusia “sepenuhnya dan tanpa penundaan lebih jauh, menerapkan komitmen internasionalnya dan mulai menghormati hukum internasional dan hak negara-negara tetangga yang berdaulat untuk menentukan nasib mereka sendiri.”
Mereka juga menyatakan “dukungan kuat untuk pilihan berdaulat Georgia untuk mengejar tujuan akhir keanggotaan di Uni Eropa dan NATO.”
Bulan lalu, Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, menegaskan kembali dukungan untuk keanggotaan Georgia pada sebuah pertemuan di Brussels, tetapi tidak menyebutkan kapan itu bisa terjadi.
Sebelum perang Rusia-Georgia, para pejabat Rusia telah menegaskan, mereka dengan keras menentang upaya Georgia untuk mencapai keanggotaan NATO.
“Sepuluh tahun pendudukan adalah sepuluh tahun yang terlalu lama,” kata Kedutaan Besar AS di Tbilisi dalam sebuah pernyataan.
“Kami akan terus bekerja sama dengan pemerintah dan rakyat Georgia dan dengan teman-teman dan sekutu kami, untuk memastikan dukungan dunia yang terus berlanjut untuk kedaulatan dan integritas teritorial Georgia dalam batas-batas yang diakui secara internasional,” katanya, dan menambahkan, “Georgia, kami bersamamu.”
Uni Eropa memuji perjanjian gencatan senjata yang mengakhiri pertempuran tersebut, dan menyebut kehadiran militer Rusia yang berkelanjutan di Ossetia Selatan dan Abkhazia merupakan “pelanggaran hukum internasional” dan melanggar perjanjian tersebut.
“Uni Eropa menegaskan kembali dukungannya yang kuat terhadap kedaulatan dan integritas teritorial Georgia dalam batas-batas yang diakui secara internasional,” kata sebuah pernyataan.
Dalam sebuah wawancara dengan Current Time TV pada tanggal 6 Agustus, Mikheil Saakashvili—yang merupakan Presiden Georgia pada saat konflik tahun 2008—mengatakan bahwa motif Rusia dalam perang tersebut adalah untuk menyerang “kenegaraan Georgia.”
Saakashvili mengatakan bahwa Moskow khawatir, karena reformasi telah membuat negara Kaukasus Selatan tersebut menjadi “contoh” bagi negara lain di kawasan itu.
Dengan pelaporan oleh AP, AFP, dan dpa.
Keterangan foto utama: Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev berbicara saat wawancara dengan Kommersant di kediaman negara Gorki di luar Moskow, pada tanggal 6 Agustus. (Foto: TASS/Kantor Pers Pemerintah Rusia)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Rusia Peringatkan Konflik 'Mengerikan' Jika Georgia Gabung NATO"
Post a Comment