Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) sudah intervensi di pasar surat berharga negara (SBN) dengan melakukan pembelian kembali mencapai Rp 11,9 triliun. Hal itu disampaikan Bank Indonesia saat rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Komisi XI DPR RI memanggil jajaran Bank Indonesia (BI) perihal kondisi rupiah saat ini. Mata uang Garuda tersebut nilainya terus merosot terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Dalam pertemuan tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo membeberkan kondisi nilai tukar rupiah terkini. Perry menjelaskan, rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat disebabkan oleh faktor eksternal.
Faktor yang dimaksud adalah kondisi ekonomi global yang tengah bergejolak. Ekonomi AS menguat dan terus menaikkan suku bunga acuannya sementara negara lain melemah.
Selain itu, perang dagang yang terjadi antara AS dan China juga telah memicu pelemahan nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Pola ekonomi dunia memang didasarkan kuatnya ekonomi AS, sementara negara-negara lain mengalami perlambatan, ini kenapa dolar AS kuat dan yang lain lemah," kata Perry di ruang rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Rabu 5 September 2018.
Dalang utama pelemahan rupiah adalah keagresifan The Federal Reserve (The Fed) yaitu bank sentral AS yang terus menaikkan suku bunga acuannya.
Pada 2018, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya lebih dari perkiraan pasar yaitu sebanyak empat kali sepanjang 2018. Padahal, prediksi awal The Fed hanya akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali. Selain itu, US treasury bond juga meningkat semula kisaran dua persen sekarang sudah menjadi tiga persen.
Hal tersebut otomatis membuat para investor tergoda dan menarik dana mereka di negara-negara berkembang dan memindahkannya ke negeri Paman Sam tersebut. Otomatis persediaan Dolar di negara-negara berkembang menjadi berkurang.
"Ini juga semakin dorong investor global pindahkan portofolionya ke AS. Ini faktor-faktor yang sebabkan dolar kuat secara luas," ujar dia.
Selain faktor eksternal, ada juga faktor internal yang turut melemahkan posisi rupiah terhadap dolar AS. Yaitu membengkaknya defisit transaksi berjalan atau Current Account Defisit (CAD).
Sebagai informasi, CAD saat ini sudah mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan defisit transaksi berjalan pada kuartal II 2018 tercatat sebesar USD 8 miliar.
Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya sebesar 1,96 persen dan juga lebih besar dibandingkan dengan kuartal I-2018 yang hanya sebesar 2,2 persen dari PDB atau USD 5,5 miliar.
Sementara itu, sepanjang 2017 Indonesia mengalami defisit neraca transaksi berjalan sebesar 1,7 persen dari GDP tahun 2017.
Sementara negara berkembang lainnya yang mengalami defisit, antara lain Argentina defisit 4,8 persen, India defisit 1,9 persen, Brazil defisit 0,48 persen, Filipina defisit 0,8 persen, Turki defisit 5,5 persen, dan Afrika Selatan defisit 2,5 persen.
Jika CAD membengkak, otomatis kebutuhan akan valuta asing (valas) akan meningkat dimana hal tersebut bisa semakin membuat Rupiah terkapar di pasar. "Makanya fokus kita tangani adalah kondisi CAD, ini yang harus menjadi fokusnya,” ujar dia.
Sebagai otoritas moneter RI, BI juga tidak berpangkau tangan saja. Dalam kondisi saat ini BI sudah meningkatkan intensitas intervensi pasarnya. Perry mengungkapkan, terhitung hingga saat ini BI telah mengeluarkan dana sebanyak Rp 11,9 triliun.
"Kalau kita lihat, Kamis, Jumat, Senin, kita juga sudah lakukan,Kamis sudah Rp 3 triliun, Jumat Rp 4,1 triliun , Senin Rp 3 triliun, kemarin Rp 1,8 triliun," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Efek Rupiah Merosot Belum Pengaruhi Harga Barang"
Post a Comment