FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Pengungkapan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan PLTU Riau 1 semakin trengginas. Setelah KPK menetapkan sejumlah tersangka dari beberapa politisi Partai Golkar, kini lembaga antirasuah itu bakal membidik parpol tersebut dengan pidana korporasi.
“Kami akan lihat perkembangannya seperti apa, apakah parpol (partai politik, Red) bisa disamakan dengan korporasi,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat mengikuti kegiatan di Pulau Ayer, Kepulauan Seribu, Jakarta, kemarin (1/9).
Rencana pengkajian tersebut merupakan buntut “nyanyian” Eni Maulani Saragih yang mengaku diperintah partai untuk mengawal proyek PLTU Riau 1.
Sejauh ini KPK belum pernah menerapkan tindak pidana korporasi untuk parpol. Seluruh tersangka korporasi yang ditetapkan sebagai tersangka selama ini merupakan perusahaan. Di antaranya PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati terkait dugaan korupsi proyek pembangunan dermaga bongkar muat pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Sebelumnya KPK juga pernah menetapkan PT Duta Graha Indah (DGI) yang kini telah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit (RS) Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana tahun anggaran 2009-2010.
Lalu, seberapa jauh peluang parpol menjadi tersangka korupsi? Pakar hukum Asep Iwan Iriawan menjelaskan, sesuai dengan UU Pemberantasan Tipikor, parpol telah memenuhi klasifikasi korporasi. Sebab, dalam undang-undang itu, korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik berbadan hukum maupun bukan badan hukum.
“Partai kan kelompok orang, pasti punya kekayaan dan pasti berbadan hukum, jadi pasti masuk (klasifikasi korporasi, Red) dong,” ujar mantan hakim tersebut kepada Jawa Pos kemarin.
Kang Asep -sapaan akrab Asep Iwan Iriawan- menjelaskan, secara teknis pelaksanaan pidana korporasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Karena itu, KPK tidak perlu ragu lagi menerapkan pasal tersebut. “KPK seharusnya berani,” tegasnya.
Perma itu secara jelas mengatur batasan korporasi yang dapat dipidana. Di pasal 3, misalnya, disebutkan, pidana korporasi adalah pidana yang dilakukan orang yang memiliki hubungan kerja. Nah, dalam hal ini, Partai Golkar masuk kategori itu karena memiliki hubungan dengan Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham.
Selain di pasal 3, batasan tersebut diatur dalam pasal 4. Bunyinya antara lain pidana dijatuhkan kepada korporasi yang dinilai mendapat keuntungan dari tindak pidana. Dalam kasus ini, kuasa hukum Eni menyebutkan bahwa kliennya membantu biaya Rp 2 miliar untuk kegiatan musyawarah nasional luar biasa (munaslub) Partai Golkar pada akhir 2017. Uang itu merupakan bagian dari suap PLTU Riau 1.
Asep menambahkan, batasan lain pidana korporasi adalah pembiaran dan tidak adanya langkah pencegahan pidana yang dilakukan. Batasan tersebut bersifat alternatif. Artinya, penegak hukum tidak perlu memenuhi semua unsur itu.
“Syarat ini (pertanggungjawaban korporasi, Red) bukan kumulatif, artinya bisa satu saja dipenuhi,” ungkapnya.
Merujuk pengakuan Eni yang diperintah partainya untuk mengawal proyek PLTU Riau 1, Asep menyatakan bahwa hal itu bisa menjadi pintu masuk KPK untuk menjerat partai dengan pidana korporasi.
“Sekarang yang pembiaran, nggak mencegah dan dapat keuntungan saja kena, apalagi diperintah,” tandas pria yang juga menjadi dosen di sejumlah universitas itu.
Meski demikian, Asep tidak mau menyebut secara lugas bahwa Partai Golkar layak menjadi tersangka. Sebab, hal tersebut bukan kewenangannya, melainkan kewenangan KPK. “Saya nggak bilang partai apa pun. Yang jelas, kalau partai A sampai Z masuk kualifikasi itu (pidana korporasi, Red), ya KPK harus berani dong,” tuturnya.
Lalu, apa imbasnya bila parpol nanti terbukti melakukan korupsi? Asep mengungkapkan, korporasi merupakan subjek hukum yang bisa dipidana. Artinya, posisinya sama dengan tersangka-tersangka yang lain. Bahkan, korporasi bisa dijatuhi hukuman tambahan berupa penutupan seluruh atau sebagian. “Partai itu (yang terbukti melakukan pidana korporasi, Red) bisa dibubarkan,” tegasnya.
Di sisi lain, Eni terus membuka lebih jauh perannya dalam kasus suap PLTU Riau 1. Setelah mengaku hanya sebagai petugas partai yang diperintah mengawal proyek tersebut, wakil ketua Komisi VII DPR yang juga istri bupati Temanggung terpilih M. Al Khadziq itu telah mengembalikan uang Rp 500 juta ke KPK. Uang tersebut merupakan bagian suap Rp 4,8 miliar dari Johannes B. Kotjo.
Sementara itu, Jawa Pos belum bisa mendapatkan konfirmasi dari pihak Partai Golkar. Hingga berita ini selesai ditulis pukul 22.10, upaya konfirmasi yang dilayangkan kepada Wasekjen Partai Golkar Maman Abdurrahman belum mendapat respons. Sebelumnya, Maman memberikan pernyataan bahwa kasus PLTU Riau 1, khususnya dugaan keterlibatan kader Golkar, tidak berpengaruh terhadap partainya. (tyo/byu/c9/tom/JPC)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "KPK 'Bidik' Partai Golkar Dengan Pidana Korporasi"
Post a Comment