Search

Mengelola Konflik, Memaksimalkan Dampak

Mengelola Konflik, Memaksimalkan Dampak
Oleh Shinta Widjaja Kamdani | Rabu, 17 Oktober 2018 | 7:00

Berbicara tentang komoditas ekspor utama Indonesia, setiap orang pasti akan mengacu pada minyak kelapa sawit. Pada tahun 2017, pangsa pasar komoditas ini mencapai sepertujuh dari total ekspor Indonesia ke dunia dengan jumlah hampir US$ 23 juta. Namun sayangnya, angka yang sangat besar itu tidak mencerminkan potensi sebenarnya.

Sebagai industri berbasis lahan yang beroperasi dekat dengan masyarakat, konflik sosial seringkali terjadi dalam bisnis ini. Sebuah penelitian yang dilakukan pada 2016-2017 menggambarkan bagaimana pelaku bisnis seperti perkebunan kelapa sawit menanggung biaya besar karena konflik tersebut.

Sebuah studi mengenai hal ini yang diprakarsai oleh Indonesia Business Council for Sustainable Development-Conflict Resolution Unit (IBCSD-CRU ) menemukan beberapa data yang mengejutkan. Hal ini menunjukkan bahwa konflik sosial --termasuk konflik berbasis lahan--, telah menghasilkan biaya riil (tangible), yang bersifat langsung dan faktual, dan biaya tidak berwujud (intangible) yang langsung dan sering tidak terdokumentasi.

Biaya riil diperkirakan sekitar US$ 70.000 – US$ 2.500.000 akibat hilangnya potensi pendapatan dan hilangnya kesempatan. Risiko biaya ini termasuk kehilangan laba, staf dan biaya hukum, kompensasi, atau naiknya biaya produksi. Angka tersebut mewakili 51-88% dari biaya operasional perkebunan, dan 102-177% dari investasi tahunan per hektare. Persentase tersebut berasal dari total biaya peruntukan untuk menangani konflik.

Selain itu, konflik sosial juga membawa biaya tidak berwujud atau ‘tersembunyi’ mulai dari US$ 600.000 – US$ 9.000.000. Biayabiaya ini merupakan kerugian tidak langsung yang diakibatkan oleh risiko eskalasi konflik, risiko reputasi, dan risiko kekerasan terhadap properti dan orang.

Tantangan lingkungan dan sosial dalam konflik berbasis lahan, telah ada dan masih akan ada di dunia bisnis, termasuk di Indonesia. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengakui bahwa penggunaan lahan atau pengembangan pengelolaan lahan rentan terhadap konflik.

Solusi Alternatif

Bencana lingkungan dan konflik sosial telah menyebabkan kerugian ekonomi besar-besaran di dunia. Mengutip Marga Hoek dalam bukunya The Trillion Dollar Shift, Hoek mengatakan bahwa bisnis dan modal telah berkontribusi pada masalah ini, dan mis- alokasi sumber daya yang dibayar dengan kemanusiaan dan lingkungan dalam bisnis adalah kenyataan yang mahal.

Persentase biaya yang besar akibat konflik lingkungan dan sosial akan mengarahkan bisnis menuju apa yang disebut sebagai hambatan ekonomi. Lebih lanjut, mungkin bijaksana untuk merenungkan bahwa benihbenih konflik tumbuh sebagai akibat dari ketidakadilan ekonomi, baik yang dirasakan atau yang sudah berlangsung sejak lama antara berbagai segmen masyarakat. Namun, Hoek optimistis bahwa bisnis juga memiliki solusi.

Untuk mengatasi masalah ini, Kadin telah melakukan segala daya dan upaya untuk memberikan dukungan dalam menyediakan payung hukum sebagai sarana alternatif bagi penyelesaian konflik secara efektif. Konflik bila dipecahkan dengan baik bisa diubah menjadi hubungan positif, yang pada akhirnya dapat menghasilkan tidak hanya nilai ekonomi tetapi juga keuntungan sosial dan lingkungan.

Sebagaimana diamanatkan oleh UU No 1/1987, Kadin terus berusaha untuk menyeimbangkan dan melestarikan sumber daya alam dengan tetap mengambil peran dalam pembangunan ekonomi. Salah satu inisiatif yang dilakukan adalah mengembangkan buku pegangan praktis tentang resolusi konflik yang berisi beberapa konsep dasar dalam penanganan konflik sosial berbasis lahan yang timbul dari kegiatan usaha. Buku ini juga berisi beberapa tahapan penting penyelesaian konflik, mulai dari mekanisme pengaduan, resolusi, dan implementasi resolusi sampai cara untuk mengakhirinya.

Tambah lagi, buku ini, yang telah diproduksi melalui serangkaian lokakarya intensif juga memberikan beberapa rekomendasi kepada pelaku usaha untuk meminimalisasi biaya konflik berbasis lahan, peningkatan kebijakan dan prosedur manajerial, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan lokal, peningkatan pengetahuan, pencegahan konflik melalui praktik terbaik, dan mitigasi lintas yurisdiksi.

Bekerja sama dengan pemangku kepentingan lainnya, Kadin melalui Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan (IBCSD) ingin membuka jalan untuk memecahkan masalah ini. Dan sebagai perwujudannya, Kadin telah membentuk lembaga mediasi bisnis yang memiliki komitmen penuh untuk fokus pada resolusi konflik dalam bentuk IBCSD-Unit Resolusi Konflik (IBCSD-CRU). CRU didirikan untuk mendorong mediasi sebagai pendekatan efektif dalam mencapai resolusi dalam konflik pengelolaan lahan dan sumber daya alam. CRU tidak menengahi konflik itu sendiri, tetapi menyediakan berbagai dukungan untuk memastikan bahwa penyelesaian konflik dilakukan sesuai dengan praktik terbaik yang tersedia.

Menyelesaikan konflik seringkali merupakan jalan panjang berliku. Tetapi, dengan mengakui pentingnya pemahaman dan keterlibatan semua pihak resolusi pasti dapat dicapai. Sebagai contoh, CRU telah berhasil menciptakan situasi komunikasi yang terbuka antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan masyarakat lokal yang sedang berkonflik, di Nabire, Papua.

Di Jambi, melalui koordinasi aktif dengan pemerintah lokal, kami membantu terwujudnya kesepakatan antara perkebunan kelapa sawit dan masyarakat lokal guna mengakhiri konflik atas tanah yang telah berlangsung bertahun-tahun.

Selain meningkatkan kesadaran dan pengembangan kapasitas dalam resolusi konflik, CRU juga telah berhasil memfasilitasi pelatihan untuk 40 mediator guna mendapatkan sertifikasi dalam mengelola konflik lahan dan sumber daya alam. Inisiatif-inisiatif ini memberikan model sementara mengenai resolusi konflik yang dapat memberikan pihak-pihak yang bertentangan akses terhadap dukungan proses mediasi sehingga mampu membangun kepercayaan baik masyarakat maupun pelaku usaha.

Ketika konflik dapat diselesaikan secara efisien, dan kerugian akibat konflik dapat dihindari, ini akan menjadi kontribusi positif bagi perbaikan iklim bisnis Indonesia. Memecahkan konflik sumber daya alam dan sosial di dunia bisnis secara tidak langsung juga akan mendorong praktik bisnis yang berkelanjutan sehingga hal ini juga merupakan bagian penting

dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dengan menanamkannya ke dalam solusi bisnis dan dalam pengelolaan konflik, bisnis dapat meningkatkan dampaknya secara signifikan, tidak hanya secara sosial atau lingkungan tetapi juga secara ekonomi.

Melihat kondisi ekonomi global saat ini dan ketergantungan kita yang masih besar terhadap ekspor komoditas, kita tidak boleh mengabaikan risiko sekecil apa pun. Tidak hanya kelapa sawit, komoditas berbasis lahan lainnya seperti coklat, kopi, atau gula yang berkontribusi banyak pada ekonomi juga rentan terhadap risiko seperti ini. Oleh karena itu, resolusi konflik adalah salah satu pondasi penting dalam membangun masa depan ekonomi nasional yang lebih kuat dan tangguh.

Shinta Widjaja Kamdani, Presiden Dewan Bisnis Indonesia untuk Pembangunan Berkelanjutan, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Let's block ads! (Why?)

http://id.beritasatu.com/home/mengelola-konflik-memaksimalkan-dampak/181640

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Mengelola Konflik, Memaksimalkan Dampak"

Post a Comment

Powered by Blogger.