:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2413681/original/034233200_1542813716-Ilustrasi_Bima_Sakti.jpg)
Pelatih legendaris asal Belanda, Foppe de Haan, dalam sebuah perbincangan santai dengan Bola.com pada pertengahan 2007 silam pernah berujar:
"Jangan pernah hakimi pemain muda atas sebuah kegagalan dan juga memuji mereka setinggi langit atas sebuah gelar juara. Biarkan mereka berproses dalam proses pembinaan. Nanti saat mereka ada di level senior, buah dari pembinaan yang baik akan kita petik dengan sendirinya."
Dalam kesempatan berbeda, Sudirman, mantan pilar Timnas Indonesia era 1990-an mengungkapkan komentar kurang lebih sama.
"Turnamen usia dini itu pembinaan. Jangan juga bicara target juara di sana. Pemain baru hebat ketika mereka juara di level senior. Keberhasilan diukur di sana," ucap mantan stoper tangguh yang jadi salah satu anggota skuat Timnas Indonesia saat memenangi SEA Games 1991.
Pernyataan Ratu Tisha kian mempertegas sikap plin-plan PSSI, karena dalam sejumlah kesempatan Edy Rahmayadi selalu mengungkapkan kalau gol utama prestasi federasi ada prestasi Timnas Indonesia level senior. Pembentukan timnas-timnas diarahkan untuk mengerek prestasi Tim Merah-Putih level junior bermuara ke senior. Kegagalan Timnas Indonesia di Piala AFF 2018 seakan jadi tamparan.
Kegagalan Timnas Indonesia melangkah jauh di Piala AFF 2018 sejatinya sudah bisa diraba sebelum turnamen dihelat. Keputusan berani PSSI mendapuk Bima Sakti menjadi pelatih kepala Tim Garuda karena kegagalan mereka bernegosiasi dengan Luis Milla awal petaka.
Bima yang minim pengalaman (tak pernah punya pengalaman jadi pelatih kepala selepas pensiun tahun 2016) langsung dihadapkan tekanan tinggi. Mantan pesepak bola yang mentas bersama Timnas Primavera di medio 1990-an itu secara terus terang tak berani menjanjikan gelar juara.
"Pelatih kelas dunia mana pun tidak ada yang bisa bisa menjamin tim pasti juara. Jose Mourinho atau Pep Guardiola. Mereka tidak bisa memberi jaminan. Yang bisa saya lakukan adalah berusaha keras, menciptakan tim yang solid, sehingga kami bisa punya kans di Piala AFF," ujar Bima Sakti.
Keinginan PSSI agar Bima bisa mengadopsi metode latihan Luis Milla karena pernah jadi asistennya pada periode 2017-2018 rasanya terlampau naif. Ia mungkin bisa mengadopsi sistem latihan ala Milla, namun tugas pelatih tidak berhenti sampai di situ.
Ia harus cerdik membaca permainan. Hal itu harus diasah lewat pengalaman. Pelatih Timnas Inggris, Gareth Southgate, butuh waktu mematangkan diri beberapa tahun di level junior sebelum naik kelas ke Tim Negeri Singa Senior.
Mantan pilar Timnas Indonesia era 1970-an, Risdianto, berharap publik sepak bola nasional tak menghakimi Bima Sakti atas kegagalan ini. "Bima Sakti pelatih muda dan langsung mendapat tekanan. Kesalahan ada di pihak yang menunjuk, dalam artian PSSI. Membebani pelatih baru untuk turnamen sebesar ini tentu tidak tepat. PSSI yang harus disalahkan," tegas Risdianto.
Kritikan bernada serupa juga dilontarkan pelatih senior, Freddy Mulli.
"Ini pelajaran bagi tim teknik PSSI, bahwa pengalaman itu sangat berpengaruh, terutama dalam menganalisis jalannya pertandingan dan membuat keputusan setelah skema main yang dirancang tidak jalan. Kemampuan dalam teorinya mungkin bagus, tapi untuk memimpin pertandingan membutuhkan pengalaman," ujar Freddy.
"Menurut saya, PSSI, dan semua pihak harus introspeksi dan melakukan evaluasi untuk mengetahui apa saja kelemahan Timnas di Piala AFF 2018. Setelah itu, diperbaiki yang kurang. Itu jauh lebih penting daripada cari-cari siapa yang salah," terangnya.
Apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. PSSI punya waktu dua tahun mengevaluasi diri, sehingga Timnas Indonesia akhirnya nanti bisa jadi yang terbaik di Piala AFF 2020. Semoga cerita pahit di edisi turnamen ini bisa jadi pengalaman berharga.
https://www.vidio.com/watch/1517957-2-gol-timnas-indonesia-ke-gawang-thailand-di-piala-aff-2018
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Bye Bye Piala AFF 2018, Timnas Indonesia Memang Tidak Pantas ..."
Post a Comment