Benjamin Netanyahu memilih untuk menyepakati gencatan senjata di Gaza, mencegah keributan dan perperangan melawan Hamas. Keputusan yang menuai kontroversi dalam pemerintahan Israel. Kebijakan Gaza Netanyahu mungkin bisa mencegah perang tapi membuatnya kehilangan koalisi.
Baca juga: Gencatan Senjata Berlaku di Gaza, Pemerintahan Israel Mungkin Akan Runtuh
Oleh: Herb Keinon (The Jerusalem Post)
Setiap tahun pada hari ke-enam pada bulan Ibrani, Kislev, hari kematian perdana menteri pendiri Israel David Ben-Gurion, perdana menteri Israel—bersama presiden, pemimpin oposisi dan kepala angkatan bersenjata—pergi ke selatan ke Sde Boker untuk memberi penghormatan pada makamnya, dan makam istrinya, Paula.
Dan setiap tahun perdana menteri, siapapun itu, akan memetik sesuatu dari warisan kebijakan Ben-Gurion untuk menjelaskan kebijakan mereka saat itu.
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu melanjutkan tradisi itu pada hari Rabu, berbicara pada upacara yahrzeit (peringatakan kematian) ke-45 Ben-Gurion. Hal itu terjadi beberapa jam sebelum Menteri Pertahanan Avigdor Liberman mengumumkan pengunduran dirinya yang mengejutkan. Liberman membingkai keputusan itu sebagai protes atas persetujuan pemerintah terhadap gencatan senjata dengan Hamas sehari sebelumnya, sesuatu yang ia sebut sebagai “kapitulasi kepada terorisme.”
“Saya berdiri di sini di makam David Ben-Gurion, perdana menteri pertama Negara Israel dan seorang pemimpin yang hebat dari bangsa Yahudi. Di waktu-waktu krisis, Ben-Gurion mengambil keputusan yang menentukan. Terkadang ia melakukannya melawan pendapat populer, namun seiring waktu, keputusan-keputusan tersebut terbukti benar,” ujar Netanyahu.
“Dalam waktu-waktu normal, seorang pemimpin harus memperhatikan keinginan hati warganya, dan masyarakat kita bijaksana. Namun di masa-masa krisis ketika membuat keputusan penting dalam bidang keamanan, publik tidak selalu bisa menjadi mitra dalam pertimbangan penting yang harus disembunyikan dari musuh.”
Lalu, jelas sambil memikirkan Liberman, dia melanjutkan, “Pada masa-masa ini, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang mudah; kepemimpinan adalah tentang melakukan hal yang bnar, bahkan walaupun itu sulit. Kepemimpinan terkadang berarti menghadapi kritik, ketika Anda tahu informasi rahasia dan sensitif yang tidak bisa Anda bagi kepada warga negara Israel, dan dalam kasus ini pada penduduk di Selatan, yang sangat saya cintai dan hargai.”
Pesannya sederhana: Liberman mengambil jalan yang rendah—rute yang mudah dan populer; sementara dia—Netanyahu—mengambil jalan yang lebih bermartabat, melakukan hal yang benar walaupun lebih tidak populer, walaupun berujung pada kritikan.
Dengan warga yang panas atas serangan Hamas kepada penduduk sipil, dengan kesabaran penduduk menipis setelah hampir delapan bulan teror dari Gaza, jalur yang populer adalah dengan menggunakan lebih banyak kekuatan melawan Hamas; setidaknya itulah jalur populer bagi sayap kanan negara itu, yang mendukung Likud, partai Yisrael Beytenu Party-nya Liberman dan Bayit Yehudi-nya Naftali Bennett.
Namun bagi Netanyahu hal yang benar, di pikirannya, adalah untuk menghindari perang di Gaza yang akan berujung pada lebih banyak kematian sipil dan tentara. Keputusan yang setelahnya akan menempatkan Israel di titik awal: tanpa ada solusi yang terlihat tentang Gaza.
Netanyahu mengatakan sejauh itu dalam konferensi pers yang blak-blakan di Paris pada hari Minggu, hanya beberapa jam sebelum apa yang tampaknya misi intelijen yang berakhir buruk di Jalur Gaza, berujung pada terbunuhnya seorang tentara IDF dan tujuh teroris, termasuk komandan Brigade Qassam, Nur Barakeh.
Ditanya tentang visinya untuk gaza, Netayahu mengatakan tidak ada solusi diplomatik untuk jalur pesisir selama Hamas—dengan ideologi yang berkomitmen pada penghancuran Israel—menguasainya. Sama seperti tidak ada solusi diplomatik untuk Negara islam atau Iran, yang juga ingin menghancurkan negara Yahudi.
“Ada pemerintahan-pemerintahan. ada organisasi-organisasi, yang dengan mereka Anda tidak akan mendapatkan perjanjian diplomatik, karena mereka ingin membunuh Anda,” ujarnya, menambahkan pada saat itu resolusi terbaik adalah untuk mengembalikan ketenangan dan “membuat suatu perjanjian, dan siapapun yang mengatakan hal lain tidak tahu apa yang mereka bicarakan.”
Dan itulah masalah Liberman—masalah yang ia ungkapkan dalam konferensi pers ketika ia mengumumkan pengunduran dirinya. Daripada melumpuhkan Hamas, Netanyahu memilih—didukung oleh semua kepala keamanan—untuk mengembalikan ketenangan, dan lalu mencapai kesepakatan yang akan memberi ketenangan untuk periode yang lebih lama.
Liberman menyebutkan hal ini sebagai kapitulasi pada terorisme; Netanyahu memiliki nama lain: pengakuan atas realita dan kepemimpinan. Karena keputusan Liberman cepat atau lambat akan berujung pada pemilihan, negara akan segera bisa memutuskan mana menurut mereka yang benar.
Netanyahu telah siap menghadapi hal ini, dan menyiapkan argumennya. Pada konferensi pers Paris, dia mengutarakan pendapatnya yang selama ini hanya dibahas di balik ruangan tertutup, pendapat yang akan menjelaskan pertimbangannya.
Di Paris untuk bergabung dengan para pemimpian dunia memperingati berakhirnya Perang Dunia I—perang di mana jutaan tentara berangkat menjemput ajal dengan sorak-sorai rekan sewarganegara mereka masih terdengar di telinga—Netanyahu mengatakan bahwa perang tidaklah perlu, bahwa ia merasa sudah menjadi tugasnya untuk mencegah perang yang tidak perlu.
“Setiap perang memakan korban; saya tidak akan menghindarinya jika memang perlu, tapi akan mencoba mencegahnya jika memang tidak perlu,” ujarnya. Netanyahu lalu menjelaskan bahwa pertimbangannya, berbicara tentang pria-pria muda yang meninggalkan orang tua mereka dengan ikhlas pergi berperang, beberapa dari mereka tidak kembali pulang.
“Saya melihat apa yang terjadi pada keluarga mereka, saya melihat apa yang terjadi pada para pemuda itu—itu adalah harga yang sangat mahal, untuk menyepelekan korban sipul. Saya melihat hal itu, saya mengalaminya. Hal itu tidak mencegah saya untuk mengambil tindakan—kita mengambil tindakan ketika harus, dan telah melakukan hal itu beberapa kali, but saya selalu memikirkannya, dan saya rasa setiap perdana menteri harus memikirkan hal itu.
“Anda bertanggung jawab atas keamanan, dan ketika diperlukan, Anda mengirim orang-orang untuk mengorbankan nyawa mereka, dan Anda melakukannya—tapi jika ada cara untuk mencegah hal itu, dan untuk mendapatkan hasil yang ama, maka itu adalah tanggung jawab Anda. Akankah Anda mendapatkan kritikan dari sana sini? Ya, tapi untuk hal itulah seseorang dipilih untuk memimpin,” ujarnya.
Dalam benak Netanyahu, jika ia bisa mengembalikan ketenangan melalui gencatan senjata jangka panjang, bahwa hal itu bisa dipilih untuk mendapatkan hasil yang sama dengan melalui kampanye militer yang menyeluruh, yang akan mengorbankan nyawa prajurit dan penduduk sipil—terutama karena tak ada satupun yang akan menyelesaikan permasalahan Gaza untuk selamanya.
Dia juga menyiratkan pada konferensi pers itu, bahwa dia memiliki kekuatan politik yang cukup untuk melakukan pilihan ini.
“Pada akhirnya Anda akan mengumpulkan kredit politik dan harus menggunakannya pada masa sulit, dan saya melakukan hal itu dengan pemahaman bahwa inilah misi saya,” ujarnya.
Kebijakan ini, di masa ketika masyarakat turun ke jalan meminta respons Israel yang lebih agresif, dan di masa ketika ada sentimen yang menyebar luas bahwa respons yang lebih kuat dari Israel dibutuhkan, adalah pertaruhan politik. Untuk alasan ini, Netanyahu akan memilih untuk memundurkan waktu pemilihan suara selama mungkin, jadi kejadian dari beberapa hari terakhir akan memudar dari pikiran masyarakat, digantikan oleh kejadian-kejadian lain.
Inilah kenapa Liberman menginginkan pemilihan sekarang juga, kenapa dia menekan isu ini sekarang. Seperti Netanyahu yang bertaruh bahwa menahan diri akan mendulang suara, Liberman bertaruh bahwa mendorong perang akan menyelamatkan partai dan karir politiknya.
Dalam beberapa minggu belakangan, Liberman telah menyerukan pendekatan Israel yang lebih agresif, didorong ke arah ini oleh Bennett. Dia mengatakan hal itu merupakan bentuk tanggung jawab militer Israel terhadap Gaza. Tidak ada satupun dari hal ini yang terbukti membantu posisi politiknya, seiring polling menunjukkan, dukungan terhadapnya menurun.
Sharon Gal, seorang jurnalis dan mantan anggota partai Yisrael Beytenu, meruntuhkan anggapan bahwa Liberman benar, berbicara panjang lebar menentang menteri pertahanan ini dalam siaran radionya di hari Selasa.
Menyebut Liberman seorang “mainan Rambo,” ia mengatakan bahwa sementara ratusan roket ditembakkan dari Gaza ke arah Israel, menteri pertahanan itu duduk diam.
Baca juga: Warga Israel dan Palestina Waspada Setelah Gencatan Senjata Dimulai
“Saya merasa malu pernah menjadi anggota Knesset di parati Yisrael Beytenu di bahwa menteri pertahanan ini, yang tidak melakukan apa-apa kecuali berbicara. Saya tidak akan melupakan program budaya Sabat, dimana ia mengatakan, ‘Rekam saya: Jika saya menjadi menteri pertahanan, dalam waktu 48 jam (pemimpin Hamas Ismail) Haniyeh akan mati.’ Sungguh omong kosong. Haniyeh masih hidup, dan Anda tak bersuara.”
Liberman berhenti tidak bersuara saat mengumumkan pengunduran dirinya, dan walaupun dia membingkai hal ini sebagai sikap prinsipil untuk membela posisinya, terlihat ada perhitungan politik juga: mematahkan argumen-argumen seperti Gal.
Polling instan di Channel 2 pada Rabu malam menunjukkan bahwa taruhannya terbayar, dan bahwa jika pemilihan suara dilakukan hari ini, Yisrael Beytanu—yang pada polling sebelumnya hanya mengambil lima kursi—mencuat jadi tujuh, lebih satu dari yang mereka dapatkan di pemilihan terakhir.
Tapi itu hanya dari satu survei. Cepat atau lambat, penduduk negara akan bergerak ke bilik suara, dan salah satu pertanyaan yang akan dijawab adalah apakah penahanan diri Netanyahu terhadap Gaza adalah kepemimpian atau kapitulasi, dan apakah tindakan Liberman adalah tindakan prinsip yang terhormat atau sekedar oportunisme politik.
Keterangan foto utama: Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Avigdor Liberman yang saat menjabat sebagai menteri luar negeri di Knesset, 3 Februari 2014. (Foto: Flash90/Times of Israel)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Netanyahu vs Liberman: Persilihan yang Bisa Gulingkan Pemerintahan Israel"
Post a Comment