Search

Partai politik dan kampanye 4.0

Ilustrasi: Pengendara motor melintas di depan deretan alat peraga kampanye caleg tidak berizin di depan Stadion Galuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (2/11/2018).

Ilustrasi: Pengendara motor melintas di depan deretan alat peraga kampanye caleg tidak berizin di depan Stadion Galuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (2/11/2018). | Adeng Bustomi /ANTARA FOTO

Kompetisi partai politik pada Pemilu 2019 diprediksi akan berlangsung ketat. Pertama, ambang batas parlemen (parlementary treshold) naik jadi 4 persen dari sebelumnya 3,5 persen. Kedua, jumlah partai nasional bertambah dari 12 pada Pemilu 2014 kini menjadi 16 partai pada Pemilu 2019.

Ketiga, pemilu legislatif dan pemilu presiden digelar secara seretak. Hal ini menyebabkan konsentrasi publik terbelah. Kuat kemungkinan perhatian publik lebih mengarah pada kontestasi pilpres (pemilihan presiden). Apalagi dalam banyak riset disebutkan, figur ID di Indonesia lebih dominan ketimbang party ID.

Keempat, lantaran digelar serentak, maka akan berlaku efek ekor jas (coat-tail effect), yakni partai yang paling asosiatif dengan capres-cawapres akan mendapatkan insentif elektoral. Tragisnya, efek ekor jas biasanya hanya dinikmati oleh partai yang kadernya jadi capres ataupun cawapres.

Fakta ini terkonfirmasi dengan hasil berbagai survei. PDI Perjuangan dan Gerindra, misalnya, kini menjadi partai yang elektabilitasnya terus meroket jauh meningalkan partai-partai lainnya.

Situasi tersebut makin kompleks mengingat jumlah pemilih milenial pada Pemilu 2019 sangat dominan. Proyeksi data BPS menyebutkan pemilih milenial sekitar 45 persen dari total pemilih nasional.

Merujuk pendapat Elwood Carlson dalam The Lucky Few: Between the Greatest Generation and the Baby Boom (2008), generasi milenial adalah mereka yang lahir dalam rentang tahun 1983–2001.

Kelompok milenial merupakan generasi yang tak terpisahkan dari teknologi seperti ponsel pintar, tablet, laptop dan komputer. Mayoritas mereka pengguna media sosial dan melek informasi. Sebanyak 81,7 persen generasi milenial pengguna Facebook,70,3 persen menggunakan Whatsapp,dan 54,7 persen memiliki Instagram (Survei CSIS, Agustus 2017)

Itu artinya, partai politik yang tidak adaptif dengan perkembangan zaman dipastikan akan “ketinggalan kereta”. Alih-alih bisa masuk lima besar, bisa lolos parlementary treshold saja mungkin sekadar mimpi.

Zaman sudah berubah. Sekarang ini kita memasuki era 4.0. Era ini ditandai dengan munculnya revolusi industri ke-4 yang dimulai dengan revolusi internet.

Era 4.0 menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik mengingat data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebutkan, pengguna internet di Indonesia mencapai 143,26 juta jiwa atau 54,68 persen dari total populasi 262 juta orang.

Kampanye 4.0

Fakta di atas menunjukkan bahwa di era 4.0, kampanye konvensional seperti pengerahan massa serta pemasangan baliho dan spanduk sudah kurang relevan dan efektif lagi. Saat ini diskursus ide, gagasan, dan visi-misi mulai berpindah ke ruang-ruang virtual (maya). Strategi kampanye pun bergeser dari pendekatan berbasis massa menjadi personal.

Sebagai contoh, media sosial kini menjadi salah satu sarana kampanye paling efektif. Melalui media sosial, sebuah ide ataupun gagasan dapat dengan cepat tersebar tanpa sekat ruang dan waktu.

Lewat akun Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube misalnya, hanya dengan sekali meng-upload atau men-twit, sebuah informasi langsung tersebar luas ke seluruh pengikut (follower). Bahkan jika informasi tersebut mampu diolah dengan baik, maka bisa menjadi viral.

Dalam politik, kerja media sosial efektif bukan lantaran penggunaannya yang masif, namun karakteristik media sosial sendiri punya multi-fungsi. Media sosial mampu menghadirkan kampanye yang tidak monolog, namun justru membuka ruang-ruang dialektika karena ada sarana untuk catting,komentar dan lain sebagainya.

Douglas Hagar dalam Campaigning Online: Social Media in the 2010 Niagara Municipal Elections (2014) pernah mengatakan bahwa media sosial memiliki pengaruh penting dalam keberhasilan sebuah kontestasi politik. Hal itu lantaran watak media sosial yang cenderung dialogis, yakni memberi kesempatan para calon pemilih untuk berdialog dua arah dengan kandidat/partai politik.

Ini berbeda dengan model kampanye tradisional (baliho dan spanduk) yang cenderung searah. Di media sosial, komunikasi politik antara kandidat/partai politik dan calon pemilih bahkan bisa multiarah, seperti dari kandidat/partai politik ke pemilih, pemilih ke kandidat/partai politik, atau antarpemilih.

Penelitian Tasente Tanase (2015) menunjukkan hal sama. Media sosial menjadi sarana efektif untuk melalukan penetrasi ke pemilih.

Efektivitas tersebut tidak hanya karena sang kandidat/partai politik dapat langsung berkomunikasi dengan calon pemilih, namun di media sosial berlaku hukum viral. Jadi bisa saja pendukung kandidat/partai politik menyebarluaskan materi kampanye dari akun kandidat/partai politik dengan modifikasi ataupun “bumbu-bumbu” tertentu sehingga memancing perbincangan hangat di dunia maya.

Salah satu kampanye menggunakan media sosial yang sukses dan kemudian menjadi rujukan banyak negara adalah kampanye presiden Barack Obama tahun 2008 di Amerika Serikat. Pemilu tersebut sering digambarkan sebagai kampanye pemilu pertama di mana penggunaan media sosial memiliki dampak yang menentukan.

Melalui website my.barackobama.com, tim cyber Obama menyebarluaskan gagasan dan visi-misi Barack Obama ke seantero penduduk AS. Kampanye berbasis web tersebut dirancang dengan baik, fleksibel dan dinamis, sehingga mampu menarik simpati pemilih di semua level (Ardha, 2014: 105-120).

Mengubah strategi

Karena itu, sudah saatnya politik saat ini mengubah strategi dalam berkampanye. Kampanye konvensional (menggunakan baliho dan baliho serta berbasis massa) memang masih diperlukan untuk menjangkau pemilih yang tinggal di perdesaan dan perbatasan, namun kampanye 4.0 (menggunakan media sosial dan sarana virtual lainnya serta berbasis personal) merupakan suatu keharusan mengingat jumlah pemilih milenial yang dominan dan pengguna internet lebih dari separuh penduduk Indonesia.

Memang perubahan strategi kampanye ini sudah pelan-pelan dijalankan sejumlah partai politik. Sekadar contoh, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misal, merupakan salah satu partai yang getol menggunakan media sosial sebagai sarana kampanye. Selain PSI, kesadaran tentang pentingnya kampanye 4.0 juga lahir dari Partai Golkar.

Dalam pembukaan Rapat Koordinasi Teknis Partai Golkar di Jakarta, 20 Oktober 2018 lalu, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menyampaikan pentingnya metode baru dalam kampanye politik, yaitu microtargeting (penargetan spesifik) dengan pemanfaatan media sosial (Kompas, 9/11/2018). Golkar menyarankan kepada seluruh kadernya menggunakan media sosial untuk menyusun strategi kampanye politik yang efektif dan lebih spesifik.

Tentu selain untuk mengais kemenangan elektoral, menurut saya, kampanye 4.0 melalui media sosial juga dapat jadi solusi alternatif di tengah banyaknya media mainstream saat ini yang kerap jadi “corong politik” mengingat pemiliknya adalah orang partai. Karena itu, kampanye melalui media sosial ibarat sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Ali Rif’an, Direktur Riset Monitor Indonesia

Let's block ads! (Why?)

https://beritagar.id/artikel/telatah/partai-politik-dan-kampanye-40

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Partai politik dan kampanye 4.0"

Post a Comment

Powered by Blogger.