Search

Presiden Sri Lanka: 'Saya Bubarkan Parlemen untuk Hindari Konflik'

Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena membubarkan Parlemen pada hari Jumat (9/11). Keputusan itu disayangkan dan membuat prihatin komunitas internasional. Presiden mengatakan, ia mengambil keputusan kontroversial tersebut untuk menghindari kekerasan.

Oleh: Krishan Francis (Associated Press)

Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena mengatakan dia membubarkan Parlemen dan menyerukan agar pemilihan segera dilangsungkan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kekerasan di dalam Parlemen dan di seluruh negeri. Hal ini ia maksudkan jika pemungutan suara harus diambil untuk memutuskan siapakah di antara perdana menteri pilihannya atau saingannya yang dipecat, yang mendapatkan dukungan mayoritas.

Dalam pidato yang disiarkan televisi negara hari Minggu (11/11) malam, Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena mengatakan dia mendengar cerita dari para anggota parlemen di kedua sisi akan adanya kemungkinan kekerasan di Parlemen yang bahkan bisa mengakibatkan kematian dan bentrokan yang menyebar ke seluruh penjuru negeri.

“Tampaknya bagi saya bahwa, jika saya mengizinkan Parlemen untuk bersidang pada tanggal 14 November 2018, tanpa membubarkannya, hal itu dapat menimbulkan keributan dan konflik di setiap kota dan desa yang akan mengarah pada situasi yang sangat tidak menyenangkan dan sulit bagi rata-rata warga di negara tercinta saya,” katanya.

“Karena itu, solusi terbaik adalah tidak mengizinkan 225 anggota di Parlemen untuk saling bertarung maupun membiarkan konflik berkembang menjadi perkelahian jalanan di setiap bagian negara. Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya untuk menciptakan situasi bagi 15 juta pemilih di negara ini dalam mengambil keputusan akhir dengan memilih anggota Parlemen melalui pemilihan yang bebas dan adil.”

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan para pemerintah asing telah menyatakan keprihatinan atas keputusan Sirisena untuk membubarkan Parlemen pada hari Jumat (9/11) dan pemecatan sebelumnya dari Ranil Wickremesinghe, yang digantikan dengan mantan penguasa Mahinda Rajapaksa yang ditunjuk Sirisena. Wickremesinghe mengatakan pemecatannya tidak konstitusional dan bahwa ia masih memiliki dukungan mayoritas di Parlemen.

Sirisena awalnya menangguhkan Parlemen hingga tanggal 16 November 2018, menunda kemungkinan menguji mayoritas. Dia kemudian membubarkan Parlemen Sri Lanka setelah tidak dapat memperoleh dukungan untuk Rajapaksa dan menyerukan diadakannya pemilu pada tanggal 5 Januari 2019. Beberapa partai politik mengatakan mereka akan mengajukan petisi ke Mahkamah Agung pada hari Senin (12/1) untuk membatalkan pembubaran Parlemen.

Pernyataan dari kantor Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres baru-baru ini menyatakan keprihatinan.

“Sekretaris Jenderal menggarisbawahi pentingnya menghormati proses dan institusi demokratis serta menyelesaikan perbedaan sesuai dengan aturan dan proses hukum,” tutur wakil juru bicaranya Farhan Haq.

Dalam pidatonya kepada Sri Lanka, Sirisena juga mengeluarkan peringatan tentang Wickremesinghe yang masih menetap di kediaman resmi perdana menteri. Dia mengatakan hanya perdana menteri barunya dan menteri Kabinet yang berhak menggunakan kendaraan dan aset negara pada saat transisi. Sirisena mengatakan dia akan mengerahkan polisi untuk mengambil alih aset negara dan mengambil tindakan hukum terhadap pelanggar jika aset tersebut tidak diserahkan.

Sirisena dan Wickremesinghe, yang memimpin partai-partai yang secara tradisional saling berlawanan, adalah bagian dari pemerintah koalisi yang canggung hingga Wickremesinghe dipecat pada tanggal 26 Oktober 2018.

Ketegangan telah terus meningkat selama beberapa waktu antara Sirisena dan Wickremesinghe, yang telah memperkenalkan reformasi ekonomi yang tidak disetujui oleh presiden. Sirisena juga menuduh Wickremesinghe dan anggota kabinet lain merencanakan untuk membunuhnya, tuduhan yang berulang kali ditepis oleh Wickremesinghe.

Sirisena juga telah mengkritik investigasi terhadap personel militer yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia selama perang sipil panjang Sri Lanka melawan kelompok separatis Tamil, yang berakhir pada tahun 2009. Rajapaksa, yang memerintah sebagai presiden dari tahun 2005 hingga 2015, dianggap sebagai pahlawan oleh mayoritas etnis Sinhala karena telah memenangkan konflik. Namun ia kalah dalam pemilihan kembali pada tahun 2015 di tengah tuduhan nepotisme, korupsi, dan kekejaman masa perang.

Rajapaksa pada hari Minggu (11/11) meninggalkan partai politiknya yang lama dan bergabung dengan partai yang lain, dalam sebuah langkah yang dapat melemahkan Sirisena. Rajapaksa bergabung dengan Sri Lanka People’s Front, sebuah partai di mana dia menjadi pemimpin bayangan selama berbulan-bulan. Sejumlah besar anggota Partai Kebebasan Sri Lanka yang mengusung Sirisena kemungkinan akan bergabung dengan Rajapaksa karena ia memiliki pengikut terbesar di antara mereka.

Namun, Rajapaksa maupun Sirisena mengatakan mereka akan menghadapi pemilu tanggal 5 Januari 2019 bersama.

Ratusan orang berkumpul di Kolombo, ibukota Sri Lanka, pada hari Minggu (11/11) untuk menyalakan lilin bersama sambil memprotes apa yang mereka katakan sebagai pembubaran parlemen yang tidak konstitusional.

Keterangan foto utama: Warga pro-demokratis Sri Lanka mengambil bagian dalam menyalakan lilin bersama di Kolombo, Sri Lanka, Minggu, 11 November 2018. Kerumunan massa menuntut pemulihan demokrasi setelah Presiden Sri Lanka Maithripala Sirisena membubarkan Parlemen dan menyerukan pemilihan baru. (Foto: AP/Eranga Jayawardena)

Presiden Sri Lanka: ‘Saya Bubarkan Parlemen untuk Hindari Konflik’

Let's block ads! (Why?)

https://www.matamatapolitik.com/presiden-sri-lanka-saya-bubarkan-parlemen-untuk-hindari-konflik/

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Presiden Sri Lanka: 'Saya Bubarkan Parlemen untuk Hindari Konflik'"

Post a Comment

Powered by Blogger.