MEDIAHARAPAN.COM, Ambon,- Dibanyak tempat dan waktu, studi tentang konflik dan perdamaian di Maluku masih kerap menjadi dirkursus yang tak habis dibincangkan. Dalam realisasinya memunculkan keragaman dan keunikan yang justru mengangkat budaya dan lokalitas menjadi perangkat vital rekonsiliasi dalam mewujudkan perdamaian, hal itu pula yang setidaknya mengemuka dalam diskusi buku: “Dimensi Budaya dalam Perdamaian: Sebuah Kisah Tentang Desentralisasi dan Rekonsiliasi di Indonesia” di Aula FISIP Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon (02/11/18)
Dalam diskusi buku tersebut menghadirkan penulis buku Dr. Birgit Bräuchler, Dr. Abidin Wakano salah satu provokator damai Maluku, Dr. Josep Ufi, SS, MA. akademisi dari Unpatti serta M. Ikhsan Tualeka Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW), yang dimoderatori oleh Said Lestaluhu salah satu akademisi muda dari Unpatti.
Dalam kesempatan itu, Ikhsan Tualeka menjelaskan bahwa selain kontennya, buku ini bisa menjadi medium pembelajaran bagi generasi muda di Maluku, untuk bisa melihat konflik yang terjadi dan mengetahui bagaimana upaya upaya lokal dan kebudayaan dalam menyelesaikan potensi konflik.
“Artinya, pemenuhan akan resolusi konflik diarahkan pada upaya menjawab dan memberikan pemahaman kepada anak muda Maluku yang harus berjalan bersamaan atau linier dengan terus mengupayakan diskursus dan diskusi seperti ini,” jelas Ikhsan.
Lebih lanjut Ikhsan menegaskan bahwa anak muda di Maluku memang tumbuh dan berkembang dalam budaya budaya kecil dari beragam dimensi lokal yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya di Maluku, hal ini baik dan positif karena dengan begitu bisa saling memahami karakteristik perdamaian di wilayah nya masing masing.
Namun terkadang difrensiasi budaya lokal yang ada justru seringkali dapat pula menjadi pemicu konflik yang diakibatkan karena adanya sentimen lokal yang kuat sehingga akan dengan mudah mengarah ke potensi konflik.
Tantangan generasi muda di Maluku juga sama dengan generasi lainnya ditanah air, menyikapi perkembangan dunia yang semakin digital, dimana segala hal bisa terkoneksi dengan cepat, dalam konteks ini generasi muda di Maluku harus lebih cerdas dan terampil dalam bermedia sosial dan terus berkontribusi aktif untuk mengupayakan keberlanjutan perdamiaan di Maluku,” urai aktivis muda Maluku ini.
Dr. Birgit Brauchler penulis buku “Dimensi budaya dalam perdamaian” dalam pemaparannya menjelaskan bahwa buku ini memberi gambaran tentang munculnya putaran balik budaya dalam studi-studi perdamaian dan menawarkan sebuah kerangka pemahaman yang memperhitungkan budaya sebagai bagian esensial dalam proses rekonsiliasi dan reintegrasi masyarakat yang baru saja dihujam kekerasan massal dan konflik berkepanjangan.
Selain itu, buku ini juga menyajikan pandangan kritis terhadap penggunaan budaya dan tradisi dalam proses perdamaian, termasuk revitalisasi budaya atau revitalisasi adat, dan sekaligus mewaspadai pemakaian budaya hanya sebagai instrumen semata atau romantisasi budaya yang berlebihan,” tutur Birgit.
Dr. Abidin Wakano tokoh provokator damai di Maluku dalam penjelasannya mengatakan bahwa Upaya untuk menjembatani segregasi sosial pada dasarnya kita perlu membangun pola kehidupan yang integratif dalam masyarakat Kita tahu bahwa Maluku, sejak dalam lintas sejarah tentunya menyimpan beragam kearifan lokal atau local wisdom, yang selama ini dijadikan modal sosial sebagai alat pemersatu dan pendamai umat Kristen dan Muslim dalam ikatan persaudaraan.
“Oleh karena itu keberadaan raja di Maluku tentu perlu mempertegas dan mengambil inisiatif untuk merevitalisasi konsep persaudaraan lokal seperti Pela dan Gandong agar semakin kontekstual dan aktual tanpa ada intervensi politik identitas,” ungkap Wakano.
Di lain sisi Dr. Josep Ufi, SS, MA. salah satu akademisi dari Universitas Pattmura yang juga narasumber dalam diskusi buku memaparkan bahwa kita harus terus mengupayakan dan menggagas masa depan bersama anak muda di Maluku didalam menumbuhkembangkan kesepahaman bersama, komitmen kolektif, serta menyatukan keberagaman budaya lokal pranata adat dalam kehidupan orang basudara di Maluku sehingga pada titik inilah diskursus-diskursus seperti ini maupun ruang perjumpaan terus di upayakan dan lebih difokuskan.
Lebih lanjut Prof. Dr. Tony D. Pariella salah satu deklarator perjanjian Malino juga selaku Dekan FISIP Unpatti menambahkan kita sadar betul bahwa dalam ingatan kolektif massa silam tentu kita pernah berada dalam konflik tersebut, pada prinsipnya kita tahu bahwa banyak aktor yang berkontribusi dalam upaya pembangunan dan rekonsiliasi damai di Maluku akan tetapi keberadaan kearifan lokal ke-Malukuan kita sebagai entitas sosial menjadi modal penting didalam membangun kehidupan orang basudara.
Diskusi berlangsung dinamis dan mendapat respon positif dari peserta yang hadir, Agil Alhamid misalnya, mahasiswa FISIP Unpatti yang juga Ketua DPMF menambahkan bahwa Keberadaan kearifan lokal sebagai entitas sosial turut merajut perdamaian dan kerukunan yang terus dilestarikan masyarakat di Maluku. Seperti budaya Pela-Gandong, Larvul Ngabal, Ain ni Ain, Kalwedo dan lainnya terbukti efektif sebagai perekat saat terjadi konflik.(MHM03)
Comments
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Upaya Lokal dan Kebudayaan Penting dalam Penyelesaian Konflik"
Post a Comment