Mahkamah Konstitusi Republik Demokratik Kongo telah mengumumkan hasil pemilu yang bermasalah dan memicu kekerasan. Mahkamah itu menyatakan Félix Tshisekedi sebagai pemenang dan presiden terpilih. Keputusan itu dituduh palsu dan bertentangan dengan penghitungan suara yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma.
Baca Juga: Kongo Berpotensi Rusuh, Amerika Kerahkan Pasukan di Gabon
Oleh: Steve Wembi dan Megan Specia (The New York Times)
Pada Minggu pagi (20/1), Mahkamah Konstitusi Republik Demokratik Kongo memutuskan hasil pemilu presiden yang penuh dengan pertentangan, menyatakan bahwa kandidat oposisi Félix Tshisekedi sebenarnya adalah pemenang dan menolak pertentangan dari tokoh oposisi lain yang berada di posisi kedua.
Keputusan Mahkamah Konstitusi itu menegaskan hasil pemilu presiden yang diumumkan oleh komisi pemilu, yang menunjuk Félix Tshisekedi sebagai presiden terpilih. Dia akan dilantik pada hari Selasa (22/01).
Martin Fayulu, yang mendapat suara kedua terbanyak, menolak hasil komisi pemilu dan menuntut diadakannya penghitungan ulang manual. Para hakim mahkamah konstitusi mengatakan mereka telah memutuskan bahwa permintaan penghitungan ulang itu “tidak masuk akal” dan bahwa Fayulu tidak memberikan bukti adanya kecurangan.
Fayulu mengatakan pada hari Minggu pagi (20/01) bahwa Mahkamah Konstitusi telah “memalsukan dan menolak kebenaran pemilu untuk memenuhi tujuan yang tidak adil dan mengabadikan rezim yang dibenci oleh rakyat kita.”

Martin Fayulu, pemimpin oposisi dan kandidat yang memperoleh suara terbanyak kedua dalam pemilu, telah meminta penghitungan ulang suara secara manual. (Foto: Agence France-Presse/Getty Images/Tony Karumba)
“Saya sekarang menganggap diri saya sebagai satu-satunya presiden yang sah,” tambahnya.
Kongo menyelenggarakan pemilu pada bulan Desember dalam apa yang dimaksudkan sebagai penyerahan kekuasaan demokratis pertama negara itu dalam 59 tahun sejak negara itu memperoleh kemerdekaan dari Belgia. Selama 21 tahun terakhir, negara ini telah dipimpin oleh keluarga Kabila, pertama oleh Laurent-Désiré Kabila dan kemudian oleh putranya Joseph Kabila.
Namun pertentangan tersebut telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi, termasuk oleh Fayulu, yang mengatakan hasil pemilu baru diumumkan setelah Tshisekedi dan Joseph Kabila, yang sekarang masih menjadi presiden, berhasil menyepakati perjanjian pembagian kekuasaan. Meskipun begitu keduanya membantah adanya kesepakatan tersebut.
Kekhawatiran akan munculnya protes dan penindakan oleh pemerintah telah mencengkeram negara tersebut sejak pemilu. Pemerintah mengambil tindakan hingga memotong layanan internet dan pesan teks dalam upaya untuk menjaga ketertiban dalam minggu-minggu setelah pemilu. Layanan dipulihkan pada Sabtu malam (19/1).
Pada hari Sabtu (19/1), ratusan pendukung Tshisekedi berkumpul di ibukota Kinshasa, untuk melakukan protes yang menentang kemenangannya. Dalam konferensi pers hari Jumat (18/01) Fayulu meminta agar kondisi tenang menjelang pengumuman hasil pemilu.
“Saya meminta kalian untuk tidak terlena dengan provokasi, untuk menghindari apa pun yang dapat memecah belah kita atau menghancurkan kohesi nasional, termasuk kebencian suku atau etnis,” katanya, menurut Radio Okapi, sebuah media berita lokal.
Beberapa pengamat dari luar negeri juga menganggap pemenang sesungguhnya adalah Fayulu berdasarkan data pemungutan suara yang dikumpulkan oleh Gereja Katolik Roma. Gereja tersebut mengatakan deklarasi pemerintah Tshisekedi sebagai pemenang tidak cocok dengan datanya.

Pendukung Tshisekedi berhadapan dengan polisi anti huru hara pada hari Sabtu (19/1) ketika mereka memprotes di depan Mahkamah Konstitusi di ibukota, Kinshasa. (Foto: EPA/Shutterstock/Hugh Kinsella Cunningham)
Pada hari Kamis (17/1), setelah pertemuan di ibukota Ethiopia, Uni Afrika meminta penundaan pengumuman hasil mahkamah konstitusi, mengatakan “ada keraguan pada kesesuaian hasil sementara”.
Namun, pemerintah Kongo menolak rekomendasi itu dan bersumpah untuk melanjutkan proses itu, dengan mengatakan Uni Afrika tidak memiliki suara atas keputusan mahkamah konstitusi Kongo.
Uni Afrika berencana mengirim delegasi ke Kongo—termasuk Paul Kagame, kepala Uni Afrika dan presiden Rwanda—untuk mencari jalan keluar dari krisis pasca pemilu ini.
PBB juga mendesak diwujudkannya resolusi damai.
“Kami berharap proses pemilu di Republik Demokratik Kongo akan berakhir tanpa kekerasan dan dengan penuh hormat atas kehendak rakyat Kongo dan berdasarkan aturan hukum dan konstitusional negara itu,” kata António Guterres, sekretaris jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat konferensi pers hari Jumat (18/01).
Seluruh proses pemilu itu memang telah bermasalah sejak awal. Pemilu itu sempat tertunda selama lebih dari dua tahun, dengan komisi pemilu menyalahkan penundaan itu pada kekerasan, masalah teknis, dan epidemi Ebola.
Pemerintah Kabila akhirnya menyerah pada tekanan dari komunitas internasional dan Gereja Katolik untuk mengadakan pemilu. Dia telah berkuasa selama 18 tahun.
Keterangan foto utama: Hasil pemilu pendahuluan yang diumumkan minggu lalu menunjuk Félix Tshisekedi sebagai presiden terpilih Republik Demokratik Kongo. (Foto: John Wasse/AFP/Getty Images)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Mahkamah Konstitusi Kongo Tegaskan Hasil Pemilu Presiden yang Bermasalah - Mata Mata Politik"
Post a Comment