Search

Perempuan dan Bencana | merdeka.com - merdeka.com

Merdeka.com - Mata Kurnia masih bengkak. Tatapannya kosong. Sering termenung. Air matanya belum habis. Masih terlihat tetesan di pipi. Sudah dua pekan kondisi itu. Terhitung sejak Lili, sang suami, belum pulang. Hilang di perairan Selat Sunda saat melaut. Kapalnya diterjang ombak tsunami. Pertengahan Desember lalu.

BERITA TERKAIT

Masih lekat di ingatan Kurnia. Pada Jumat sore. Dia sempat membuat bekal buat Lili untuk keperluan tiga hari melaut. Beras, sayuran, ikan asin, bumbu masakan hingga rokok. Semua disiapkan. Banyak. Apalagi anak sulungnya ikut melaut. Mereka biasa mencari ikan di perairan Lampung.

Sebagai keluarga nelayan, Kurnia merasa tidak ada kekhawatiran. Selama 25 tahun menikah, merasa profesi nelayan dilakoni suaminya aman. Hingga sehari kemudian. Peristiwa tak disangka datang. Perairan di Selat Sunda terjadi tsunami. Diduga berasal dari letusan Anak Gunung Krakatau. Para ilmuwan menyebutnya sebagai silent tsunami.

Kejadian itu mendadak. Banyak masyarakat jadi korban. Sebagian berhasil selamat. Mereka bergegas melarikan diri ke tempat lebih tinggi. Termasuk Kurnia. Lari ke bukit untuk menyelamatkan diri. Sebab banyak orang berteriak air laut naik ke daratan.

Saat itu ia tak ingat suami dan anak sulungnya tengah melaut. Keesokan harinya dia baru ingat. Lantas bergegas menelepon suami dan anaknya. Nomor Lili tak bisa dihubungi.

Jam 2 siang, Kurnia mendapat kabar kapal ditumpangi suami dan anaknya ditemukan. Dari 11 nelayan, hanya delapan nelayan selamat. Sementara tiga nelayan lainnya hilang. Salah satunya Lili. Tetapi dia cukup lega anak sulungnya, Cardi berusia 24 tahun, selamat. Ditemukan dengan luka di sekujur tubuhnya. "Semua orang cari Bapak tapi belum ketahuan di mana," ungkap Kurnia dengan berlinang air mata.

Selama dua hari di pengungsian. Ibu berusia 40 tahun itu, hanya duduk berdiam diri. Di antara pengungsi lain. Memikirkan nasib suaminya. Namun, tangisan si bungsu jadi pengingat. Bayi perempuan usia 7 bulan ini jadi pelipur lara Kurnia. Seolah jadi obat depresi. Memberikan semangat baru. Apalagi saat dia melihat Cardi selamat.

Sebaliknya. Saat mengingat Lili, dia selalu menangis. Sambil mencari, tiap malam Kurnia menggelar pengajian. Warga Kampung Padasuka, Desa Karang Anyar, Labuan ini selalu datang selepas Magrib. Berkumpul mendoakan Lili. Berharap segera ditemukan baik dalam keadaan hidup atau sebaliknya.

"Yang saya minta selamat, ada keajaiban untuk suami saya," harap Kurnia. Dia masih penasaran. Menunggu kabar sang suami. Hidup atau mati.

Kisah berbeda diceritakan Rukmanah. Warga Kampung Sambolo, Desa Sukarame, Carita ini rumahnya rata dengan tanah. Tersapu ombak tsunami. Beruntung dirinya dan keluarga selamat. Jarak rumah dan bibir pantai hanya 100 meter.

Saat kejadian, Rukmanah tengah menjaga warung. Sambil berkumpul. Bareng anak cucu. Saban sabtu malam. Menghabiskan waktu bersama. Namun, malam itu mengubah semua. Ombak menerjang dan menghancurkan warung dan rumahnya. Rukmanah pun terseret ombak dan tersangkut di atap rumah tetangga. Dua cucunya pun ikut tersangkut di tempat sama.

Setelah di evakuasi, Rukmanah dan keluarganya mengungsi ke daerah perbukitan. Sehari setelah itu dia tinggal di pengungsian. Sekujur tubuhnya mengalami luka-luka. Banyak luka sobek di tangan dan kaki. Semua diperban.

Setelah 10 hari tinggal di pengungsian, Rukmanah memberanikan diri melihat rumahnya. Warungnya rata dengan tanah. Sementara sebagian rumahnya hancur. Menyisakan beberapa kamar dan dapur saja. Tiap pagi, Rukmanah dan beberapa tetangganya turun bukit. Menengok rumah sambil menyelamatkan tiap sisa barang bisa dimanfaatkan.

Sambil tergopoh-gopoh dia mulai merapikan rumah. Menumpuk sampah dan puing-puing bangunan. Menjelang sore, dia kembali ke pengungsian. Beristirahat untuk melepas penat. "Kalau udah sore balik ke pengungsian jalan kaki. Kalau ada uang naik ojek, kalau enggak ya jalan kaki saja. Motor ibu habis semua ke sapu ombak," tutur Rukmanah.

Selama di pengungsian, Rukmanah lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat. Sesekali bila bosan, main ke dapur umum. Sekedar ikut membantu memasak atau membuat camilan sendiri. Bila lelah, dia memilih tidur atau berbincang dengan pengungsi lainnya.

Wanita paruh baya ini mengaku masih trauma. Terutama bila mendengar suara dentuman. Jantungnya berdegup kencang bila mendengar suara keras tiba-tiba. Hal yang sama juga dialami para cucu Rukmanah. Mereka kerap ketakutan bila mendengar suara motor atau mobil lewat. Sebab, suaranya hampir sama dengan ombak menggulung mereka kala itu.

Bangkit Demi Warga

Tsunami Selat Sunda menghancurkan sebagian wilayah Kabupaten Pandeglang, Banten. Banyak korban meninggal dan luka-luka. Rumah warga rusak. Semua roda perekonimian terhenti.

Kabar buruk membuat Bupati Pandeglang, Irna Nurlita Dimyati terkejut. Saat kejadian dia mengaku sempat mengalami stress tingkat tinggi. Sampai menagis sejadi-jadinya. Tak siap menghadapi bencana menimpa warganya. Belum lagi wisatawan juga jadi korban di wilayahnya.

Butuh waktu menenangkan diri ketika beberasa saat kejadian. Itu dilakukan agar bisa berpikir jernih dan tak salah langkah mengambil keputusan. "Kalau saya tidak bisa menyembuhkan diri saya dengan cepat, saya tidak bisa menolong mereka," ungkap Irna kepada merdeka.com dua pekan lalu.

Akibatnya dia baru tiba di lokasi bencana 3 jam setelah kejadian. Bukan dia tak peduli pada rakyatnya. Tapi dia butuh waktu untuk memulihkan diri untuk siap memberi kekuatan penuh bagi rakyatnya. Apalagi dirinya merupakan seorang wanita.

Butuh waktu hampir dua jam untuk sampai ke lokasi tsunami dari alun-alun Pandeglang. Selama perjalanan itu, Irna berkoordinasi dengan berbagai pihak. Mengambil langkah cepat dan tepat untuk menolong warganya. Semua dilakukan selama 14 hari masa tanggap darurat bencana.

Selalu memantau kegiatan berlangsung di lapangan. Mulai dari meninjau lokasi bencana, mengirim bantuan dan melakukan rapat evaluasi setiap sore. Tak jarang jelang tengah malam baru tiba di rumah. Ibu dari tiga anak ini mengaku tak kuasa menahan tangis saat melihat warganya. Apalagi mendengar jeritan anak-anak meminta mencarikan orangtuanya. Hatinya teriris.

Apalagi ketika menengok rumah sakit. Banyak korban memerlukan pertolongan medis. Namun, di hari kejadian hanya ada empat petugas bertugas untuk menjahit luka. Sementara antrean pasien lebih dari 50 orang. Begitu juga ketika menyambangi pengungsian. Beragam keluhan warga menyerbu. Keluhan berbagai macam.

"Saya sampaikan, mohon kesabarannya, tetao tawakal dan waspada. Sebab semua ujian ini datangnya juga dari Allah, dan Allah yang akan menolong kita semua," kata Irna kepada warganya.

Banyak warga mengeluh tak nyaman tinggal di pengungsian. Apalagi mereka tinggal di tenda darurat. Masalah sanitasi juga jadi keluhan warga. Untuk itu dia segera meminta BPBD untuk membangun hunian sementara (huntara) untuk warga rumahnya rusak total.

Keberadaan huntara sangat dibutuhkan. Tinggal lebih lama di pengungsian kurang baik bagi psikologis warganya. Sebab di pengungsian rentan akan konflik sosial. Belum lagi pelecehan seksual yang dengan mudah bisa menimpa kaum perempuan.

Karenanya, ia mengambil keputusan untuk menyewa rumah warga untuk ditempati para pengungsi terdampak. Hal ini dilakukan sambil menunggu huntara selesai dibangun. Dia memperkirakan huntara selesai di bangun dalam waktu dua sampai tiga bulan. Tapi banyak juga masyarakat enggan.

Menjadi Perempuan Kuat

Dalam budaya patriarki, perempuan kerap dianggap lemah dan setingkat di bawah laki-laki. Harus diakui, masyarakat di Indonesia masih menganut paham tersebut. Sehingga menimbulkan kesan bahwa perempuan dianggap kaum yang lemah.

Termasuk dalam kondisi bencana. Perempuan kerap dianggap kaum yang rentan dalam menghadapi situasi bencana. Akibatnya kaum perempuan terkadang merasa terabaikan. Membutuhkan waktu lebih lama saat menerima kenyataan bahwa dirinya jadi korban bencana. Hingga mengalami trauma.

Endah Sarwendah, relawan Sarikat Islam Tanggap Bencana (SIGAP) Jakarta Raya, mengaku banyak pengungsi cemas. Khawatir bencana susulan. Simpang siur itu membuat mereka enggan kembali ke rumah dan memilih bertahan di pengungsian. "Mereka memilih tinggal di pengungsian karena khawatir ada bencana susulan," kata dia.

Berhadapan langsung dengan warga terdampak dalam waktu lama tidaklah dianjurkan. Waktu 14 hari adalah batas maksimal relawan tinggal di wilayah bencana. Sebab, bila terlalu lama bisa berdampak buruk. Endah bahkan menjadi orang mudah panik.

Tiap kali pulang dari lokasi bencana, dia kerap depresi. Mudah gelisah, sulit tidur nyenyak hingga mudah panik. Hal ini akibat ia terlalu lama turun ke bencana dan tidak mengikuti sesi pemulihan kembali dari wilayah bencana.

"Ya sampai sekarang saya mengalami trauma berkepanjangan karena tidak sempat mengikuti healing setelah menjadi relawan di Sembalun," kata Endah akhir pekan lalu.

Endah mengaku, belum sembuh dari trauma di Lombok. Dia bahkan kembali diutus ke bencana di Palu. Sebagai tenaga medis, jasa dan keahliannya sangat dibutuhkan. Maka tak heran dia selalu dikirim ke lokasi bencana. Begitu juga saat tsunami selat sunda. Dia kembali dikirim ke kecamatan sumur sebagai tenaga medis.

Hasrat ingin menolong sesama pada akhirnya membuat dia melawan trauma dialami. Di lokasi bencana, sebisa mungkin mengendalikan diri dan berupaya untuk tidak merepotkan orang lain. Sebab kedatangannya untuk menolong orang membutuhkan.

Selain memiliki bekal pengetahuan tentang bencana, Endah selalu pasrah di lokasi bencana. Pasrah bila bencana susulan datang. Dia meyakini pengetahuan itu menjadi bekal saat di lokasi.

Tak hanya itu, dia juga menyiapkan mental dan diri untuk jadi pendengar yang baik saat menolong korban. Tentunya dua hal itu sangat dibutuhkan. Apalagi saat berhadapan dengan kaum perempuan dan kalangan ibu. Sebisa mungkin dia harus terlihat lebih kuat dan memberikan pesan penguatan korban.

"Relawan juga manusia biasa, bukan superior yang siap terima konsekuensi saat turun ke bencana. Makanya healing yang juga diperlukan untuk relawan. Apalagi relawan tanggap darurat bencana," ucapnya. [ang]

Let's block ads! (Why?)

https://www.merdeka.com/khas/perempuan-dan-bencana.html

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Perempuan dan Bencana | merdeka.com - merdeka.com"

Post a Comment

Powered by Blogger.