
TEMPO.CO, Jakarta - Ketika Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi satu-satunya stasiun televisi di negeri ini, pada era 1980-an sering ditayangkan pertandingan sepak bola Liga Inggris. Saat itu, ketika sepak bola di sana masih didominasi gaya permainan kick and rush, ada salah satu seorang bek tengah yang menarik perhatian, yaitu Gordon McQueen, kapten Manchester United.
Kualitas dari teknik permainannya mungkin bisa dikategorikan biasa-biasa saja, tapi semangat dan dedikasinya di lapangan istimewa.
Aura yang ditimbulkan dari passion tinggi seorang Gordon McQueen di lapangan seperti memecah layar kaca televisi dan menerobos ke segala penjuru dunia lewat media visual itu.
Apalagi, gaya sepak bola Inggris tempo dulu, kick and rush, yang begitu dinamis semakin menambah pesona seorang kapten Manchester United yang begitu patriotik.
Gordon McQueen datang ke Old Trafford sebelum era Alex Ferguson. McQuen membela klub legendaris berjuluk Red Devils itu pada 1978-1985. Ia pemain pilar pertahanan Skotlandia 1974-1981.
Sebelum tiba di Old Trafford, bek tengah berambut gondrong ini sudah punya nama di Leeds United. Gordon McQueen membawa Leeds menjuarai divisi tertinggi di Liga Inggris 1973-74, yang saat itu masih belum bernama Liga Primer.
Bersama Leeds United, McQueen merasakan medali runner-up kejuaraan antarklub Eropa, European Cup 1974–75.
Lantas mengapa pindah ke Manchester United? “Semua pemain menginginkan untuk bermain bersama tim dari Old Trafford,” jawab McQueen.
Di Manchester United, Gordon McQueen “hanya bisa” mempersembahkan trofi atas nama tim, yaitu berupa Piala Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) pada 1982–83 dan FA Charity Shield 1983.
Gordon McQueen tak sempat membesarkan Manchester United sebagaimana rekan senegaranya, manajer Alex Ferguson. Tapi, keduanya sama-sama masuk barisan legenda sepak bola Skotlandia, sebagaimana Kenny Dalglish di Liverpool. Gordon McQueen masuk Scottish Football Hall of Fame pada 2012.
Bermain dengan passion tinggi, sejak dulu terkenal ditunjukkan para pemain di Liga Inggris, termasuk Manchester United. Gairah menggelegak yang melewati standar profesionalisme: gaji dan fasilitas tinggi serta kesempatan main di ajang tertinggi.
Pada era kepemimpinan Ferguson di Old Trafford, ada pemain menyerupai Gordon McQueen. Ia berdiri di lapangan di depan bek tengah dan tidak gondrong. Ia adalah gelandang Roy Keane. Sampai pada era Gunnar Solskjaer sekarang, buat sebagian pecinta Manchester United, mungkin sosok mendekati Keane itu terasa belum ada lagi. Pekerja keras di lapangan, ngotot dalam perebutan bola, tak ragu-ragu untuk main keras, dan ia lebih pintar dari Gordon McQueen.
Sosok Gordon McQueen dan Roy Keane itu juga mengigatkan kepada legiun asing yang juga legendaris di Old Trafford, Eric Cantona dari Prancis.
Mereka adalah sosok inspirator bagi timnya di lapangan, dalam sejarah Manchester United. Nanti malam di tepi lapangan Stadion Old Trafford, juga akan berdiri sosok memberi inpirasi buat kebangkitan Red Devils setelah terasa lesu di bawah kekuasaan Jose Mourinho. Dialah pahlawan United di Liga Champions dan salah satu anak kesayangan Ferguson, Ole Gunnar Solskjaer.
Adalah Solskjaer yang menghidupkan kembali gairah pemain termahal United sekarang dan salah satu pahlawan Prancis di Piala Dunia 2018, Paul Pogba. “Saya sudah kenal anak itu sejak kecil,” kata Solskjaer.
Pogba memang membina karier junior di Manchester United 2009-2011 setelah belajar di Le Havre, Torcy, dan Roissy-en-Brie, semuanya di Prancis. Ia sempat setahun di tim senior United 201120-2011, sebelum direkrut Juventus 2012-2016.
Dua tahun lalu, Paul Pogba kembali ke Old Trafford. Diasuh Solksjaer, Pogba telah menemukan kembali semangat dan gairahnya di lapangan yang khas Manchester United, sebagaimana Gordon McQueen, Roy Keane, dan Eric Cantona.
https://bola.tempo.co/read/1178899/gairah-manchester-united-dari-gordon-mcqueen-sampai-paul-pogbaBagikan Berita Ini
0 Response to "Gairah Manchester United, dari Gordon McQueen sampai Paul Pogba - Tempo.co"
Post a Comment