Survei menemukan, umat Muslim di Indonesia lebih saleh/bersih dibandingkan mereka yang ada di Timur Tengah. Survei lain menemukan, umat Muslim di Indonesia 70 kali lebih kecil kemungkinannya untuk bergabung dengan kelompok radikal/ekstremis seperti ISIS. Islam di Indonesia cenderung moderat dan menjunjung budaya lokal serta toleransi, namun napak tilasnya penuh gejolak dan kini kemoderatannya berada dalam ancaman.
Oleh: Paul Marshall (Hudson Institute)
Tiga tahun setelah krisis ekonomi 1998 dan jatuhnya mantan Presiden Suharto, Indonesia mengalami masalah ekonomi, kekacauan politik, dan kekerasan agama yang merenggut ribuan nyawa. Namun, sejak periode pergolakan tersebut, Indonesia berada di jalur yang lebih luas secara politik maupun ekonomi.
Kekerasan agama cenderung bersifat sporadis dan lokal, selain Bom Bali tahun 2002. Indonesia kini memiliki ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan di antara negara-negara Organisasi Kerjasama Islam. Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dengan populasi 260 juta jiwa, kini telah mengadakan pemilihan bebas selama dua dekade.
Sekitar 88 persen dari populasi Indonesia adalah Muslim, sehingga Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia.
Terlepas dari tren politik dan ekonomi yang positif ini, dalam beberapa tahun terakhir, gerakan Islam telah berkembang pesat di Indonesia. Tekanan dari mereka adalah faktor utama yang mengarah ke pemenjaraan mantan Gubernur Jakarta keturunan China-Kristen Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan penistaan agama tahun 2017. Bentuk-bentuk Islam moderat yang secara historis berkuasa di Indonesia kini mungkin berada di bawah ancaman.
Tren sejak kejatuhan Suharto
Setelah pemerintahan Suharto (1968–1998), presiden Indonesia berturut-turut telah mendorong bentuk-bentuk Islam yang toleran dan moderat. Ini terutama berlaku bagi mantan presiden dan pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) Abdurrahman Wahid (1999-2001). Namun, selama masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) (2004-2014), aliran Islam yang lebih radikal menunjukkan pengaruh yang kian besar, seringkali dengan dorongan eksplisit maupun terselubung dari presiden.
Di bawah SBY, otoritas Majelis Ulama Indonesia (MUI) kian meningkat. MUI diciptakan Suharto tahun 1975 untuk memberikan sertifikasi halal dan mengeluarkan fatwa tentang masalah-masalah terkini. Keanggotaan MUI diambil dari organisasi Sunni besar seperti NU dan Muhammadiyah serta sejumlah kelompok Islam kecil. Namun, umat Muslim Syiah dan Ahmadiyah tidak termasuk.
Meskipun pemerintah menunjuk anggotanya dan mendanai MUI, MUI membuat keputusan secara independen, dengan fatwa-fatwanya tidak mengikat secara hukum dan tidak mencerminkan kebijakan pemerintah.
Status semi-resmi ini menciptakan kebingungan yang meluas tentang otoritasnya, terutama karena MUI telah menjadi lebih ekstrem dan telah berusaha untuk memperluas kekuatannya, sebagaimana dibuktikan oleh berbagai subjek yang lebih luas di mana MUI mengeluarkan fatwa. Tahun 2016, setelah polisi mulai menegakkan beberapa fatwa MUI, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memperingatkan mereka bahwa fatwa MUI bukanlah hukum atau peraturan pemerintah dan oleh karena itu polisi tidak memiliki wewenang untuk menegakkannya.
Tahun 2005, di bawah kepresidenan SBY, ia berbicara kepada Kongres Nasional MUI dan berjanji untuk meningkatkan otoritasnya untuk mendefinisikan Islam yang benar. Tak lama kemudian, MUI mengeluarkan fatwa yang melarang pertemuan doa lintas agama, pernikahan campuran berbeda agama, warisan antar-agama, pluralisme agama, liberalisme, dan sekularisme. Pemerintah SBY juga mengeluarkan “Peraturan Bersama tentang Rumah Ibadah” tahun 2006, yang telah digunakan secara luas untuk membatasi kebebasan beribadah kaum minoritas. Dua tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan dekrit khusus anti-Ahmadiyah.
Presiden Jokowi, yang menjabat sejak 2014, telah mengkritik bentuk-bentuk Islam yang lebih ketat, menekankan toleransi beragama, dan menekankan bahwa MUI tidak membuat kebijakan pemerintah. Meskipun ada perubahan-perubahan semacam itu, radikalisasi yang terjadi selama kepresidenan SBY terus berlanjut, yang mengakibatkan meningkatnya insiden kekerasan agama dan bentuk-bentuk intoleransi lainnya, seperti tuduhan penistaan agama.
Kelompok-kelompok Islam telah melampaui dan mengungguli organisasi Islam besar seperti NU dan Muhamadiyyah.
Islam tradisional Indonesia
Islam pada awalnya menyebar ke seluruh Indonesia melalui pedagang dan pendakwah, beberapa di antaranya memiliki keturunan China atau Asia Tengah. Penyebaran Islam yang damai sebagian besar telah menyebabkan berbagai organisasi Islam independen yang berdampingan, yang telah membentuk dasar bagi masyarakat sipil yang kuat.
Indonesia adalah rumah bagi organisasi Muslim terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang masing-masing memiliki sekitar lima puluh juta dan empat puluh juta pengikut. Basis NU berada di desa-desa dan kota-kota, di mana NU mengoperasikan jaringan besar ribuan pesantren Islam yang menampung jutaan siswa. NU juga mengelola dua puluh dua universitas, menerbitkan banyak majalah, dan terlibat dalam kegiatan amal dan sosial secara luas.
Demikian pula, Muhammadiyah mengelola dua puluh sembilan universitas. Fokusnya agak berbeda dari NU: Muhammadiyah menekankan pentingnya Islam modern dan murni, terbebas dari akumulasi budaya, dan memberikan perhatian khusus untuk mempengaruhi dan mendidik orang berprofesi dan berpendidikan tinggi.
NU dan Muhammadiyah, bersama dengan organisasi dan cendekiawan Muslim lainnya, merujuk pada jenis tertentu dari Islam Indonesia: Islam Nusantara. Beberapa pakar menggambarkan Islam Nusantara sebagai sinkretisme dan bukan Islam. Sebagai contoh, ahli antropologi budaya terkemuka Clifford Geertz menyebut studi The Religion of Java, bukan studi Islam di Jawa. Namun, para pakar lain hanya menggambarkan Islam Nusantara sebagai Islam Sunni.
Sejarawan Azyumardi Azra menggambarkan Islam Indonesia bukan sebagai campuran Hindu-Budha, tetapi sebagai Islam Sunni berdasarkan tiga pilar: teologi Ash’ariyah, Sufisme Ghazaliah, dan Mazhab Syafi’i. Menurut Azra, itu adalah Islam moderat, jalan tengah (Islam wasatiyyah), yang berupaya menyeimbangkan wahyu ilahiah dan akal manusia. Dalam bahasa Indonesia, kata “moderat” memiliki nuansa quasi-Aristotelian keseimbangan dan harmoni.
Dalam Islam Nusantara, terdapat penekanan pada Indonesia dan warga Indonesia sebagai negara dan orang-orang yang dibentuk oleh pulau, pantai, pelabuhan, perdagangan, dan perjalanan, yang berbeda dari budaya gurun Timur Tengah yang lebih ketat. Dalam budaya kepulauan ini, Islam berkembang menjadi agama yang dominan, tetapi hidup berdampingan dengan sistem kepercayaan lainnya.
Konsep Islam Nusantara memperkuat pemahaman tentang Islam yang menolak negara Islam demi negara yang didirikan atas pengakuan pluralisme agama di Indonesia. Selain mengakui bahwa geografi telah memengaruhi Islam Indonesia, para cendekiawan Muslim di Indonesia cenderung menolak tuduhan bahwa keyakinan mereka hanyalah kecelakaan dari geografi itu dan bahwa praktik mereka hanya cocok untuk penyelidikan antropologis tetapi tidak untuk wawasan teologis dan hukum.
Survei oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa Muslim Indonesia cenderung lebih saleh/bersih daripada mereka yang berada di Timur Tengah. Ini adalah salah satu alasan mengapa para pakar NU dan Muhammadiyah dalam beberapa tahun terakhir lebih percaya diri dalam menantang pandangan radikal yang diimpor dari Semenanjung Arab. Mereka menekankan bahwa, seperti yang dikatakan ketua NU Said Aqil Siradj, Islam harus disebarkan dengan “menghormati budaya lokal, bukan memberantasnya.”
Wahabisme dan bertumbuhnya radikalisme
Meskipun konsep Islam Nusantara tersebar luas, Indonesia telah lama memiliki aliran Islami setempat. Pada saat perjuangan kemerdekaan, arus semacam itu muncul dari dalam komunitas Hadhrami (Arab). Darul Islam, kelompok Islam yang bertujuan mendirikan negara Islam di Indonesia, sangat berpengaruh pada tahun-tahun awal setelah kemerdekaan. Partai Masyumi adalah partai politik Islam utama awal.
Tahun 1945, dalam persiapan untuk kemerdekaan, terdapat dorongan kuat dari organisasi-organisasi tersebut dan beberapa kelompok Islam lainnya untuk memasukkan klausul khusus tentang syariah ke dalam Piagam Jakarta. Klausul yang berbunyi, “kewajiban untuk mematuhi hukum syariat Islam untuk penganut Islam” akan membuka jalan menuju syariah yang diberlakukan negara. Klausul tersebut akhirnya ditolak atas nama persatuan nasional, tetapi sejak itu senantiasa terdapat seruan untuk memasukkannya ke dalam konstitusi Indonesia.
Ada juga pengaruh Wahabi yang terus bertumbuh dan seringkali sangat ditentang. Memang, Islam di Indonesia telah dibentuk sebagai oposisi terhadap Wahabisme. Ada ketegangan antara Muslim Indonesia dan Wahabi di abad ke-18, tetapi konflik besar pertama muncul pada awal abad ke-19 di Dataran Tinggi Minangkabau di Sumatra Barat.
Tahun 1803, setelah Wahabi kembali menguasai Mekkah dan Madinah, ideologi mereka mulai memengaruhi banyak pelajar dan cendekiawan Indonesia yang belajar atau bepergian di Hijaz. Ketika orang-orang Indonesia ini kembali ke Tanah Air, mereka mencela Islam yang berlaku di tanah air mereka sebagai sinkretisme dan bahkan murtad. Banyak penduduk setempat yang belum pernah ke luar negeri dengan tajam menolak apa yang mereka anggap asing, gagasan baru tentang Islam.
Konflik antara Muslim yang diilhami oleh Wahabisme dan mereka yang mendukung pelestarian status quo akhirnya menyebabkan perang habis-habisan. Tahun 1815, mereka yang kembali dari Arab dan para pengikutnya, yang dikenal sebagai Padri, membunuh sebagian besar keluarga kerajaan Minangkabau. Menghadapi kekalahan, kaum bangsawan Minangkabau mencari bantuan dari Belanda di Padang, yang setelah bertahun-tahun berperang, mengalahkan Padri tahun 1838 dan mengambil alih Sumatra Barat.
Perang itu, tentu saja, lebih dari sekadar interpretasi tandingan terhadap Islam. Pedagang lokal, misalnya, berharap bahwa mereka dapat menikmati peluang yang lebih besar di bawah syariah yang diilhami Padri daripada di bawah kekuasaan keluarga yang kuat. Ada juga peran dari oposisi terhadap kolonialisme Belanda. Meski demikian, upaya untuk memaksakan apa yang dianggap asing dan bentuk-bentuk Islam yang lebih keras terhadap orang-orang Muslim yang nyaman dengan warisan lokal mereka tentu memicu perang.
Seperti halnya Wahabi, Muhammadiyah, yang didirikan tahun 1912, memperjuangkan Islam yang lebih murni dan terbebas dari akumulasi budaya. Namun para pemimpinnya mengadvokasi Islam yang direformasi dan juga modern. Oleh karena itu, alih-alih mencari inspirasi dari Arab Saudi, mereka beralih ke Mohammad Abduh dan para reformis modern serupa.
Tahun 1926, NU didirikan, sebagian sebagai tanggapan terhadap penghancuran makam di Arab Saudi dan tempat-tempat suci lainnya di Mekkah dan Madinah, dan desas-desus bahwa mereka bermaksud untuk menghancurkan makam Nabi Muhammad.
Para pendiri NU melihat hal-hal tersebut sebagai ancaman terhadap Islam sejati sebagaimana diwujudkan dalam kepercayaan dan praktik Indonesia. Ketika penulis menghadiri Kongres NU lima tahunan di tahun 2015, penulis terutama dikejutkan oleh penjualan cetakan ulang karya 1922 Menolak Wahabi oleh Muhammad Faqih Maskumambang, salah satu pendiri NU.
KTT Internasional Pemimpin Islam Moderat (ISOMIL) yang diselenggarakan oleh NU tahun 2016 memperingatkan bahwa “berbagai pemerintah di Timur Tengah telah mengeksploitasi perbedaan agama, dan sejarah permusuhan antar sekte, tanpa memperhatikan konsekuensi yang ditimbulkannya bagi umat manusia pada umumnya. Kampanye propaganda sektarian ini sengaja menumbuhkan ekstremisme agama dan merangsang penyebaran terorisme ke seluruh dunia.”
Namun demikian, pengaruh Arab Saudi di Indonesia terlihat jelas. Arab Saudi kini telah mendirikan lebih dari 150 masjid di Indonesia, menyediakan buku sekolah, pengkhotbah, guru, serta mengucurkan ribuan program beasiswa untuk studi pascasarjana di Arab Saudi. Pusat utama dari program ini adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), sebuah universitas yang sepenuhnya didanai Arab Saudi di Jakarta Selatan.
LIPIA dibuka tahun 1980 dengan tujuan mengajar bahasa Arab dan tidak ada bahasa Indonesia yang digunakan di kampus. Biaya kuliah gratis, sedangkan musik, televisi, dan tawa yang keras merupakan hal-hal yang dilarang. Pria dan wanita menempuh Pendidikan secara terpisah.
Kementerian Agama mengakreditasi LIPIA tahun 2015, tetapi telah menyuarakan keprihatinan apakah LIPIA akan menjunjung tinggi Islam moderat dan Pancasila, yang menekankan kepercayaan pada satu Tuhan tanpa merujuk pada aliran Islam tertentu. Setelah kunjungan Raja Salman ke Indonesia bulan Maret 2017, Arab Saudi menyatakan minatnya untuk membuka dua atau tiga lembaga serupa.
Terorisme
Tumbuhnya radikalisme di Indonesia tentu saja mengancam status quo. Namun, terorisme belum mencapai skala yang sama seperti di Filipina. Satu-satunya aksi teror paling mematikan adalah pengeboman klub malam tahun 2002 di Bali yang menewaskan 202 korban. Serangan sejak saat itu termasuk pengeboman Hotel J. W. Marriott 2003 di Jakarta yang menewaskan dua belas orang, pengeboman mobil tahun 2004 di luar Kedutaan Besar Australia yang menewaskan sepuluh orang, pengeboman di Bali tahun 2005 yang menewaskan 26 orang, serta pengeboman Hotel J.W. Marriott dan Ritz-Carlton di Jakarta tahun 2009 yang menewaskan sedikitnya sembilan orang.
Serangan juga terjadi bulan Januari 2016, ketika beberapa ledakan terjadi di dekat pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta. Banyak yang terluka dalam serangan tersebut, tetapi dari delapan orang yang tewas, setengahnya adalah para teroris itu sendiri. Kegagalan untuk menyebabkan kekacauan yang lebih besar ini menunjukkan ketidakmampuan para teroris dalam menjalankan aksinya.
Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa pengikut gerakan Islam mungkin mulai berafiliasi dengan ISIS. Serangan terbaru kali ini juga merupakan serangan pertama yang diklaim oleh ISIS. Beberapa pengeboman skala kecil juga dikaitkan dengan ISIS, seperti serangan bulan November 2016 terhadap sebuah gereja di Samarinda, Kalimantan Timur, di mana tiga bom rakitan diledakkan, menewaskan satu anak dan melukai tiga orang lainnya.
Awalnya, serangan ini dianggap sebagai serangan tunggal, tetapi para pelaku kemudian dikaitkan dengan kelompok yang berafiliasi dengan ISIS bernama Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang tampaknya merupakan jaringan terbesar yang terkait ISIS di Indonesia dan memiliki sel di beberapa wilayah di Indonesia. JAD telah dikaitkan dengan ISIS melalui Salim Mubarok Attamimi (Abu Jandal), warga Indonesia yang memiliki hubungan dekat dengan kepemimpinan pusat ISIS dan yang memimpin unit sempalan Indonesia yang disebut Pasukan Timur (Katibah Masyaari).
Kombinasi berbagai faktor telah secara efektif membatasi keberhasilan para teroris. Unit utama anti-terorisme Detasemen Khusus 88 (Densus 88) yang dibentuk pada 2002 setelah Bom Bali dan menerima pelatihan dari Amerika dan Australia, telah menimbulkan dampak yang signifikan. Unit ini agresif di bidang pengumpulan intelijen maupun operasional.
Faktor lain adalah tanggapan umat Islam terhadap bentuk-bentuk Islam lokal yang dominan, yang telah menolak radikalisme dan terorisme. Tanggapan mereka telah membatasi ukuran kelompok perekrutan ISIS dan telah mengisolasi mereka yang sudah direkrut. Menurut statistik tertentu, seorang Muslim dari Indonesia sekitar tujuh puluh kali lebih kecil kemungkinannya untuk bergabung dengan ISIS daripada seorang Muslim dari Inggris atau beberapa negara Eropa lainnya.
Namun, pengaruh Arab Saudi tak kunjung memudar. Tahun 1972, pendanaan dari Arab Saudi telah membantu mendirikan “Ivy League” pesantren jihadis, pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Jawa Tengah. Keempat pelaku Bom Bali lulus dari sekolah itu, seperti halnya militan lainnya. Sekolah ini didirikan oleh Abu Bakar Ba’asyir, “pemimpin spiritual” para pelaku bom Bali. Meskipun ia dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara tahun 2011, ia terus berpengaruh di pesantren tersebut.
Selain itu, Umar Faruq, anggota senior kelompok teroris Jamaah Islamiyah (JI), yang ditangkap tahun 2002, mengatakan kepada Badan Intelijen Nasional (BIN) bahwa badan amal Arab Saudi al-Haramain memberikan uang kepada kelompoknya. Jafar Umar Thalib, pemimpin Laskar Jihad, milisi yang membantai orang-orang Kristen di Maluku, lulus dari LIPIA. Sementara itu, para pendukung Wahabi dan ideologi radikal lainnya telah menonjol di media sosial, termasuk “Muslim Cyber Army” yang radikal, terus melampaui pengaruh para Muslim moderat di media sosial.
Pemenjaraan BTP
Persidangan dan pemenjaraan atas kasus penistaan agama Islam yang dituduhkan kepada mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, adalah titik balik dalam kecenderungan menuju radikalisasi Islam. BTP adalah pemimpin dengan latar belakang etnis China dalam masyarakat dengan sentimen anti-China yang kuat, dan juga beragama Kristen di negara yang 88 persen populasinya beragama Islam. Namun, BTP tak diragukan lagi merupakan gubernur dengan kepemimpinan yang energik dan efisien dengan peringkat persetujuan 70 persen.
Saat berkampanye untuk pemilihan ulang bulan September 2016, BTP mengatakan bahwa Al-Quran dari surat Al-Maidah ayat 51, yang memperingatkan umat Islam agar tidak menganggap Yahudi atau Kristen sebagai sekutu, disalahgunakan oleh beberapa ulama untuk menyatakan bahwa umat Islam tidak boleh memilih seorang Kristen sebagai pemimpin.
Beberapa hari kemudian, video pidatonya yang telah dipotong oleh Buni Yani, seorang dosen komunikasi, menjadi populer. MUI menanggapi dengan fatwa yang menuduhnya melakukan penistaan agama. Organisasi radikal Front Pembela Islam (FPI), yang telah dengan keras menyerang minoritas Muslim, gereja, dan klub malam, bergabung dengan Gerakan Nasional Pelindung Fatwa Ulama (GNPF-U) menyerukan demonstrasi yang menuntut agar BTP diadili dan dipenjara.
Kelompok-kelompok Islam lainnya, seperti Forum Umat Islam (FUI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), Aliansi Nasional Anti-Syiah (ANNAS), dan Jamaat Ansharut Tauhid (JAT), juga bergabung dengan gerakan tersebut. Tanggal 4 November dan 2 Desember 2016, terdapat demonstrasi besar-besaran yang sebagian besar damai melawan kasus penistaan agama BTP, salah satunya menarik massa hingga setengah juta orang. Gerakan ini adalah pertunjukkan kekuatan yang tidak biasa untuk FPI yang sebelumnya merupakan organisasi marginal.
Para pemimpin NU dan Muhammadiyah menyarankan para anggotanya untuk tetap tenang dan menghindari demonstrasi serta hanya memilih kandidat yang mereka yakini akan berkontribusi paling besar bagi kebaikan publik. Terlepas dari permintaan ini, beberapa anggota senior dari kedua organisasi NU dan Muhammadiyah bergabung menentang BTP. Pada akhirnya, NU dan Muhammadiyah yang moderat dikalahkan oleh kaum Islam radikal.
BTP akhirnya ditangkap dan diadili karena penistaan agama. Tanggal 9 Mei 2017, dia dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Selanjutnya, tiga dari lima hakim pengadilan dipromosikan oleh Mahkamah Agung pada hari berikutnya. Politisi, militer, dan elit senior lainnya telah berhasil memanipulasi kemurnian keluhan agama untuk tujuan politik. Aktor-aktor tersebut juga kemungkinan membantu mendanai demonstrasi besar-besaran melalui penyediaan ribuan bus, nasi bungkus, spanduk percetakan, hingga kaus.
Pilkada 2016 menunjukkan nuansa yang tak jauh berbeda dari Pilpres 2014, ketika Jokowi mengalahkan Prabowo Subianto, menantu diktator Suharto dan mantan jenderal komando pasukan khusus yang diduga melakukan berbagai pelanggaran HAM. Jokowi adalah presiden Indonesia pertama dari luar lingkaran elit militer dan politik. Jokowi dan BTP berkampanye bersama pada Pilpres 2014 dan keduanya memenangkan jabatan masing-masing.
Prabowo secara luas diduga melakukan pembalasan pada tahun 2016 atas kekalahannya tahun 2014. Intriknya mungkin juga bertujuan mempengaruhi Pilpres 2019. Terdapat rumor bahwa Jokowi mungkin pernah mempertimbangkan BTP sebagai kandidat wakil presiden.
Prabowo dan beberapa anak Suharto kembali berpartisipasi dan bekerja sama dalam Pilpres 2019, dan mereka mungkin berharap bahwa suasana keruh saat ini akan meningkatkan tuntutan masyarakat untuk perluasan layanan keamanan dan pemimpin politik yang kuat.
Vonis yang dijatuhkan terhadap BTP akhirnya memecah-belah Indonesia. Vonis ini juga menciptakan ketegangan antara presiden dan militer serta polisi dan militer, yang cenderung memihak sisi berbeda pada kasus BTP. Panglima TNI Gatot Nurmantyo secara terbuka menentang Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, sekutu Jokowi, tentang tingkat kegawatan situasi bahaya dalam demonstrasi anti-BTP.
Serangan balasan politik terhadap radikalisme
Insiden BTP menunjukkan bertumbuhnya radikalisasi Islam, terutama di kalangan mahasiswa (dengan pengecualian universitas Islam pemerintah, yang biasanya merupakan lembaga Islam moderat). Namun, dakwaan terhadap BTP mungkin juga berpengaruh. Banyak masyarakat Indonesia, termasuk yang bekerja di pemerintahan, kini mengakui adanya peningkatan radikalisme. Kesadaran ini telah menyebabkan serangan balasan.
Tanggal 17 November 2017, Buni Yani, yang telah membuat dan menyebarkan video yang telah dipotong dari pidato BTP, dijatuhi hukuman satu setengah tahun penjara karena menyebarkan ujaran kebencian. Kemudian, pemimpin FPI Rizieq Shihab dan penghasut utama demonstrasi 212, diselidiki karena penistaan agama setelah laporan bahwa ia membuat pernyataan yang merendahkan ajaran Trinitas. Dia kemudian ditanyai mengenai dugaan penghinaan terhadap ideologi Pancasila. Akhirnya, polisi menginterogasinya tentang dugaan menghina Sukarno, presiden pertama Indonesia sekaligus pahlawan kemerdekaan. Rizieq Shihab kembali dipanggil untuk menjawab tuduhan bahwa dia telah menghina uang kertas baru, mengatakan bahwa terdapat simbol-simbol komunisme.
Tanggal 30 Mei 2017, dia didakwa di bawah undang-undang pornografi karena diduga mengirim yang eksplisit secara seksual kepada Firza Husein, yang juga telah ditangkap dengan tuduhan pengkhianatan karena perannya dalam mengorganisir demonstrasi massa.
Rizieq, lulusan Universitas King Saud, melarikan diri ke Arab Saudi, di mana ia tinggal hingga hari ini. Pengacaranya mengklaim bahwa ia adalah tamu dari pemerintah Arab Saudi, yang menanggung semua pengeluarannya, karena ia adalah keturunan Nabi Muhammad. Pemerintah Arab Saudi belum mengomentari masalah ini.
Proses hukum yang sedang berlangsung menunjukkan bahwa polisi menggunakan berbagai tuduhan yang tidak jelas untuk mengontrol orang-orang yang bermasalah tersebut. Lagipula, hanya sedikit orang Indonesia yang menghadapi tuduhan menghina Trinitas, Pancasila, mantan presiden, atau uang kertas, belum lagi terlibat dalam pornografi dan berhubungan dengan seorang tersangka pengkhianatan.
Serangan balasan juga melibatkan inisiatif kebijakan baru yang bertujuan untuk lebih menindak organisasi radikal. Bulan Juli 2017, Perppu nomor 2/2017 melarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) karena seruannya untuk menegakkan kekhalifahan telah melanggar Pancasila, ideologi resmi Indonesia. Mahkamah Konstitusi telah mengesahkan keputusan tersebut.
Selain itu, tanggal 24 Oktober 2017, parlemen mengeluarkan undang-undang yang memungkinkan pemerintah untuk melarang organisasi yang menentang Pancasila. Lebih jauh, Presiden Jokowi telah membuat banyak pidato yang menekankan pentingnya keragaman dan persatuan nasional dan telah menunjuk komite khusus untuk memberikan nasihat tentang cara terbaik untuk mempromosikan ideologi Pancasila, yakni Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebelumnya adalah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Tanggal 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi dengan suara bulat menyatakan tidak konstitusional terhadap persyaratan hukum yang telah ada saat ini mengenai agama yang diakui bagi orang Indonesia hanya sebagai penganut Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, atau Konghucu pada KTP mereka. Kasus tersebut menyangkut status “agama suku” atau aliran kepercayaan, yang sebelumnya tidak dianggap sebagai agama yang nyata tetapi sebagai “sistem kepercayaan kultural.”
Terdapat sekitar 1.200 kelompok seperti itu dengan total setidaknya dua belas juta pengikut. Pengadilan menyatakan bahwa aliran kepercayaan harus diperlakukan sama dan merekomendasikan bahwa KTP meliputi kategori ketujuh, “aliran kepercayaan.”
Serangan balasan doktrin tentang radikalisme
Sementara pemenjaraan BTP telah memberikan lebih banyak urgensi terhadap upaya pemerintah untuk melawan Islam radikal, anggota organisasi Muslim moderat, terutama NU, telah mengadvokasi agenda reformis mereka sendiri selama beberapa tahun. Bulan Mei 2017, gerakan pemuda NU yang kuat beranggotakan lima juta orang, Gerakan Pemuda Ansor, mengumpulkan lebih dari 300 ulama internasional untuk mempertimbangkan “prinsip usang hukum klasik Islam” yang menyerukan “konflik abadi dengan mereka yang tidak merangkul atau tunduk pada Islam.”
Pada pertemuan ini, Deklarasi Ansor tentang Islam untuk Kemanusiaan telah disusun dan dideklarasikan pada KTT Internasional Pemimpin Islam Moderat yang diselenggarakan oleh NU tanggal 16 Mei 2016.
Deklarasi ini jauh lebih kritis daripada Deklarasi Marrakesh 2016 yang jauh lebih terkenal, “Hak-Hak Minoritas Agama di Tanah Muslim,” yang disebarkan di bawah naungan pemerintah Maroko dan Uni Emirat Arab, yang berpendapat bahwa ada unsur-unsur dalam Islam klasik yang bermasalah dan perlu diubah. Deklarasi tersebut menyatakan:
“Jika umat Islam tidak membahas prinsip-prinsip utama Islam ortodoks yang mengesahkan dan secara eksplisit memerintahkan kekerasan, siapapun dan kapanpun dapat memanfaatkan ajaran ortodoks Islam untuk menentang apa yang mereka klaim sebagai hukum dan otoritas tidak sah dari negara kafir dan membantai sesama warga negara mereka, terlepas dari apakah mereka hidup di dunia Islam atau Barat. Ini adalah benang merah yang menghubungkan begitu banyak peristiwa terkini, mulai dari Mesir, Suriah, Yaman, hingga jalanan di Mumbai, Jakarta, Berlin, Nice, Stockholm, dan Westminster.”
Pada konferensi pers yang mengumumkan deklarasi tersebut, ketua Ansor Yaqut Qoumas menyatakan, “Adalah salah dan kontraproduktif untuk mengklaim bahwa tindakan al-Qaeda, ISIS, Boko Haram, dan kelompok-kelompok lain semacam itu tidak ada hubungannya dengan Islam, atau hanya mewakili penyimpangan ajaran Islam. Mereka, pada kenyataannya, merupakan hasil dari Wahabisme dan aliran fundamentalis Islam Sunni lainnya.”
Yahya Cholil Staquf, pimpinan Ansor dan Katib Aam NU, menekankan kembali tema-tema tersebut dalam pidato tanggal 18 Juli 2017 kepada Council of the European Union Terrorism Working Party, yang banyak di antara anggotanya mungkin telah menuduh pembicara menganut Islamofobia jika tanpa memandang riwayatnya.
Sementara organisasi NU secara keseluruhan belum mendukung deklarasi tersebut, Yahya mengatakan bahwa hal itu sedang dibahas dan secara mengejutkan ia memiliki sedikit perlawanan di Indonesia maupun internasional untuk sambutannya. Dia percaya para kritikusnya telah terkepung: mereka harus mengatakan bahwa Islam klasik tidak mengajarkan apa yang dikatakannya, yang secara kritis akan sulit dibuktikan, atau bahwa Islam memang mengajarkan hal-hal seperti itu dan umat Islam harus mengikutinya.
Masih harus dilihat apa pengaruh inisiatif ini, terutama di Timur Tengah, yang seringkali jauh dari ide dan argumen yang ditawarkan di berbagai wilayah jauh. Bagaimanapun, ini adalah inisiatif yang mencolok.
Menjelang Pilpres 2019
Taktik yang digunakan terhadap BTP dalam pemilihan Gubernur Jakarta 2017 sudah digunakan untuk mengantisipasi Pilpres 2019. Dalam berbagai selebaran anonim, Jokowi dituduh sebagai penganut Kristen dan dikaitkan dengan organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia (PKI). Kelompok Islam menggunakan nama Alumni 212, merujuk pada tanggal 2 Desember 2016 yang merupakan demonstrasi terbesar anti-BTP, yang mengadakan reuni di Jakarta di mana para pemimpinnya menyatakan bahwa Jokowi telah mengkriminalisasi MUI dan menjual Indonesia ke taipan dan orang asing China.
Untuk melawan tuduhan tersebut, Jokowi menjauhkan diri dari Ahok, menekankan pentingnya Yerusalem bagi umat Islam, membela Muslim Rohingya yang dianiaya di Myanmar, mengembangkan hubungan yang lebih kuat dengan NU dan Muhammadiyah serta militer, hingga akhirnya memilih ulama senior Ma’ruf Amin sebagai cawapres mendampinginya dalam Pilpres 2019.
Dalam jangka pendek, ada dua ujian yang akan menentukan masa depan Islam di Indonesia. Pertama, apakah pemerintah akan membatasi kewenangan MUI. Kedua, akankah menerapkan putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini tentang aliran kepercayaan. Kedua hal ini akan menentukan apakah Indonesia akan memperkuat tradisi bangsa yang toleran atau justru terus bergerak ke arah radikalisme.
Paul Marshall adalah Profesor Wilson untuk Kebebasan Beragama di Universitas Baylor dan Peneliti Senior di Pusat Kebebasan Beragama dan Institut Kebebasan Beragama di Institut Hudson.
Keterangan foto utama: Mantan Presiden Suharto mengumumkan pengunduran dirinya tanggal 20 Mei 1998 (Foto: Getty Images/Gamma-Rapho/Patrick Aventurier)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Napak Tilas Konflik Islam di Indonesia Sejak 1998 hingga Pilpres 2019 - Mata Mata Politik"
Post a Comment