Bangkok, IDN Times - Hasil Pemilu Thailand belum juga keluar meski pemungutan suara sudah dilakukan dua minggu lalu, tepatnya pada 24 Maret 2019. Oposisi dan pendukungnya, serta beberapa pihak lainnya menuduh Komisi Pemilihan Umum Thailand sengaja mengulur waktu penghitungan suara dan pengumuman hasilnya, agar bisa melakukan manipulasi.
Pemerintahan militer Thailand pun dinilai melakukan intimidasi kepada oposisi, setelah melaporkan pemimpin Future Forward Party (FFP) Thanathorn Juangroongruangkit ke polisi, dengan tuduhan telah mendorong aksi makar melalui berbagai kampanye. Juangroongruangkit sendiri membantah tudingan tersebut.
1. KPU Thailand berdalih masih perlu waktu
Seperti dilaporkan Reuters, KPU Thailand mengatakan bahwa alasan belum ada pengumuman hasil pemilu karena masih perlu waktu untuk merumuskan siapa saja yang mendapatkan cukup suara, sehingga bisa menduduki 150 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Formula yang dipakai, menurut mereka, terbilang rumit guna memastikan alokasi kursi memang tepat. Langkah itu dianggap kritik sebagai cara pemerintah mengontrol jumlah kursi yang bisa diperoleh oleh pihak oposisi dan partai-partai aliansinya. Ada 500 kursi yang diperebutkan oleh para calon legislatif pada pemilihan kali ini.
2. KPU akan mengumumkan hasil Pemilu pada 9 Mei
Karena proses yang rumit, KPU mengatakan, baru akan mengumumkan pemenang 150 kursi tersebut pada 9 Mei mendatang. Tak semuanya percaya ini. kelompok pengkritik menuduh KPU membantu junta militer untuk memanipulasi hasil pemungutan suara dan mendiskualifikasi oposisi.
Keberadaan mereka dinilai mengancam posisi Jenderal Prayuth Chan-ocha, pemimpin kudeta militer pada 2014 yang menjadi perdana menteri. Apalagi tudingan makar kepada Thanathorn merujuk pada kasus tahun 2015 yang diangap mengada-ada. Pemerintah dan para pendukungnya pun menarasikan Thanathorn sebagai anti-monarki, di mana ini merupakan kejahatan serius di Thailand.
Thanathorn sendiri membantah semua tuduhan itu. "Ini adalah hasrat pemerintah untuk menyebarluaskan kebencian, ketakutan, dan rasa tak percaya di antara masyarakat, menciptakan legitimasi bahwa militer untuk mengambil alih dan meneruskan kekuasaan mereka," ucapnya.
Baca Juga: Seminggu Berlalu, Hasil Pemilu Thailand Masih Tak Menentu
3. Partai oposisi banyak didukung oleh pemilih pemula
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editors’ picks
Di hadapan para pendukungnya usai memenuhi panggilan polisi, Thanathorn mengatakan, "kita yakin bahwa kasus ini dilatarbelakangi motif politik."
Laki-laki 40 tahun itu muncul sebagai pemimpin oposisi dengan mengampanyekan politik progresif, termasuk menyudahi masa kekuasaan militer dalam pemerintahan.
Dikutip dari CNN, politik FFP yang dipimpinnya mampu mendapatkan dukungan tujuh juta pemilih pemula pada pemilu kali ini. "Rezim saat ini menciptakan rasa takut di masyarakat untuk membungkam kita. Saya mengimbau seluruh masyarakat Thailand dan komunitas internasional untuk menuntut hak sipil, untuk berjuang demi hak asasi manusia agar membuat masyarakat kita lebih baik," tegasnya.
4. KPU membantah sedang membantu junta militer mempertahankan kekuasaan
Tak hanya FFP, partai oposisi lain yaitu Pheu Thai juga menyuarakan sentimen serupa terhadap KPU dan pemerintah. "Usai pemilu...mayoritas rakyat merasa ada ketidakberdayaan dan rasa tidak percaya terhadap proses pemungutan suara," ujar Sekjen Pheu Thai Phumtham Wechayachai.
"Mereka berbicara soal peran KPU dalam mendukung kelanggengan kekuasaan militer melalui Dewan Nasional untuk Perdamaian dan Ketertiban," tambahnya, merujuk pada nama lain junta militer.
KPU sendiri membantahnya. "KPU bersifat netral dan patuh kepada hukum. Kami tak memihak atau membantu partai tertentu," kata Jaroongwit Phumma selaku sekjen badan penyelenggara Pemilu tersebut.
Sedangkan partai Prayuth, Palang Pracharat (PRPP), juga mengatakan tuduhan itu tidak benar. Juru bicara partai, Thanakorn Wangboonkongchana, menuturkan, "Itu merupakan tudingan yang sangat keliru. Itu adalah sebuah usaha untuk mendiskreditkan kami."
5. Butuh 376 kursi di DPR dan Senat untuk membentuk pemerintahan
Setelah melakukan kudeta pada 2014, pemerintahan militer yang dipimpin oleh Jenderal Prayuth menuliskan ulang peraturan soal Pemilu. Berdasarkan aturan baru, butuh 376 kursi dari DPR dan Senat. Koalisi oposisi sendiri diprediksi akan berhasil memperoleh lebih dari 250 kursi di DPR.
Sedangkan PRPP diperkirakan bisa mendapatkan 126 kursi. Persoalannya, ada 250 kursi di Senat yang hanya bisa diisi oleh orang-orang pro-pemerintahan militer, sebab mereka ditunjuk oleh junta militer.
Baca Juga: Pemilu Thailand: Partai Promiliter Diprediksi Menang
https://www.idntimes.com/news/world/rosa-folia/oposisi-tuding-kpu-thailand-manipulasi-hasil-pemiluBagikan Berita Ini
0 Response to "Oposisi Tuding KPU Thailand Manipulasi Hasil Pemilu - IDN Times"
Post a Comment