Tekanan jual tersebut sudah genap berlangsung selama 13 hari bursa yang dimulai pada 18 April terhadap hampir seluruh SUN seri acuan.
Koreksi tersebut diwarnai oleh segelintir sentimen negatif yang datang silih berganti baik yang berasal dari faktor global maupun faktor domestik.
Berdasarkan data Refinitiv, tekanan jual membuat harga pasar SUN terkoreksi dan menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield), terutama pada seri acuan FR0078 bertenor 10 tahun yakni sebesar 15,4 basis poin (bps), atau setara 0,15% menjadi 8,02% dari sebelumnya 7,87% pada akhir pekan sebelumnya.
Pergerakan yield dan harga saling bertolak belakang di pasar sekunder obligasi, sedangkan acuan yang lebih banyak digunakan di pasar untuk bertransaksi adalah yield atau lengkapnya yield to maturity.
Yield tersebut lebih umum dijadikan acuan transaksi daripada harga karena menjadi total keuntungan yang bisa didapat investor jika membeli instrumen tersebut di pasar dengan menjadi cerminan kupon, harga, dan risiko dalam satu angka.
Seri acuan bertenor 10 tahun lumrah dijadikan acuan dari seluruh seri obligasi yang ada di setiap negara karena tenornya yang berada dalam hitungan menengah dan menjadi seri yang paling aktif diperdagangkan.
Sentimen negatif yang datang terutama dari global, di mana Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui akun microblog Twitter-nya pada Minggu pekan lalu, kembali mengobarkan perang dagang.
Paman Trump mengancam berniat menaikkan tarif impor yang tadinya 10% menjadi 25% pada sepuluh komoditas perdagangan kedua negara, terutama peralatan telekomunikasi, papan sirkuit komputer, dan unit pemroses. Dan ancaman tersebut kemudian menjadi kenyataan.
Sentimen tersebut tereskalasi setiap hari karena membayangi perundingan damai dagang yang sedang berjalan antara delegasi China yang sedang melawat ke Washington.
Dari dalam negeri, serentetan sentimen negatif dimulai di awal pekan dari pengumuman pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto, PDB) 5,07% yang di bawah ekspektasi pada Senin.
Berita kurang sedap itu juga disusul dengan turunnya nilai cadangan devisa yang turun pada Rabu, dan juga kemudian ditambah faktor pandangan negatif pelaku pasar terhadap data defisit neraca perdagangan (current account deficit, CAD) yang justru melebar pada Jumat.
Untuk koreksi beruntun yang terjadi selama 13 hari terakhir, tekanan jual turut membuat harga melemah cukup besar dan mengangkat yield-nya di pasar yaitu sebesar 44,4 bps.
Karena koreksi sudah terjadi lebih dari 2 pekan dan dengan koreksi akumulatif yang besar, pada Jumat sore pelaku pasar mulai mengoleksi SUN yang harganya sudah dianggap murah tersebut sehingga membuat harga berbalik (rebound) menguat.
Nilai transaksi pembelian di pasar tidak terlalu besar karena memang pasarnya sedang sepi karena koreksi beruntun.
"Biasanya nilai transaksi harian sekitar Rp 15 triliun per hari, tetapi sepekan ini jauh turun sepi, sekitaran Rp 5 triliun-Rp 10 triliun per hari, terasa sepi transaksinya di pasar. Jadi, dengan nilai pembelian atau penjualan tidak besar, harga SUN bisa mudah naik-turun," ujar Ramdhan Ario Maruto, Associate Director Fixed Income PT Anugerah Sekurindo Indonesia, melalui sambungan telepon kemarin (10/5/19).
Dia menilai penguatan harga belum menunjukkan pelaku pasar sudah memiliki keyakinan untuk kembali melakukan aksi beli signifikan, karena saat ini masih terpapar sentimen negatif global.
Menurut dia, pasar masih menunggu sentimen global mereda baru mengekor pelaku pasar besar maupun investor asing besar untuk meramaikan pasar obligasi kembali.
Grafik:
TIM RISET CNBC INDONESIA (irv/hps)
https://www.cnbcindonesia.com/market/20190511143838-17-71872/13-hari-terpuruk-pasar-obligasi-ri-tunggu-pemain-besar-masukBagikan Berita Ini
0 Response to "13 Hari Terpuruk, Pasar Obligasi RI Tunggu Pemain Besar Masuk - CNBC Indonesia"
Post a Comment