Akhir April lalu kembali terjadi insiden antara Indonesia dan Vietnam, di zone ekonomi eksklusif Indonesia yang juga diakui Vietnam. Konflik Indonesia-Vietnam terjadi setelah bentrokan antara kapal TNI AL dengan penjaga pantai Vietnam itu bisa dengan mudah berubah menjadi bentrokan bersenjata–yang untungnya belum terjadi. Hal semacam itu tidak hanya akan merusak hubungan Indonesia-Vietnam, tapi juga ketenangan di Indo-Pasifik, terutama melawan dominasi China di Laut China Selatan.
Baca juga: Menteri Susi: Penenggelaman Kapal adalah Pencegahan, Bukan Pembalasan
Oleh: Greta Nabbs-Keller (The Strategist)
Sebuah insiden tabrakan pada tanggal 27 April lalu yang melibatkan kapal pengawas ikan Vietnam dan kapal Angkatan Laut Indonesia di dekat Kepulauan Natuna, menyoroti risiko eskalasi persaingan dalam bidang perikanan di Laut China Selatan.
Tetapi hal itu juga harus dipahami dalam konteks dinamika strategis yang lebih luas di Indo-Pasifik, di mana persatuan ASEAN sedang diuji, dan toleransi untuk operasi maritim ‘zona abu-abu’ tampaknya berkurang.
Tingkat ketegangan dalam rekaman yang diambil oleh Angkatan Laut Indonesia yang menunjukkan insiden tabrakan itu, sangat terlihat jelas dan menyoroti potensi insiden semacam itu untuk meningkat menjadi bentrokan bersenjata. Personel Indonesia dapat terdengar meneriakkan serangkaian kata-kata kecaman seiring kapal Vietnam sengaja menabrak korvet Indonesia KRI Tjiptadi untuk mencegah penyitaan kapal nelayan Vietnam.
Selama masa jabatan pertama Presiden Joko Widodo, Indonesia telah mengambil garis yang jauh lebih keras terhadap penangkapan ikan ilegal, dalam sebuah kebijakan yang dipimpin oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Dalam budaya politik yang hierarkis dan didominasi laki-laki, Susi bukan dikenal karena penghormatannya kepada kolega-kolega kabinet yang lebih senior atau, bahkan, anggota peradilan.
Dalam sebuah tweet setelah tabrakan tersebut, Susi menantang Jaksa Agung dan Ketua Mahkamah Agung untuk membatalkan pelelangan kapal-kapal yang disita, dan menyerukan penghancuran terhadap kapal-kapal itu. Dia kemudian melanjutkan dengan penghancuran 51 kapal—kebanyakan berasal dari Vietnam—pada tanggal 4 April.
Posisi Susi yang tak kenal kompromi dalam kedaulatan wilayah dan sumber daya Indonesia, telah membuatnya sangat populer di kalangan masyarakat Indonesia, dan kemungkinan ia akan mendapatkan posisi kabinetnya lagi dalam periode kedua pemerintahan yang dipimpin Jokowi.
Pendekatan keras Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan maritimnya tampaknya akan terus berlanjut dan mungkin akan diperkuat, di mana peningkatan yang signifikan terhadap anggaran pertahanan negara juga diperdebatkan.
Baca juga: Bentrok Kapal Indonesia-Vietnam Bukan Pertama Kalinya Terjadi
Meskipun kapal penangkap ikan Vietnam mencakup lebih dari setengah dari semua kapal penangkap ikan ilegal yang disita dan dihancurkan di perairan teritorial Indonesia, namun dalam beberapa tahun terakhir, tindakan yang lebih provokatif oleh armada penangkap ikan asing di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia telah melibatkan milisi laut China.
Serangkaian insiden pada tahun 2016 menyebabkan kecaman publik yang jarang terjadi terhadap Beijing, oleh sejumlah menteri Indonesia dan protes diplomatik resmi. Pada bulan-bulan berikutnya, Jokowi memimpin rapat kabinet di atas kapal korvet Indonesia KRI Imam Bonjol, yang telah terlibat dalam ‘kunjungan, penangkapan, pencarian, dan penyitaan’ sebuah kapal penangkap ikan China di dekat Kepulauan Natuna. Sebagai penegasan simbolis tekad Indonesia untuk melindungi integritas teritorialnya, sistem senjata korvet ditampilkan secara mencolok dalam liputan media.
Perilaku agresif kapal-kapal China di ZEE Indonesia—yang disusul oleh klaim baru tentang ‘hak penangkapan ikan tradisional’ China di wilayah Kepulauan Natuna—membuat Jakarta khawatir, sehingga pemerintah mengubah nama daerah maritim di sekitar provinsi Kepulauan Riau sebagai ‘Laut Natuna Utara’.
Namun, dampak yang lebih luas dari insiden tabrakan kapal Indonesia-Vietnam bukanlah pada hubungan bilateral antara Indonesia dan Vietnam, namun lebih pada ikatan ASEAN dan perubahan aturan keterlibatan antara kapal militer dan paramiliter di Indo-Pasifik.
Bentrokan maritim antara dua negara anggota utama ASEAN—Indonesia dan Vietnam—yang memiliki sengketa wilayah resmi dan tidak resmi dengan China, hanya semakin melemahkan kemampuan ASEAN untuk menghadirkan posisi terpadu melawan Beijing dalam masalah kritis Laut China Selatan.
Memang, tindakan provokatif kapal pengintai Vietnam tampaknya mencontoh langsung dari Beijing. Ini bukan tampilan yang bagus untuk ASEAN. Jika negara-negara anggota berselisih satu sama lain di laut, mereka berisiko kehilangan pengaruh dalam negosiasi mereka dengan China terkait kode perilaku Laut China Selatan, yang tujuannya adalah untuk mengamankan perjanjian dengan Beijing untuk mematuhi aturan dan norma yang telah ditetapkan di bidang maritim.
Dalam memeriksa bukti video dari personel Angkatan Laut Indonesia dalam menanggapi apa yang mereka anggap sebagai tindakan bermusuhan, implikasi dari pengumuman Amerika Serikat (AS) baru-baru ini bahwa mereka akan menerapkan aturan keterlibatan militer dengan kapal paramiliter China yang terlibat dalam tindakan kekerasan, memiliki resonansi yang lebih besar.
Peringatan oleh Kepala Operasi Angkatan Laut AS Laksamana John Richardson kepada mitranya dari China pada bulan Januari, menunjukkan tekad Pentagon untuk memperlakukan para penjaga pantai dan milisi maritim sama dengan Angkatan Laut China: “Saya telah menegaskan bahwa Angkatan Laut AS tidak akan dipaksa dan akan terus melakukan operasi rutin dan sah di seluruh dunia untuk melindungi hak, kebebasan, dan penggunaan laut dan udara secara sah yang dijamin untuk semua,” kata Richardson.
Pengumuman ini mencerminkan penegasan posisi kebijakan AS tentang China secara umum. Tetapi jika ditiru oleh negara-negara Indo-Pasifik lainnya, ini berpotensi meningkatkan ketegangan di laut secara nyata.
Baca juga: Beri Pelajaran, Indonesia Kembali Tenggelamkan Puluhan Kapal Asing Ilegal
Pemerintah Jokowi—yang terganggu oleh suasana pasca-pemilu—akan menghadapi keputusan kritis tentang aturan keterlibatan yang harus diikuti dalam mempertahankan kedaulatan maritimnya. Indonesia akan membutuhkan kepemimpinan diplomatik yang kuat yang didukung oleh koordinasi antar-lembaga yang efektif, untuk memastikan bahwa bentrokan maritim seperti itu—yang kemungkinan akan semakin sering—tidak memperburuk ketegangan di ASEAN dan melemahkan kemampuan ASEAN untuk mengurangi ketegangan kekuatan besar secara lebih luas.
Greta Nabbs-Keller adalah rekan peneliti senior di Centre for Policy Futures dan asisten dosen di Fakultas Ilmu Politik dan Studi Internasional di Universitas Queensland.
Keterangan foto utama: Anggota Angkatan Laut Indonesia menyaksikan ketika kapal penjaga pantai Vietnam mendekati dan menabrak kapal mereka di lepas pantai Kalimantan di Laut China Selatan. (Foto: AFP)
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Konflik Indonesia-Vietnam: Bukti Meningkatnya Ketegangan Indo-Pasifik - Mata Mata Politik"
Post a Comment