Fokusnya harus pada kemakmuran dan pemerintahan yang baik, bukan perlawanan abadi. Secara diplomatik, ekonomi, militer, Israel tidak pernah lebih kuat dari sekarang, dan sebaliknya, perjuangan masyarakat Palestina tidak pernah dalam kondisi yang lebih buruk. Solusi Satu Negara, walau lebih tidak populer, bisa menawarkan kemakmuran yang lebih tidak terbatas untuk rakyat Palestina.
Baca juga: Palestina tentang Konferensi di Bahrain: ‘Ini Bukan Rencana Perdamaian’
Oleh: Walter Russell Mead (The Wall Street Journal)
Seiring para pejabat Palestina dengan gugup menunggu rencana perdamaian pemerintahan Trump, satu realitas mendasar membentuk persaingan panjang dan pahit mereka dengan Israel. Secara diplomatik, ekonomi, militer, Israel tidak pernah lebih kuat dari sekarang. Sebaliknya, perjuangan Palestina tidak pernah dalam kondisi yang lebih buruk.
Baik Hamas (yang berganti-ganti antara menembakkan roket dan memohon pada Israel untuk memberikan ke Gaza persediaan yang diperlukan untuk tetap berkuasa) maupun Otoritas Palestina (yang dilemahkan oleh korupsi dan terpecah oleh faksionalisme), juga tidak dapat menemukan kebijakan yang baik untuk mengalahkan Israel atau untuk berdamai dengan mereka.
Salah satu hasil—seperti yang saya lihat pada kunjungan baru-baru ini yang disponsori oleh Philos Project, organisasi nirlaba Timur Tengah—adalah bahwa masyarakat Palestina, terutama kaum muda, semakin menyerah untuk memiliki negara mereka sendiri. Alih-alih, mereka lebih menyukai “solusi satu negara”—satu negara antara Sungai Jordan dan Laut Mediterania.
Namun dalam pertemuan dengan para pejabat senior Otoritas Palestina dan pengamat politik, jelas bahwa ini lebih merupakan seruan keputusasaan daripada program politik yang serius. Kembalinya warga Palestina ke kebijakan menolak ‘solusi dua negara’, dapat memacu para aktivis kampus Amerika untuk mengecam “apartheid Israel”, tetapi itu tidak akan membantu perjuangan Palestina di dunia nyata.
Argumen untuk ‘solusi satu negara’ sangat mudah. Israel secara de facto mengendalikan Tepi Barat dan sedikit banyak Jalur Gaza; prinsip-prinsip liberal mengatakan bahwa masyarakat harus memiliki suara dalam pemerintahan yang mengaturnya. Beberapa warga Palestina mengklaim situasinya sebanding dengan sistem “bantustan” Afrika Selatan, di mana orang kulit putih Afrika Selatan menciptakan “tanah air” buatan untuk suku-suku Afrika Selatan kulit hitam yang berbeda-beda, dan menggunakannya sebagai alibi untuk menolak hak kewarganegaraan orang kulit hitam di Afrika Selatan.
Tepi Barat dan Gaza, beberapa orang Palestina berpendapat, adalah bantustan bagi Palestina. Jadi solusi tersebut—tanpa adanya negara Palestina—adalah untuk memberikan warga Palestina hak suara dan kewarganegaraan penuh di negara yang paling penting di wilayah tersebut: Israel.
Keputusasaan warga Palestina terhadap status quo benar-benar dapat dipahami, tetapi model pembebasan Afrika Selatan tidak cocok. Israel—sebagai negara-bangsa orang-orang Yahudi—tidak berusaha untuk menguasai mayoritas Arab atau membangun kerajaan kolonial di Timur Tengah.
“Ancaman” bahwa warga Palestina akan menyerah dalam pencarian untuk negara mereka sendiri dan mengajukan petisi untuk hak-hak politik di negara Yahudi itu, adalah ancaman yang kosong. Orang-orang Palestina tidak lagi dapat memaksakan solusi satu negara pada Israel, sama seperti mereka menjajah bulan.
Walau seruan untuk solusi satu negara kadang-kadang merupakan upaya untuk mendelegitimasi Israel, tapi tidak hanya itu. Orang Palestina yang terhubung dengan baik yang saya ajak bicara di Ramallah, menjelaskan bahwa opsi satu negara populer di kalangan masyarakat muda Palestina, sebagian karena mereka berpikir bahwa negara Israel akan diatur secara lebih baik daripada Tepi Barat di bawah Otoritas Palestina—dengan pemerintahan yang lebih baik, lebih sedikit korupsi, dan lebih responsif terhadap opini publik.
Baca juga: Jelang ‘Kesepakatan Abad Ini’, AS Cela Dukungan Indonesia untuk Palestina
Mereka ingin sebagian dari pemerintahan yang baik itu untuk diri mereka sendiri. Dengan kata lain, meningkatnya keinginan untuk menjadi warga negara di negara Israel binasional juga sebagian merupakan campuran ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan yang lemah, kebijakan yang usang, dan korupsi yang telah membawa rakyat Palestina ke keadaan saat ini.
Jika benar, ini adalah pertanda bahwa setidaknya beberapa warga Palestina mulai berpikir secara lebih realistis. Lagipula, itu adalah mitos Palestina tentang perlawanan abadi—dan kekerasan serta terorisme yang disahkan oleh mitos tersebut—yang melanggengkan pendudukan Israel.
Jika Palestina siap untuk mengakhiri perlawanan dan sebaliknya mempromosikan rekonsiliasi dan menutup hubungan ekonomi dan politik dengan negara Yahudi itu, tidak ada batasan untuk kemakmuran yang bisa dicapai oleh Palestina. Ada juga konsesi untuk aspirasi teritorial dan politik Palestina yang tidak akan dilakukan oleh pemimpin Israel di bawah ancaman, tetapi banyak yang akan menerimanya dalam kondisi perdamaian sejati.
Palestina saat ini tidak membutuhkan Nelson Mandela yang dapat memimpin perjuangan untuk hak-hak politik yang setara di satu negara. Mereka membutuhkan Konrad Adenauer: seorang pemimpin yang dapat menerima kekalahan militer dan kekalahan teritorial yang menyakitkan, sambil membangun masa depan yang makmur melalui rekonsiliasi dengan para pemenang.
Seperti yang ditunjukkan oleh Jerman Barat pasca-perang Adenauer, adalah mungkin untuk pulih dari kekalahan telak, tetapi kekalahan harus diterima sebelum dapat diatasi. Sebuah generasi baru—bukannya mengikuti para tetua di lubang perlawanan yang sia-sia—justru bisa bekerja menuju pemerintahan yang kompeten, dan pada akhirnya rekonsiliasi dan pembaruan.
Timur Tengah saat ini tidak menawarkan banyak dorongan untuk optimisme, tetapi tidak semua yang terjadi di sana buruk. Seperti negara-negara Arab yang terancam oleh Iran, beberapa orang Palestina mungkin perlahan mulai menyadari bahwa segala sesuatu yang menjadikan Israel musuh yang tangguh juga dapat menjadikannya teman yang berharga.
Baca juga: Walau Gencatan Senjata, Israel Kembali Tewaskan Warga Palestina di Gaza
Ketika kebenaran penting itu terlihat, harapan untuk masa depan yang lebih baik—tidak hanya untuk warga Palestina, tetapi untuk semua orang di Timur Tengah—baru bisa tumbuh.
Walter Russell Mead adalah Profesor Clarcke Chace untuk Hubungan Internasional dan Humaniora di Bard College, seorang Rekan Terhormat di American Strategy and Statesmanship di Hudson Institute, dan kolumnis Global View di The Wall Street Journal.
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.
Keterangan foto utama: Warga Palestina memprotes di pagar perbatasan Israel-Gaza, pada 15 Mei 2019. (Foto: Reuters/Mohammed Salem)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Masyarakat Palestina Harus Buka Mata tentang Israel - Mata Mata Politik"
Post a Comment