Hamid Baeidinejad, duta besar Iran untuk Inggris, mengatakan bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah membuat “kesalahan kalkulasi yang serius” dalam mengerahkan armada tempur ke Teluk Persia. Ditengah memanasnya konflik Amerika-Iran, pemerintahan Trump bersikeras memiliki sumber intelijen “spesifik dan kredibel” yang mengindikasikan bahwa Iran atau para pendukung regionalnya mungkin sedang mempersiapkan serangan terhadap pasukan atau target Amerika di wilayah tersebut. “Ini akan menjadi masalah buruk bagi Iran jika terjadi sesuatu,” kata Trump hari Senin (13/5) di luar Gedung Putih.
Baca juga: Mengingatkan pada Perang Irak, Gedung Putih Tinjau Rencana Militer Lawan Iran
Oleh: Kim Hjelmgaard (USA Today)
Amerika Serikat saat ini tengah memainkan “permainan yang sangat berbahaya” ketika berusaha “menyeret Iran menuju perang yang tidak perlu,” menurut seorang pejabat senior Iran hari Selasa (14/5).
Hamid Baeidinejad, duta besar Iran untuk Inggris, mengatakan bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah membuat “kesalahan kalkulasi yang serius” dalam mengerahkan armada tempur kapal induk (CSG), pesawat pengebom B-52, serta sejumlah personel militer dan peralatan lainnya ke Teluk Persia untuk menghadapi dugaan ancaman yang tidak tentu dari Iran.
Baeidinejad membantah bahwa Iran atau “proksinya” berada di belakang balik peristiwa yang digambarkan Amerika sebagai “sabotase” kapal tanker minyak di Teluk milik Arab Saudi, Norwegia, dan Uni Emirat Arab. Hari Selasa (14/5), Arab Saudi mengatakan bahwa pesawat nirawak telah menyerang salah satu jaringan pipa minyak dan infrastruktur energi lainnya, sebuah insiden yang menyebabkan tolok ukur harga minyak global melonjak. “Kami siap menghadapi segala kemungkinan, ini yang bisa saya katakan,” tutur Baeidinejad. Sementara itu, Amerika Serikat dan Iran tidak memiliki saluran komunikasi diplomatik formal.
Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan bahwa tidak ada negara yang menginginkan perang. “Ini bukan konfrontasi militer karena tidak ada perang yang akan terjadi,” katanya, menurut televisi pemerintah Iran dan akun Twitter pemerintah. “Kami juga tidak mencari perang. Mereka tahu perang tidak akan bermanfaat bagi mereka.”
Dilansir USA Today, Rabu (15/5), Baeidinejad mengatakan bahwa dari perspektif Iran, tampaknya beberapa penasihat terdekat Presiden Trump, seperti Penasihat Keamanan Nasional AS John Bolton, “berusaha meyakinkan” Trump untuk memulai konfrontasi militer yang tidak diinginkan antara kedua negara dan akan “menghancurkan” bagi Iran, Amerika Serikat, dan wilayah tersebut.
Penjabat Menteri Pertahanan AS Patrick Shanahan mempresentasikan rencana militer pada pertemuan para pejabat tinggi keamanan nasional yang akan mengirimkan sebanyak 120.000 tentara AS ke Timur Tengah jika Iran menyerang pasukan Amerika di kawasan itu atau mempercepat pengembangan senjata nuklirnya, menurut sebuah laporan yang diterbitkan di The New York Times hari Senin (13/5). Rencana itu sebagian dieprintahkan oleh Bolton, menurut laporan itu, namun tidak menyerukan invasi darat ke Iran.
Trump membantah laporan itu tetapi mengatakan dia akan mengirim pasukan AS jika diperlukan.
Sejak pekan lalu, pemerintahan Trump bersikeras memiliki sumber intelijen “spesifik dan kredibel” yang mengindikasikan bahwa Iran atau para pendukung regionalnya mungkin sedang mempersiapkan serangan terhadap pasukan atau target Amerika di wilayah tersebut. “Ini akan menjadi masalah buruk bagi Iran jika terjadi sesuatu,” kata Trump hari Senin (13/5) di luar Gedung Putih.

Kapal induk USS Abraham Lincoln. (Foto: Reuters/Angkatan Laut Amerika Serikat/Kepala Spesialis Komunikasi Massa Eric S. Powell/Handout)
Rincian sumber intelijen itu tetap samar. Beberapa pakar Iran yang berpengalaman khawatir bahwa fokus pemerintahan Trump pada kemungkinan ancaman dari Iran didorong oleh para tokoh agresif yang mencari dalih untuk konflik militer.
Baca juga: Tolak Eskalasi Konflik AS-Iran, Eropa Serukan ‘Penahanan Diri Maksimum’
“Kita harus mengingatkan diri kita sendiri bahwa ini benar-benar KRISIS YANG TIDAK PERLU!” tulis Trita Parsi, profesor di Universitas Georgetown dan spesialis Iran, di Twitter.
Tahun 2018, Trump menarik diri dari kesepakatan penting yang dicapai antara Iran dan negara-negara kekuatan dunia tahun 2015, di mana Iran berjanji untuk mengurangi program nuklirnya dengan imbalan bantuan dari sanksi yang melumpuhkan. Mantan Presiden AS Barack Obama memandang perjanjian itu sebagai salah satu keberhasilan kebijakan luar negerinya. Sebaliknya, Trump berkampanye untuk menghapuskan perjanjian itu.
“Kita saat ini berada di ambang konflik karena Trump mundur dari kesepakatan dan membuat Bolton memimpin dalam hal kebijakan Iran,” tulis Parsi di Twitter.
“Ini adalah politik, dan ini tentang Bolton dan sosok lainnya yang telah terobsesi tentang Iran selama mereka berada dalam politik,” kata Robert Muggah, spesialis keamanan internasional dan salah satu pendiri SecDev Group, lembaga konsultasi yang berkantor pusat di Ottawa, Kanada yang menganalisis intelijen sumber terbuka.
Trump telah mengejar kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Iran, memberlakukan serangkaian sanksi yang semakin berat yang melumpuhkan ekonominya negara Timur Tengah tersebut, menyebabkan inflasi tak terkendali serta kekurangan pasokan pangan dan obat-obatan.
Pekan lalu, pemerintah Iran mengumumkan bahwa mereka akan meninggalkan dua kewajiban di bawah kesepakatan nuklir: mengekspor kelebihan uranium dan “air berat” yang digunakan dalam reaktor nuklir. Pemerintahan Trump menganggap langkah itu sebagai upaya Iran untuk “mengendalikan” Amerika Serikat melalui “pemerasan nuklir.”
Tetapi pelanggaran sebagian Iran atas perjanjian itu merupakan tanggapan langsung terhadap Amerika Serikat yang mengakhiri pembebasan dari negara-negara yang membeli persediaan ini. Dengan kata lain: Iran mengambil langkah itu untuk mematuhi sanksi AS.
“Kesepakatan nuklir menjadi tidak berarti karena AS,” kata Baeidinejad, mencatat bahwa Iran memberikan waktu 60 hari bagi tiga penandatangan kesepakatan dari Eropa Barat, yakni Inggris, Jerman, dan Prancis untuk “menyelamatkan” itu.
Jika tidak, menurut Baeidinejad, “akan ada konsekuensi dari pihak kami” yang bisa termasuk menangguhkan modernisasi fasilitas nuklir Arak Iran. Modernisasi pabrik “air berat” memastikan produksi plutonium yang lebih sedikit, yang dibutuhkan untuk bom nuklir. Badan pengawas nuklir PBB memverifikasi sebanyak 14 kali bahwa Iran telah mematuhi ketentuan-ketentuan perjanjian, bahkan setelah Amerika Serikat mundur bulan Mei 2018.
Baeidinejad tidak dapat mengatakan apakah Iran akan mempertimbangkan kemungkinan tawaran Trump untuk mengadakan pembicaraan dengan Iran.
“Saya ingin mereka menghubungi saya,” kata Trump pekan lalu.
Hari Selasa (14/5), Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, yang berada di Moskow di mana ia bertemu dengan Menlu Rusia, menegaskan bahwa Amerika Serikat tidak menginginkan perang dengan Iran.
Baca juga: Di Tengah Konflik AS-Iran, Tanker Minyak Arab Saudi Jadi Korban Serangan
Di Iran, langkah militer Amerika saat ini dipandang secara berbeda.
“Anda menginginkan kesepakatan yang lebih baik dengan Iran. Sepertinya Anda akan mendapatkan perang sebagai gantinya,” tulis Hesameddin Ashena, penasihat Presiden Iran Hassan Rouhani, di Twitter. Ashena juga menanggapi dengan humor di media sosial. “Itulah yang terjadi ketika Anda mendengarkan si kumis,” tambahnya, merujuk pada Bolton yang memiliki kumis lebat berwarna putih.
Keterangan foto utama: Amerika Serikat kerahkan sistem pertahanan rudal patriot ke Timur Tengah seiring ketegangan dengan Iran terus meningkat. (Foto: Anthony Sweeney/Army via Military Times)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Permainan Berbahaya Trump, Konflik Amerika-Iran yang Tak Perlu - Mata Mata Politik"
Post a Comment