JawaPos.com – Warga berbondong-bondong ke DPRD Surabaya tahun lalu untuk melaporkan kenaikan PBB yang drastis. Mereka tidak mampu membayar karena kenaikan terjadi hingga tiga kali lipat. Dewan merespons dengan mengusulkan revisi Perda 10/2010 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Hari ini (10/6) pansus raperda PBB bakal rapat untuk kali kedua. Departemen Statistika Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya bekerja sama dengan Jawa Pos telah menyurvei pandangan warga terkait persoalan PBB Sebanyak 71 persen warga menginginkan variasi tarif sebagaimana daerah lain.
Skema penghitungan tarif Surabaya hanya dibedakan menjadi dua. Yakni, tarif mahal (0,2 persen) dan tarif murah (0,1 persen). Langsung naik dua kali lipat jika nilai jual objek pajak (NJOP) warga sudah melampaui Rp 1 miliar. Tarif tersebut berlaku sejak 2010. ”Sudah tidak relevan. Makanya, dari survei ITS, 71 persen warga ingin ada variasi,” ujar anggota pansus PBB Achmad Zakaria.
Politikus PKS tersebut merupakan pengusul pertama perubahan raperda PBB. Dia menyusun rumusan awal draf raperda yang kini digunakan pansus. Dalam draf tersebut, pansus membedakan tarif menjadi lima macam.
Bertambahnya pilihan tarif membuat kenaikan yang dialami warga tidak akan meroket drastis. Namun, skema dalam raperda masih sangat mungkin diubah. Sebab, skema tarif tersebut harus disesuaikan dengan penghitungan pemkot.
Zakaria mengatakan, pansus kini mengusulkan penggratisan PBB. Dalam survei, tidak ada warga yang mengusulkan penggratisan itu. Yang ada hanya menginginkan tidak adanya kenaikan PBB. Itu pun tidak sampai 2 persen. ”Tapi, penggratisan ini penting. Mereka tidak usul karena tidak tahu kemungkinan itu ada,” jelasnya.
Banyak pemerintah daerah yang sudah menggratiskan PBB warganya. Bahkan, seluruh rumah hunian di Badung tidak ditarik PBB. Baik yang kaya maupun yang tidak mampu. Di Jakarta juga ada penggratisan.
Sempat beredar kabar bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghapus penggratisan PBB untuk hunian dengan NJOP di bawah Rp 1 miliar. Namun, dia segera mengklarifikasi bahwa pemprov justru ingin memperluas penggratisan tersebut. Bukan hanya untuk persil di bawah Rp 1 miliar, melainkan juga para pahlawan, perintis kemerdekaan, serta penerima bintang jasa pengabdian dari presiden dan pensiunan guru. ”Nah, kami ingin penggratisan itu ada di perda,” kata Zakaria.
Selain tarif yang lebih bervariasi, masyarakat ingin NJOP tidak diubah per zona. Dengan sistem tersebut, masyarakat perkampungan dirugikan. Sebab, NJOP rumah mereka bisa naik drastis jika ada pembangunan hotel, mal, apartemen, atau pelebaran jalan. Jika NJOP naik, tagihan PBB otomatis juga naik. ”Cara menghitung perubahan NJOP-nya memang ngawur. Digebyah uyah,” ucap anggota pansus PBB lainnya, Baktiono.
Dia pernah menguji tenaga appraisal yang menghitung persil salah satu asetnya. Dia menyamar sebagai orang biasa dan tidak mengaku sebagai anggota dewan. Dari pembicaraannya dengan tenaga appraisal tersebut, Baktiono menyimpulkan bahwa penilaian NJOP didasarkan pada zona. Jika sistem zona tersebut diteruskan, politikus PDIP itu khawatir banyak warga yang terusir secara tidak langsung dari rumahnya karena tidak mampu lagi bayar PBB.
—
Respons Warga soal Kenaikan PBB dan NJOP
Apakah tagihan PBB responden naik drastis dua tahun belakangan?
Ya: 37 persen
Tidak: 63 persen
Apakah responden membayar PBB tepat waktu?
Ya: 89 persen
Tidak: 11 persen
Apakah responden setuju dengan kenaikan PBB dan NJOP?
Tidak setuju: 64,33 persen
Setuju: 35,67 persen
Apa masukan dari responden untuk pansus raperda PBB?
Ada variasi tarif seperti daerah lain: 71 persen
NJOP naik tiga tahun sekali sesuai: 24 persen
Tidak ada kenaikan pajak: 1,67 persen
Tidak tahu: 2,67 persen
Lainnya: 0,67 persen
https://www.jawapos.com/jpg-today/10/06/2019/71-persen-warga-surabaya-ingin-perubahan-tarif-pbb/Bagikan Berita Ini
0 Response to "71 Persen Warga Surabaya Ingin Perubahan Tarif PBB - Jawa Pos"
Post a Comment