Liputan6.com, Washington DC - Mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley mengatakan bahwa Israel "tidak perlu khawatir" tentang proposal perdamaian Israel - Palestina yang akan diumumkan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Haley mengatakan, 'Deal of the Century' --sebagaimana proposal itu populer disebut-- tidak menuntut imbalan apa pun dari Israel, sebagai ganti atas 'kebijakan luar negeri AS' yang selama era Trump telah condong kepada Negeri Bintang David ketimbang Palestina.
Kebijakan yang dimaksud merujuk pada pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang selama ini dipersengketakan dengan Palestina; dan dukungan atas aneksasi Dataran Tinggi Golan yang dipersengketakan dengan Suriah.
Komentar Haley datang sebagai tanggapan atas sebuah pernyataan yang diajukan oleh surat kabar Israel, Hayom, yang bertanya "patutkah Israel merasa khawatir dengan 'the Deal'?".
Pertanyaan itu sendiri diajukan dengan merujuk pada pernyataan Presiden Trump, yang sebelumnya mengklaim bahwa Israel "harus membayar harga tinggi" untuk langkah AS terhadap Yerusalem dan Golan.
Haley, yang seakan menepis pernyataan Trump, mengatakan kepada Hayom bahwa "Israel tidak perlu khawatir."
"Karena melalui itu (the Deal), salah satu tujuan utama yang menjadi fokus adalah untuk tidak melukai kepentingan keamanan nasional Israel ," jelas Haley seperti dikutip dari Middle East Monitor, Jumat (14/6/2019).
"Semua orang ingin memberi jalan bagi situasi yang lebih baik di Israel," lanjut Haley, "dan saya pikir itu bisa terjadi."
"Jadi, alih-alih melawan apa yang tidak kita ketahui, saya berharap semua orang [akan] bersandar pada potensi rencana perdamaian itu," tambah mantan Dubes AS untuk PBB tersebut.
Nikki Haley adalah wakil tetap AS di Markas Besar PBB ketika Washington DC, pada 2017, mengumumkan pemindahan kedutaannya di Israel ke Yerusalem dan mengakui kota itu sebagai Ibu Kota Israel --berseberangan dengan sikap mayoritas Majelis Umum PBB, menyebutnya sebagai sebuah langkah unilateral dan bertentangan dengan resolusi internasional.
Sementara itu, Palestina telah berkali-kali mengecam 'the Deal', dengan seorang pejabat Otoritas Palestina menyebut bahwa pemerintahan AS "berusaha menetapkan solusi yang tidak selaras dengan legitimasi internasional."
Haley: Implementasi yang Tak Mudah
Namun, Nikki Haley mengklaim bahwa pengimplementasian 'Deal of the Century' tidak akan mudah.
''Kedua belah pihak tidak akan menyukainya. Dan kedua belah pihak tidak akan membencinya. Namun kedua belah pihak harus menginginkan perdamaian. Dan jika mereka bersedia, (pada akhirnya) mereka yang akan memutuskan detailnya. Bukan AS."
Haley kemudian mengkritik Otoritas Palestina (PA) yang menolak 'Deal of the Century', dan keputusan mereka untuk memboikot Konferensi Bahrain di Manama akhir Juni mendatang --sebuah pertemuan puncak yang disebut akan menjadi pembuka dan platform pembahasan aspek ekonomi dari 'the Deal'.
"Pada titik ini, sulit untuk melihat peluang di mana Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas bahkan akan datang," kata Haley, menambahkan: "Saya pikir [...] itu menunjukkan karakter asli Abbas."
PA telah dengan tegas menolak 'the Deal', menuduh proposal itu mengabaikan tuntutan untuk negara Palestina pada 1967 dengan ibukota Yerusalem Timur, serta nasib sekitar lima juta pengungsi yang telah ditolak haknya untuk kembali ke tanah Palestina yang didudki Israel sejak Nakba 1948.
Kesepakatan itu juga diharapkan untuk mendeklarasikan permukiman ilegal Israel di Tepi Barat sebagai bagian dari Israel; mempertahankan pendudukan Israel atas Lembah Yordan; dan menawarkan Abu Dis --sebuah distrik di Yerusalem yang terputus dari sisa Kota Suci oleh Tembok Pemisah Israel-- sebagai ibu kotaa masa depan Negara Palestina.
PA juga telah meminta negara-negara Arab untuk memboikot konferensi. Sejauh ini Jordan, Mesir, dan Maroko belum mengkonfirmasi kehadiran mereka di Manama, sementara Libanon telah mengumumkan akan memboikot konferensi tersebut.
Namun negara-negara Teluk --termasuk Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi-- telah mengatakan mereka akan hadir, dalam suatu langkah yang telah dilihat sebagai bukti lebih lanjut dari hubungan mereka yang semakin dekat dengan Israel.
Para pengkritik 'Deal of the Century' mendiskreditkan Konferensi Bahrain dengan merujuk fakta bahwa pembahasan isu ekonomi tidak diadakan bersamaan dengan diskusi politik.
"Anda tidak dapat melakukan pembangunan ekonomi yang serius tanpa menyelesaikan masalah keamanan dan politik yang memungkinkan investor dan pertumbuhan ekonomi internal dan lapangan kerja," kata Aaron David Miller, mantan perunding dan analis masalah Timur Tengah untuk pemerintahan AS di masa Partai Republik dan Partai Demokrat seperti dikutip The Washington Post.
Namun, analis yang mendukung 'the Deal' maupun Konferensi Bahrain mendatang, mengatakan bahwa kedua hal itu adalah "kesempatan terbaik saat ini, termasuk untuk hal terbaik dan terburuknya, yang bisa diambil oleh Israel dan Palestina," kata David Hearst, Pemimpin Redaksi Middle East Eye dalam kolom opini redaksi.
Arab Berniat Hadir ke Konferensi Bahrain, Palestina Kecewa
Para pejabat Palestina, pada Rabu 19 Juni 2019, menyatakan kekecewaannya atas keputusan beberapa negara Arab, termasuk Yordania, Mesir, dan Maroko, untuk menghadiri konferensi ekonomi yang dipimpin Amerika Serikat di Bahrain akhir Juni 2019.
Arab Saudi dan Uni Emirat Arab mengumumkan niatan serupa, meskipun ada permintaan dari Palestina untuk memboikot konferensi tersebut.
Konferensi Bahrain merupakan usulan dari pemerintahan Presiden AS Donald Trump, yang digadang-gadang akan menjadi panggung untuk mengungkap porsi aspek ekonomi dari proposal rencana perdamaian Israel - Palestina yang telah lama ditunggu-tunggu, atau yang populer dikenal sebagai "Deal of the Century".
Memperbarui penolakan yang telah lama mereka suarakan, Palestina kembali meminta negara Arab memboikot konferensi yang dijadwalkan akan diluncurkan di ibukota Manama pada 25 Juni.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Diplomat AS: Proposal Perdamaian Donald Trump Tak Akan Merugikan Israel - Liputan6.com"
Post a Comment