Search

Rencana Perdamaian Israel-Palestina: Konferensi Bahrain Masih Prematur - Mata Mata Politik

Rencana konferensi Bahrain sekali lagi menunjukkan bahwa Amerika Serikat gagal memahami kawasan tersebut dan keyakinan mereka yang salah bahwa proses diplomasi Israel-Palestina dapat dilewatkan begitu saja. Tim Trump tampaknya tidak memahami orang-orang Palestina, tetapi juga gagal memahami para pemimpin negara-negara Arab lainnya yang dengannya mereka berbagi bahasa yang umum, yakni diplomatik atau bisnis. Gagasan untuk memisahkan “perdamaian ekonomi” dari beberapa resolusi konflik Palestina-Israel hanyalah mimpi belaka.

Oleh: Yossi Beilin (Al Monitor)

Amerika Serikat mengumumkan akhir bulan Mei 2019 bahwa mereka akan mengadakan konferensi ekonomi regional di Manama, Bahrain pada akhir Juni. Tim Presiden AS Donald Trump mengundang sebagian besar negara-negara Teluk dan negara-negara Arab lainnya, serta Israel dan Palestina menghadiri konferensi Bahrain ini.

Jika itu hanya kesalahan pemula, tanpa kemungkinan menyebabkan kerugian, jika itu hanya serampangan, kita akan bisa mengatakan tidak apa-apa tentang “lokakarya” untuk para menteri keuangan, yang dijadwalkan berlangsung di Bahrain. Ada banyak konferensi cuma-cuma sepanjang hidup kita, dan sepertinya konferensi yang direncanakan tim Trump untuk Bahrain termasuk dalam daftar itu. Masalahnya adalah bahwa konferensi ini sebenarnya bisa mengganggu, terutama setelah semua kesalahan serius yang dibuat oleh administrasi Trump dalam upayanya untuk akhirnya menyelesaikan konflik Palestina-Israel.

Pengalaman Presiden Trump terbatas pada dunia bisnis. Mungkin itu sebabnya dia percaya bahwa jika dia membatasi warga Palestina secara ekonomi dan kemudian memberikan mereka tawaran hadiah, mereka akan bersedia menerima apa pun yang dia tawarkan, tentu saja berkoordinasi dengan Israel. Trump dan sepasang juru damai, penasihat senior Gedung Putih Jared Kushner dan utusan AS untuk Timur Tengah Jason Greenblatt, tengah membuat kesalahan yang akan sangat disesalkan.

Bagian terbesar dari narasi Palestina adalah kisah kemarahan atas penghinaan yang sedang dilakukan oleh Israel dan negara-negara Arab. Upaya untuk memisahkan solusi diplomatik dari solusi ekonomi ini akan dianggap oleh orang Palestina sama dengan mengatakan, “Kami akan memberi Anda uang, jadi serahkan prinsip Anda.” Ini tidak akan membantu dalam mewujudkan solusi komprehensif apa pun untuk konflik.

Jika memang akan membantu, ini akan meyakinkan Palestina untuk mengadopsi garis yang lebih keras. Ini akan meningkatkan kemarahan dan menyebabkan kekuatan pragmatis Palestina (yang ingin mencapai suatu kesepakatan) untuk menemukan kesamaan pandangan dengan para ekstremis (yang menentang pengaturan apa pun).

Segera setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo tahun 1990-an, berbagai upaya dilakukan untuk mempercepat terobosan diplomatik dengan serangkaian konferensi ekonomi yang melibatkan banyak peserta, termasuk negara-negara Arab yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Konferensi semacam itu pertama kali diadakan di Casablanca, Maroko bulan Oktober 1994 dengan para pemimpin senior dari Israel dan dunia Arab turut berpartisipasi.

Israel mengirim sejumlah besar delegasi, termasuk banyak pemimpin bisnis, tetapi ini juga menakutkan warga Palestina dan banyak peserta lainnya. Yossi Beilin menolak untuk hadir karena meyakini bahwa acara tersebut akan dianggap sebagai invasi Israel ke jantung ekonomi dunia Arab.

Konferensi itu, pada kenyataannya, mendapat banyak kritik di media, tetapi tidak hanya itu karena itu adalah acara media multidimensi. Dunia senang melihat perwakilan Arab dalam jubah dan hiasan kepala mereka yang melambai, bertemu dengan perwakilan Israel yang mengenakan pakaian bisnis dan mengobrol seolah-olah mereka adalah teman lama. Euforia seputar terobosan diplomatik mungkin telah berkontribusi pada suasana konferensi, tetapi pada akhirnya hasilnya mengecewakan. Tidak ada kesepakatan bisnis besar yang terjadi di konferensi itu, tetapi itu membangkitkan rasa panik di antara mereka yang peduli dengan kecenderungan imperialistik.

Menjelang konferensi ekonomi kedua, yang diadakan di ibu kota Yordania, Amman satu tahun kemudian, Yossi Beilin memimpin tim persiapan yang bekerja sama dengan menteri ekonomi Yordania. Upaya terpadu dilakukan untuk menurunkan profil, mengurangi harapan, dan hanya memungkinkan pertemuan terbatas antara pengusaha (yang telah dikoordinasikan sebelumnya). Sementara mereka juga mempresentasikan beberapa proyek pemerintah, pertemuan ini sangat fokus dan jumlahnya terbatas.

Konferensi Kairo berlangsung bulan November 1996, di awal masa jabatan pertama Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Konferensi regional berikutnya, yang berlangsung di Doha, Qatar bulan November 1997 ternyata menjadi yang terakhir dari acara tahunan ini. Pada saat itu, menjadi jelas bahwa Netanyahu tidak tertarik untuk mencapai pengaturan diplomatik.

Delegasi Israel terisolasi dan tidak ada langkah yang dilakukan untuk memajukan usaha gabungan. Sama seperti inisiatif ekonomi lainnya, seperti Bank Regional di Kairo dan Sekretariat Ekonomi di Maroko yang berantakan tanpa proses diplomatik, ini adalah akhir dari hari-hari kejayaan konferensi ekonomi regional.

Tim Trump tampaknya tidak memahami orang-orang Palestina, tetapi juga gagal memahami para pemimpin negara-negara Arab lainnya yang dengannya mereka berbagi bahasa yang umum, yakni diplomatik atau bisnis. Kata-kata kasar dapat didengar tentang Palestina dalam percakapan tertutup dengan sebagian besar pemimpin Arab, termasuk para pemimpin negara-negara Teluk.

Kepemimpinan Palestina dikritik tajam karena kehilangan kesempatan yang tak terhitung jumlahnya dan karena melakukan serangkaian kesalahan panjang. Mereka didiskusikan dengan kemarahan dan cemoohan, memberi kesan bahwa mereka adalah tonjolan mengganggu seperti kutil, dan bahwa para pemimpin Arab lainnya akan melakukan apa saja untuk menyingkirkan mereka.

Seorang pendengar yang tidak berpengalaman mungkin secara keliru meyakini bahwa pernyataan tersebut menandakan perpecahan antara negara-negara Arab dan kepemimpinan Palestina, atau paling tidak, penolakan untuk mendukung mereka. Namun, kebenarannya adalah bahwa hampir tidak ada hubungan antara apa yang mereka katakan secara terbuka dan apa yang sebenarnya mereka lakukan.

Para pemimpin Arab mengetahui bahwa orang-orang mereka yang melakukan aksi di alun-alun kota adalah pendukung setia perjuangan Palestina, sehingga mereka tidak bisa mengabaikannya.

Kita dapat menduga bahwa siapa pun yang bertemu dengan para pemimpin negara-negara Arab pada awal musim semi 1948 akan menjauh dengan kesan bahwa mereka tidak tertarik berperang melawan orang-orang Yahudi yang tinggal di Tanah Israel. Jika Palestina ingin melawan mereka, itu urusan mereka. Kemudian, tidak lama kemudian, para pemimpin yang sama menanggapi suasana hati di jalanan dengan mengirim pasukan mereka untuk berperang melawan Negara Israel yang baru dibentuk.

Gagasan untuk memisahkan “perdamaian ekonomi” dari beberapa resolusi konflik Palestina-Israel hanyalah mimpi belaka. Apa yang akan terjadi di Manama? Orang-orang Palestina, yang mempersonifikasikan kekuatan orang lemah, tidak akan menghadiri lokakarya. Kita dapat berasumsi bahwa Qatar, yang diboikot oleh sebagian besar negara-negara Teluk lainnya, bahkan tidak akan diundang.

Masalahnya bukan hanya bahwa konferensi melakukan segala sesuatu dalam urutan yang tidak tepat, yakni menangani ekonomi sebelum perdamaian, tetapi juga bahwa partai yang harus mendapat manfaat dari bantuan dan penyedia utama bantuan itu bahkan tidak akan hadir. Para menteri keuangan negara-negara Arab yang menghadiri acara tersebut akan sangat berhati-hati dalam menunjukkan tanda keintiman sekecil apapun dengan menteri luar negeri Israel atau para pemimpin bisnis Israel yang hadir.

Sementara itu, Fatah dan Hamas, yang mengatakan bahwa mereka tidak akan hadir, pada akhirnya akan dapat menemukan kembali landasan bersama bahwa mereka kalah: “Suatu bangsa yang diam sendiri” (Injil Bilangan 23: 9). Frase ini, yang biasanya digunakan merujuk pada orang-orang Yahudi, sekarang dapat diimplementasikan sehubungan dengan Palestina, yang berdiri sendiri tetapi bersatu melawan semua orang lain.

Lelucon menyedihkan ini masih bisa dihindari. Rencana diplomatik tim Trump dapat dirilis tanggal 24 Juni 2019, bersama dengan sejumlah gagasan untuk mendanai inisiatif ekonomi yang merupakan bagian dari rencana atau yang akan dihasilkan dari itu, alih-alih menghadirkan ekonomi dan perdamaian mereka sebagai dua masalah yang berbeda dan terpisah.

Terdapat kemungkinan juga untuk meninggalkan gagasan lokakarya sepenuhnya dan menunda pertemuan yang menyedihkan ini sampai rencana diplomatik akhirnya dirilis, yang sekarang masih terus disusun selama dua tahun yang panjang. Menjadwalkan KTT ekonomi seperti ini sebelum rencana diplomatik disajikan dan tanpa partisipasi para pemain utama akan menjadi kesalahan yang sangat berbahaya.

Yossi Beilin telah bertugas di berbagai posisi di Parlemen Israel Knesset dan di pos-pos pemerintah Israel, yang terakhir sebagai menteri kehakiman dan agama. Setelah mengundurkan diri dari Partai Buruh, Beilin bertolak ke Meretz. Dia terlibat dalam memprakarsai proses Oslo, perjanjian Beilin-Abu Mazen, Geneva Initiative and Birthright.

Keterangan foto utama: Jared Kushner, menantu dan penasihat senior Presiden Donald Trump, mendengarkan saat sesi dengan pakar keamanan cyber di Gedung Putih pada bulan Januari 2017. (Foto: The Washington Post/Jabin Botsford)

Rencana Perdamaian Israel-Palestina: Konferensi Bahrain Masih Prematur

Let's block ads! (Why?)

https://www.matamatapolitik.com/analisis-konferensi-bahrain-prematur/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Rencana Perdamaian Israel-Palestina: Konferensi Bahrain Masih Prematur - Mata Mata Politik"

Post a Comment

Powered by Blogger.