Search

Seruan Referendum Aceh Bisakah Picu Konflik Baru? - Mata Mata Politik

Setelah kekalahan Prabowo Subianto di Pilpres 2019, yang kemudian memicu Kerusuhan 22 Mei yang berdarah, mantan panglima kelompok pemberontak Gerakan Aceh Merdeka menyerukan referendum untuk kemerdekaan provinsi paling barat Indonesia ini. Berdalih bahwa Indonesia akan dikuasai asing, Muzakir Manaf menyerukan referendum Aceh, mengikuti langkah Timor Leste yang telah memisahkan diri. Namun, Sekretaris Jenderal Partai Aceh dan mantan wakil komandan militer Kamaruddin AbuBakar, yang dikenal sebagai Abu Razak, mengatakan bahwa publik Aceh belum sepakat tentang referendum itu.

Oleh: Amy Chew (South China Morning Post)

Baca Juga: Kivlan Zen, Mantan Jenderal yang Kini Dijatuhi Tuduhan Makar

Selama 29 tahun antara tahun 1976 dan 2005, Provinsi Aceh mengobarkan pemberontakan bersenjata melawan pemerintah Indonesia, konflik yang menewaskan lebih dari 15.000 jiwa. Menyusul desakan bersama oleh pemerintah Indonesia, dikombinasikan dengan tsunami Aceh tahun 2004 yang menewaskan 170.000 orang, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menyerah di bawah perjanjian perdamaian Helsinki 2005. Namun, keresahan bisa muncul lagi setelah adanya seruan mantan pemimpin GAM untuk referendum Aceh tentang kemerdekaan provinsi paling barat Indonesia itu.

Muzakir Manaf, mantan pemimpin GAM yang dikenal sebagai Mualem, memperingatkan orang asing yang akan “menjajah” Indonesia, dan karena itu Aceh harus siap untuk berdiri sendiri.

“Negara kita Indonesia tidak lagi jelas tentang masalah keadilan dan demokrasi … ke depannya, Aceh meminta referendum,” katanya pada hari Senin (27/6), menurut pers setempat.

“Terlebih lagi, Indonesia akan dijajah oleh orang asing di masa depan―inilah yang kami khawatirkan. Karena itu, jauh lebih baik bagi Aceh untuk mengikuti jejak Timor Leste … untuk berdiri sendiri,” kata Mualem, merujuk pada referendum yang diorganisir PBB pada tahun 1999, di mana mayoritas rakyat Timor Leste memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dan menjadi negara merdeka.

Mualem, 55 tahun, adalah komandan militer GAM dan menjalani pelatihan paramiliter di Libya selama pemerintahan Muammar Gaddafi. Dia saat ini memimpin partai politik terbesar di provinsi itu, Partai Aceh, yang memegang kursi terbanyak di legislatif lokal.

“Mualem adalah sosok yang sangat berpengaruh, kuat secara politik,” kata Saifuddin Bantasyam, dosen hukum di Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh. “Dia memiliki banyak pengikut … dan pengikutnya juga militan, setia, dan sangat mengaguminya.”

Sekretaris Jenderal Partai Aceh dan mantan wakil komandan militer Kamaruddin AbuBakar, yang dikenal sebagai Abu Razak, mengatakan bahwa publik belum sepakat tentang referendum itu.

“Kita harus menunggu dan melihat apa dampaknya,” kata Abu Razak. “Sekitar 50 persen masyarakat adalah menyetujui diadakannya referendum, 50 persen menentangnya. Di antara mantan penjuang GAM, saya kira kira-kira sama. ”

Abu Razak mendukung Presiden Indonesia Joko Widodo dalam Pilpres 2019, memuji kemajuan dalam pembangunan Indonesia, meskipun ia mencatat: “Masih banyak yang harus dilakukan. Kami membutuhkan lebih banyak lapangan pekerjaan. Aceh masih di bawah rata-rata nasional [dalam kekayaan].”

Mualem, di sisi lain, mendukung Prabowo Subianto, lawan Jokowi yang kalah dalam pilpres. Namun, Prabowo menentang hasil pilpres itu dan menuduh adanya kecurangan yang meluas.

Sarwono Kusumaatmadja, yang menjabat sebagai menteri lingkungan hidup di bawah Suharto, memperingatkan sentimen anti-pemerintah dapat memunculkan dorongan baru jika Prabowo terus memperdebatkan legalitas pemilihan kembali Jokowi.

“Seruan untuk referendum bisa merembet, tetapi akan membutuhkan banyak momentum, yang tergantung pada dendam yang terpendam sampai saat ini terhadap kepemimpinan petahana,” kata Sarwono. “Saat ini, rezim Jokowi telah bertahan dengan baik.”

Aceh adalah provinsi paling konservatif di Indonesia dan, dalam kondisi otonomi khusus, tunduk pada hukum syariah.

Para wanita melakukan salat berjamaah di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh. (Foto: EPA-EFE)

Ryaas Rasyid, mantan menteri otonomi daerah, yang merancang undang-undang yang memberikan Aceh tata pemerintahan sendiri, menolak seruan untuk referendum tersebut.

“Itu hanya ekspresi kekecewaan atas apa yang mereka [Aceh] yakini adalah pemilu yang curang,” kata Ryaas. “Mayoritas warga Aceh ingin hidup dalam damai.”

Aceh juga kaya akan cadangan minyak dan gas. Di bawah rezim Soeharto, yang digulingkan pada tahun 1998, warga Aceh membenci pemerintah karena memperkaya diri dari sumber daya alam provinsi Aceh, dan hanya menyisakan sedikit bagi penduduk setempat.

Sentimen anti-pemerintah juga bisa didorong oleh jaminan dalam perjanjian Helsinki yang belum terwujud. Misalnya, masalah-masalah yang tidak terselesaikan yang berhubungan dengan perdamaian dan rekonsiliasi tetap menjadi sumber konflik setelah operasi militer terhadap GAM mengakibatkan pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan terhadap warga sipil.

Namun, seorang juru bicara kampanye Jokowi mengklaim Aceh telah menganggap dirinya bagian dari Indonesia.

“Nasionalisme Aceh telah menjadi inspirasi bagi negara-negara lain di Indonesia,” kata Zuhairi Misrawi. “Tidak ada keraguan bahwa Aceh berada di garis depan dalam menenun jalinan masyarakat Indonesia. Karena itu seruan untuk referendum tidak mewakili jiwa batin sebagian besar orang Aceh.”

Lokasi Aceh di Selat Malaka juga memiliki arti penting strategis dan komersial, khususnya di jalur pelayaran yang menguntungkan.

Baca Juga: Jangan Bereaksi Berlebihan Tanggapi Kerusuhan 22 Mei

Pasar daging di Banda Aceh. (Foto: AFP)

Shahriman Lockman, seorang peneliti di Institut Studi Strategis dan Internasional, memperingatkan dampak potensial kerusuhan pada perdagangan maritim regional.

“Kekhawatiran utama di sini adalah dampak potensial pada penegakan hukum di Aceh,” katanya. “Sepertinya tidak mungkin kita akan menyaksikan kemunculan kembali perampok bersenjata di laut dalam skala yang menyertai pemberontakan Aceh sampai sekitar tahun 2005. Tetapi bahkan peningkatan kecil saja akan cukup mengkhawatirkan.”

Saifuddin Bantasyam dari Universitas Syiah Kuala tetap skeptis tentang permohonan referendum itu tetapi pemerintah harus tetap waspada.

“Masyarakat umum dapat merespons nanti,” katanya. “Tetapi sekali lagi, mereka mungkin tidak menanggapi karena mereka tidak lagi tertarik pada referendum saat ini karena konflik [masa lalu] telah diselesaikan secara damai antara GAM dan pemerintah Indonesia.

“Mungkin [saat ini] tidak ada pemicu atau momentum yang memadai. Tetapi di Aceh, situasi dapat berubah dengan sangat cepat. ”

Keterangan foto utama: Pejabat militer memeriksa senjata-senjata yang disita dari mantan pemberontak Aceh di Banda Aceh. (Foto: AFP)

Seruan Referendum Aceh Bisakah Picu Konflik Baru?

Let's block ads! (Why?)

https://www.matamatapolitik.com/in-depth-seruan-kemerdekaan-aceh-picu-kekhawatiran-adanya-konflik-baru/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Seruan Referendum Aceh Bisakah Picu Konflik Baru? - Mata Mata Politik"

Post a Comment

Powered by Blogger.