JawaPos.com - Tak lama lagi, Komisi Pemberantasan Korupsi akan menapaki usia yang ke-15. Ibarat seorang gadis, lembaga antirasuah memang sedang tumbuh cantik, bak bunga yang sedang mekar.
Harum, sehingga banyak sekali yang memuji prestasinya. Namun tak sedikit pula yang menginginkan agar ‘anak kandung reformasi’ tersebut mati perlahan, hingga tak seorang pun yang menyadarinya.
Dalam perjalanannya, lembaga antirasuah ini memang tak jarang diterpa badai serangan. Terutama serangan dari luar. Namun kini, di usianya yang masih remaja, lembaga yang kini digawangi Agus Rahardjo cs tersebut malah sering menghadapi serangan dari dalam tubuh lembaga itu sendiri. Ini terjadi karena disinyalir, lemahnya kepemimpinan KPK sekarang.

Dalam fase kepemimpinan Agus Rahardjo cs, KPK memang tak pernah henti melakukan tugasnya dalam memberantas korupsi. Demikian juga dengan kegiatan lain, seperti kegiatan pencegahan korupsi.
Namun, sayangnya di luar itu, ada banyak gejolak di dalam internal tubuh KPK yang menghambat upaya pemberantasan korupsi .
Terutama mengenai mandulnya pengusutan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK. Serta mandulnya pengawas internal dalam mengusut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh sejumlah pegawai KPK yang berasal dari korps bhayangkara.
Adapun berbagai kasus dugaan pelanggaran etik yang mangkrak yakni, perihal pimpinan KPK yang enggan mengeksekusi hasil pemeriksaan pengawas internal KPK terhadap Aris Budiman, direktur penyidikan kala itu.
Dalam kasus ini, meski kabarnya sudah ada putusan final Aris dinyatakan bersalah, pimpinan ciut nyali dan sengaja mempetieskan kasus tersebut hingga Aris diboyong almamaternya.
Selain itu, ada juga kejanggalan lain yakni perihal pengawas internal yang tak berani mengusut dugaan perusakan barang bukti yang diduga dilakukan penyidik yang berasal dari korps bhayangkara. Hingga saat ini, kasus tersebut tak diketahui bagaimana tindak lanjutnya. Karena sebagian penyidik tersebut telah dikembalikan ke markasnya.
Pelanggaran lainnya, yakni perihal dugaan pelanggaran etik yang dilakukan empat pimpinan KPK yang menghadiri resepsi pernikahan putra Bamsoet. Dugaan pelanggaran ini terjadi, karena Ketua DPR RI itu pernah diperiksa dalam perkara dugaan korupsi e-KTP.
Selain itu, ada juga dugaan pelanggaran lain, yakni perihal kebijakan pimpinan KPK yang melakukan rotasi jabatan terhadap 14 pegawai struktural. Atas dugaan pelanggaran ini, sebanyak tiga pegawai yang dirotasi, bersama wadah pegawai KPK pun telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Lebih lanjut, ada juga dugaan pelanggaran lain yang dilakukan pimpinan KPK karena memilih pejabat internal yang tidak patuh melaporkan harta kekayaannya. Ini terjadi saat pimpinan memilih Direktur Penyidikan Panca Putra Simanjuntak. Diketahui, saat mendaftar sebagai calon pejabat KPK, Panca terungkap belum menyerahkan LHKPN.
Terkini, ada juga perihal dugaan pelanggaran etik lain yang dilakukan oleh pejabat KPK. Yakni ihwal pertemuan antara Deputi Penindakan KPK Firli dengan mantan Gubernur NTB Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB). Dalam pertemuan tersebut ada agenda bermain tenis bersama. Padahal, saat itu lembaga antirasuah tengah melakukan penyelidikan perkara dugaan korupsi divestasi saham Newmont.
TGB sendiri merupakan salah satu pihak terperiksa dalam kasus tersebut. Sehingga dinilai melanggar Pasal 36 huruf a UU KPK.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Tama S Langkun menilai, ada perbedaan refleksi KPK jilid pertama dengan jilid sekarang. Yakni mengenai perbedaan penanganan kasus etik dalam menegakkan kedisiplinan.
Padahal menurutnya, sejak dulu, khususnya saat kepemimpinan Bambang Widjojanto, Busyro Muqqodas dan mantan pimpinan lain, KPK begitu menjunjung tinggi nilai etik.
"Enggak peduli seberapa tinggi performance mereka seberapa baik atau seberprestasi, tapi ketika itu persoalan etik itu ya harus diproses. Poin dari etik bukan benar atau salah tapi patut apa engga patut. Nah mulai sekarang terdegradasi di pimpinan KPK zaman sekarang," tegasnya saat dikonfirmasi JawaPos.com, Minggu (30/9).
Salah satu contohnya menurut Tama, yakni mengenai pertemuan Firli dengan TGB yang memang dilarang dalam UU KPK.
"Mau main tenis apa kelereng enggak peduli, yang penting itu kan ada pertemuan. Apa ada surat tugas saat itu? Waktu Johan Budi bertemu Nazarudin yang belum ada statusnya kena sanksi etik kan? Pak Muqoddas juga kena kan?," tandasnya.
Contoh lainnya menurutnya, yakni terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan empat pimpinan KPK, karena menghadiri pernikahan putra Bamsoet.
"Pandangan kita menilai, pelaksanaan etik semakin terdegradasi. Khawatir berhubungan dengan etik disepelekan maka bisa membawa KPK dalam permasalahan lebih besar," tukasnya.
Lebih lanjut Tama mengatakan, persoalan dugaan pelanggaran etik lainya yakni, terkait kebijakan pimpinan KPK yang merotasi jabatan tak sesuai aturan, sehingga mendapat perlawanan dari sejumlah anak buahnya yang dirotasi.
"Desakan internal atau perlawanan itu bukan pembangkangan tapi sistem yang bekerja berbeda soal etik," tukasnya.
Untuk itu, aktivis antikorupsi ini mendesak agar dugaan pelanggaran etik ini bisa segera ditindaklanjuti. Sehingga tak menimbulkan gejolak, baik di lingkungan internal maupun eksternal.
"Kalau kita sudah posisi mendesak titik itu, menyampaikan pendapat etik semakin terdegradasi. Berharap ini enggak akan mancing kemarahan publik," katanya.
Peneliti Indonesian Legal Rountable (ILR), Erwin Natosmal Oemar memandang gejolak internal yang melibatkan pimpinan sudah diduga sejak awal oleh masyarakat sipil. Ini karena baginya yang menjadi pimpinan bukan orang terbaik.
"Itu sebenarnya sudah dapat diduga dari awal. Dari awal masyarakat sipil sudah skeptis dengan komposisi sekarang. Yang menjadi pimpinan KPK bukanlah orang yang terbaik," sindirnya.
Karena bukan orang terbaik, menurutnya, banyak dampak yang diterima pegawai perihal kebijakan di internal KPK.
"Di tahun-tahun terakhir masa jabatan mereka, beberapa komisioner ini menunjukkan karakter asli mereka," ketusnya.
Terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan empat pimpinan KPK saat menghadiri resepsi putra Bamsoet, mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menilai, ada norma kepatutan fleksibel yang digunakan oleh pimpinan. Kendati demikian, menurutnya kepatutan fleksibel itu harus dipilih mana yang paling tinggi bobot kehati-hatiannya.
"Kalau menunjuk tidak hadir itu lebih menunjukkan prinsip dasar pimpinan. KPK pada derajat sikap moral tertinggi. Lalu bagaimana kepatutan lain masa diundang enggak datang?, kan bisa dengan mengirim surat perihal ketidakhadiran," jelasnya saat dikonfirmasi JawaPos.com.
Menurut Busyro, cara itulah yang paling bijak untuk menghormati pengundang. "Dengan alasan kode etik mohon maaf tak bisa hadir dan doakan saja agar sukses. Itu tak mengurangi norma kepatutan, pengundang kan pasti bisa memahami," tukasnya.
Namun, karena terlanjur datang, dia pun meminta agar pihak internal atau pegawai KPK bisa membentuk komite etik untuk menelaah sikap pimpinannya, apa benar melanggar kode etik.
"Atau bisa juga masyarakat sipil mendorong membentuk komite etik dengan formulasi 3:5 atau 5:7 (3 orang pegawai KPK tanpa ada unsur pimpinan pimpinan), selebihnya yang ada diluar KPK," jelasnya.
Hal ini menurut dia, penting dilakukan untuk tetap menjaga marwah KPK agar berjalan sesuai koridornya.
"Jika didiamkan saja itu nanti akan mengalami penggerusan martabat. Lembaga KPK satu-satunya lembaga dengan segala kekurangannya dibanding yan lain. Namun punya harapan besar dari publik," tambahnya.
Sedangkan, menurut mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto, pimpinan KPK sekarang seperti bersikap permisif atas standar moral yang paling fundamental, yakni integritas yang begitu dijaga selama 12 tahun.
"Persoalan di atas misal pertemuan petinggi KPK dengan pihak yang diperiksa KPK. Apapun alasannya, punya indikasi, tidak hanya sekedar pelanggaran etik saja tetapi juga melakukan tindak kejahatan," ungkapnya.
"Jika ada indikasi, pertemuan terlarang mengakibatkan ‘proses pemeriksaan’ atas kasus dimaksud menjadi ‘terhambat’, maka pelakunya bisa dituduh melakukan kejahatan yang biasa disebut obstruction of justice," tandasnya.
Terpisah, terkait adanya tudingan miring yang dialamatkan kepadanya, sejumlah pimpinan KPK dan juru bicaranya bereaksi keras dan membantah sejumlah tudingan tersebut.
Menurut juru bicara Febri Diansyah, terkait kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan mantan Dirdik KPK Aris Budiman, pimpinan katanya sudah memberikan sanksi. Namun, Febri enggan membeberkan detail sanksi apa yang diterima oleh jenderal bintang satu tersebut. "Sudah dikasih sanksi, tapi enggak bisa dibeberin sanksinya apa," kata Febri.
Sementara terkait perusakan barang bukti, Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan mengatakan jika para pihak yang melanggar tersebut sudah diberi sanksi.
"Itu sudah selesai dan sanksinya sudah jelas, yang bersangkutan sudah dikembalikan ke instansi asal. sudah selesai,” kata Basaria.
"kita sudah pelajari dan hasil dari PI (pengawas internal) juga tidak merupakan tindak pida na. Hasilnya sudah cukup jelas. Kalau pidana pasti kita salurkan ke penegak hukum lainnya,” tambahnya.
Terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan empat pimpinan KPK karena menghadiri resepsi pernikahan putra Ketua DPR Bambang Soesatyo, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjawab enteng. Menurut dia, tidak ada pelanggaran yang dilakukan oleh pihaknya, karena hanya menghormati undangan.
“Ya itu kan undangan biasa. Hubungan antarlembaga juga harus kita jaga. Nggak masalah. Itu undangan dari PPATK hadir juga kita. Baru saksi kan (Bamsoet). Saksi itu yang membantu proses penyidikan, bukan orang yang berperkara. Kita harus menghargai dan menghormati saksi juga. Jangan sampai yang jadi saksi itu malah ketakutan nggak mau datang,” elaknya.
Sementara soal dugaan pelanggaran karena merotasi belasan pegawainya, Basaria mengatakan jika kebijakan tersebut suatu hal yang biasa.
“Kita menghargai itu hak mereka untuk melakukan penuntutan. Itu mungkin suatu pelajaran juga untuk kita. Kalau memang pimpinan bersalah saya pikir ya wajar bila untuk membuat kesalahan. Tapi yang pasti kita terima,” ucap Basaria.
Hal senada juga dikatakan Alexander Marwata. “Pimpinan KPK mengambil kebijakan rotasi setelah mempertimbangkan berbagai aspek. Rotasi dilakukan agar lembaga lebih leluasa bergerak melaksanakan tugasnya. Jadi, rotasi ini dilandasi niat baik,” imbuhnya.
Febri membantah, jika ada lobi-lobi yang dilakukan Kabiro Hukum KPK terhadap Ketua PTUN Jakarta, agar memenangkan gugatan seperti yang diduga diperintahkan oleh pimpinan KPK.” Sudah saya cek ke Kabiro Hukum dan sudah ada pernyataan pimpinan soal itu. Disebutkan (pimpinan), tidak ada dan tidak perlu,” tegasnya.
Di lain pihak, terkait adanya pertemuan Deputi Penindakan KPK dengan Tuan Guru Bajang (TGB) yang notabennye merupakan pihak terperiksa kasus dugaan korupsi, Ketua KPK Agus Rahardjo membela mati-matian anak buahnya.
“Rasanya Pak Firli sampai hari ini masih lurus, tidak terpengaruh hal yang lain-lain. saya yakin engak ada kedekatan itu. Kalau kemudian pada setelah dilantik, pak Firli ke sana (NTB) untuk sertijab dan kemudian pak Firli main tenis dengan gubernurnya, apa itu membicarakan kasus harusnya ya tidak lah ya,” tutur Agus.
Firli kata Agus dan Alex, justru melaporkan rencana kepergiannya ke NTB dengan pimpinan KPK. “Pak Firli justru melaporkan kepada kami pada waktu beliau ijin ke NTB. kembali, dia melaporkan juga kepada kami,” terang Agus.
Hal senada juga disampaikan Alex. “Terkait pertemuan dulu sebelum pertemuan itu malah deputi penindakan itu, Pak Firli itu lapor ke pimpinan loh minta izin,” imbuhnya.
Karena meminta izin kepada pimpinan mengenai maksud dan tujuan kehadirannya, pimpinan pun katanya memberikan izin karena hanya pertemuan biasa.
”Saya kira sangat sangat wajar ketika seseorang (mantan) Kapolda ya kan itu bertemu dengan kepala daerah. Apalagi di situ juga ada dandim, danrem dan sebagainya dalam rangka perpisahan,” tukasnya.
Sementara terkait Direktur Penyidikan KPK yang belum melaporkan harta kekayaannya, menurut Agus, tidak semua aparatur sipil negara (ASN), termasuk kepolisian harus melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Tidak setiap orang aparatur sipil negara harus melaporkan LHKPN," ucap Agus.
Agus menjelaskan, penyelenggara di kalangan ASN yang wajib melaporkan LHKPN di antaranya yaitu yang menjabat sebagai eselon-1 atau setingkat direktur jenderal (dirjen), serta eselon-2 atau setingkat direktur. Itu sesuai dengan aturan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Namun, Agus mengaku, tidak mengetahui pasti kewajiban bagi jajaran dari Kepolisian. "Saya tidak tahu kalau di polisi ya. Kalau di birokrat kan sebetulnya eselon-1 seperti dirjen," katanya.
Kendati demikian, Agus mengungkapkan pihaknya sudah mengecek latar belakang pengganti Aris Budiman tersebut. "Tapi kalau belum pernah jadi direktur dan dia bukan pimpro atau pejabat pembuat komitmen ya tidak harus (melaporkan LHKPN). Saya nggak tahu kalau aturan di kepolisian. Itu pasti termasuk background check yang dilakukan," pungkasnya.
Dengan adanya berbagai persoalan mendasar ini, dibutuhkan komitmen semua pihak, baik di lingkungan internal maupun eksternal KPK agar tetap mendukung upaya pemberantasan korupsi, dan tetap menjaga marwah KPK. Sehingga impian sebagai negara sejahtera bisa segera terwujud.
(ipp/JPC)
https://www.jawapos.com/nasional/hukum-kriminal/30/09/2018/menjaga-marwah-kpkBagikan Berita Ini
0 Response to "Menjaga Marwah KPK"
Post a Comment