BORONG, KOMPAS.com - Suku Lowa di Kampung Muting, Desa Bamo, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, Flores, Nusa Tenggara Timur memiliki warisan leluhur dalam merawat dan melestarikan alam semesta. Warisan leluhur itu adalah tradisi Kebhu.
Tradisi Kebhu merupakan warisan leluhur Suku Lowa yang tidak tergerus oleh perkembangan teknologi global khususnya teknologi canggih untuk menangkap ikan dan biota lainnya. Kesakralan dari tradisi Kebhu ini adalah pewaris warisan leluhur hanya dilaksanakan lima tahun sekali.
Selain itu tradisi ini merawat suasana dan nuansa persaudaraan dan ikatan kekeluargaan dari berbagai suku yang berada di wilayah Kota Komba bagian selatan dari Kabupaten Manggarai Timur.
Baca juga: Tradisi Kolo Kabe di Kampung Mesi Flores
Kurang lebih ada 7 warga desa di wilayah Kota Komba bagian selatan yang bersama-sama bertemu dan berjumpa di muara Limbu Lea (Muara Lea) untuk menangkap ikan dan biota lainnya secara massal dengan alat-alat tradisional yang di warisakan leluhur dari Suku Lowa.
Warga dari 7 desa yang berada di kawasan Rongga dan bagian selatan lainnya bersama-sama serta ramai-ramai dengan berbagai alat tangkap tradisional yang ramah lingkungan masuk ke Limbu Lea (kolam) untuk menangkap ikan dan biota lainnya.
Tradisi ini hanya bisa dijumpai dan dilaksanakan oleh kawasan Nangarawa, bagian pesisir selatan dari Manggarai Timur. Suku yang memegang mandat dari para leluhur di kawasan Rongga adalah Suku Lowa.
Ritual Kebhu hanya bisa dilaksanakan oleh Suku Lowa, sementara suku-suku lainnya ikut berpartisipasi dalam ritual itu serta ikut menangkap ikan dan biota lainnya di kolam, muara, sebutan Suku Lowanya adalah Limbu Lea.
Tradisi Kebhu ini sangat sakral dan mistis karena yang memegang kekuasaan dalam melaksanakan ritual Kebhu di Muara Limbu Lea adalah anak sulung dari keturunan leluhur Suku Lowa.
Ritual adat Kebhu tak bisa dilaksanakan oleh anggota suku lainnya, walaupun berada dalam satu ikatan suku atau saudara kandung dari anak sulung di Suku Lowa. Unik dan sangat mistis dari warisan leluhur Suku Lowa ini yang hanya ada di Manggarai Timur.
Menantikan Ritual Kebhu
Sejak kembali ke wilayah Manggarai Raya, Flores pada Desember 2010, saya sebagai seorang jurnalis selalu mendengar kisah mistis tentang salah satu ritual adat yang selalu diceritakan oleh warga di seluruh Manggarai Raya. Setiap tahun warga selalu menantikan dan menunggu ritual adat Kebhu di muara Limbu Lea yang dilaksanakan oleh Suku Lowa.
Seluruh warga selalu menceritakan tentang ritual adat Kebhu. Mereka mengisahkan bagaimana suasana kekeluargaan dan persaudaraan selama berlangsungnya ritual itu yang hanya dilaksanakan sehari saja dalam waktu lima tahun.
Di saat rasa penasaran dan kerinduan untuk menyaksikan langsung ritual adat Kebhu yang langka ini, saya disuguhkan sebuah tulisan dari wartawan Kompas, Frans Sarong tentang ritual adat Kebhu tersebut.
Liputan itu semakin menambah penasaran untuk menantikan sambil bertanya kapan ritual ini dilaksanakan lagi di kawasan Nangarawa. Frans Sarong meliput ritual Kebhu dengan judul tulisannya, “Memanen Ikan Menjaga Harmoni”.

Bersama dengan berbagai kisah yang dituturkan oleh warga di seluruh Kota Komba khususnya dan Manggarai Raya pada umumnya serta bahan-bahan liputan yang sudah dipublikasikan membuat saya selalu gelisah dan penuh penasaran untuk meliput dan menyaksikan sendiri ritual adat Kebhu dan proses penangkapan ikan yang berlangsung di Limbu (kolam) bernama Tiwu Lea.
Limbu (kolam) Lea itu merupakan muara buntu dari Sungai Waerawa di Nangarawa, Desa Bamo, yang berlokasi di sekitar 18 km arah selatan Kisol atau 27 km dari arah Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur.
Penantian Panjang Menemui Titik Terang
Penantian panjang dengan rasa penasaran yang sangat mendalam tentang ritual adat Kebhu akhirnya menemui titik terang, Jumat (26/10/2018). Seorang warga Kisol, Kelurahan Tanahrata, Kecamatan Kota Komba, Stefanus Selasa menginformasikan di group whatsapp bahwa Minggu (28/10/2018) dilaksanakan ritual adat Kebhu di Limbu Lea oleh Suku Lowa.
Saat informasi itu saya terima, saya langsung merespons bahwa saya siap meliput ritual itu yang sudah lama dinantikan. Selanjutnya saya mengajak saudara Ino Sengkang di Kampung Munde, Desa Komba, barangkali tertarik untuk meliput dan menyaksikan langsung ritual adat Kebhu.
Perencanaan untuk meliput ritual adat Kebhu itu sudah matang dan memastikan semua peralatan liputan disimpan dalam sebuah tas. Kamera, buku catatan, pulpen, handphone, alat rekam serta berbagai keperluan lainnya termasuk air minum kemasan.
Tak lama setelah itu, Sabtu (27/10/2018), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Manggarai Timur, Lucius Modo mengundang Kompas.com untuk meliput ritual adat Kebhu di Limbu Lea (Muara Lea) di Nangarawa, Minggu (28/10/2018).
Saat itu juga saya merespons undangan liputan tersebut karena saya juga lama merindukan dan menyaksikan sendiri ritual adat Kebhu di Nangarawa, Pesisir selatan dari Manggarai Timur.
Minggu (28/10/2018) pagi, saya menyiapkan diri untuk meliput Ritual adat Kebhu. Saya berangkat dari rumah kontrakan di Kompleks Mabako, Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba. Saya mengendarai sepeda motor dari rumah menuju rumah saudara Ino Sengkang di Kampung Munde.
Pukul 10.00 Wita, kami tiba di depan Zao Merjhe Suku Lowa. Saat itu, ahli waris Suku Lowa, Donatus Jimung bersama dengan anggota Suku Lowa turun dari Zao Merjhe untuk melaksanakan ritual adat Kebhu. Kami beruntung dan bersyukur karena kami bisa mendapati prosesi dari awal ritual adat Kebhu yang dimulai dari Zao Merjhe Suku Lowa.
Selanjutnya Stefanus Selasa menginformasikan bahwa Wartawan Kompas.com dan media Cakrawala hendak meliput ritual adat Kebhu dari awal sampai akhir di Limbu Lea.
Jalan Kaki Sepanjang 2 Kilometer
Sebagaimana warisan yang secara turun temurun dilakukan oleh nenek moyang Suku Lowa bahwa prosesi ritual adat dari Zao Merjhe sampai di Limbu Lea harus jalan kaki. Sofia Anggo, saudari dari Donatus Jimung mendapatkan amanah dari tua adat Suku Lowa serta dari saudaranya untuk memikul bahan-bahan ritual serta alat-alat tangkap tradisional. Bahasa Rongga menyebutnya “Eko Neol”.
Jadi hari Minggu itu, Sofia Anggo melaksanakan ritual eko neol (pikul keranjang adat) yang di dalamnya berisi seekor ayam. jagung, alat tangkap, disebut Ndala, kelapa muda, tuak tradisional, sepa (sirih), pinang (buah pinang), ketupat berisi masakan jagung dan berbagai keperluan ritual adat yang dilangsungkan di bawah pohon Punange (pohon asam) dimana di bawah batu ada watu nurung, batu sesajian kepada leluhur Suku Lowa, Penjaga limbu Lea, alam semesta dan Sang Pencipta alam semesta.
Saat itu, Donatus Jimung sebagai ahli waris dan memegang kuasa melaksanakan ritual itu dengan mengambil kelapa muda, membelah, mengeluarkan ketupat berisi masakan jagung, tuak tradisional, seekor ayam dan berbagai bahan-bahan lainnya.
Tua adat Suku Lowa, Bonefasius Tandang, Aloisius Sarong, Paskalis Barut, Basilius Baso didampingi Ahli Waris Suku Lowa, Donatus Jimung, Margaretta Sun (istrinya Donatus Jimung), Sofia Anggo (saudarinya) duduk bersila di depan pohon Punange atau Pohon asam untuk melangsungkan ritual adat Kebhu.
Goet-goet (tutur adat) bahasa Rongga dilangsungkan oleh tetua adat Suku Lowa sambil memegang seekor ayam. Ayam tersebut disembelih untuk disembahkan kepada leluhur, alam semesta dan Sang Pencipta di Watu Nurung (batu sesajian).
Setelah ritual adat Kebhu selesai dilangsungkan di Watu Nurung Punange (pohon asam), selanjutnya dilaksanakan Kelong (menghantar bahan-bahan persembahan) dari pohon Punange menuju ke Limbu Lea dengan nyanyian-nyanyian adat "rengo ika lere liang, oro lau mbahu oro lau" atau ikan dan berbagai biota lainnya diminta keluar dari persembunyian.
Setiba di pinggir limbu lea (muara lea) di Nangarawa itu, Neol atau keranjang berisi alat-alat tangkap tradisional dan bahan sesajian diturunkan dan dilangsungkan ritual adat dengan membuang jagung yang sudah dihaluskan ke limbu lea (kolam limbu lea) oleh ahli waris ritual adat Kebhu, Donatus Jimung dan selanjutkan melemparkan Ndala adat (alat jala) dari Suku Lowa.
Selesai ritual itu dilangsungkan ratusan orang yang berada di sekeliling limbu lea (muara lea) bersama-sama secara massal masuk ke kolam untuk memulai tangkap ikan dan biota lainnya.
Ritual Adat Kebhu Hanya Setengah Hari
Menantikan selama lima tahun untuk mengikuti ritual adat Kebhu dan pelaksanaannya hanya dilangsungkan setengah hari, mulai dari pagi sampai pukul 17.00 Wita. Entah memperoleh hasil tangkapan ikan atau tidak, secara turun temurun dengan aturan lisan adat maka berakhirnya ritual adat Kebhu berakhir pukul 17.00 Wita. Disinilah keunikan dan keajaiban dari ritual adat Kebhu tersebut.
Ahli waris Ritual adat Kebhu, Donatus Jimung kepada Kompas.com, Minggu (28/10/2018) malam menjelaskan, ritual adat Kebhu merupakan warisan leluhur Suku Lowa yang terus dilaksanakan sepanjang masa.
“Tradisi ini terus menerus dilangsungkan sampai sepanjang masa karena ini merupakan warisan leluhur untuk menjalin persaudaraan dan kekeluargaan. Kami sebagai pemegang kuasa ritual ini terus mempertahankan dan melestarikannya sepanjang masa. Uniknya, untuk melangsungkan ritual adat Kebhu, Suku Lowa mengundang seluruh warga kampung dari berbagai suku di kawasan Rongga maupun di bagian selatan dari Manggarai Timur maupun dari keluarga-keluarga di berbagai tempat. Hasil tangkapan ikan dan biota lainnya dibawa pulang ke rumah masing-masing dan sebagian hasil tangkapan dimakan bersama di sekitar muara Limbu Lea. Hasil tangkapannnya juga dibagikan kepada ahli waris pemilik ritus Kebhu," katanya.
Jimung menjelaskan, inti dari tradisi Kebhu adalah menjalin persaudaraan dan kekeluargaan lintas etnis dan lintas suku dan juga agama. Menjalin persaudaraan di limbu lea (muara Lea) di Nangarawa. Suku Lowa tidak sendirian mengais anugerah Tuhan di Limbu Lea untuk menangkap ikan dan biota lainnya. Menjalin persaudaraan dan keluargaan lintas desa dengan tradisi Kebhu.
Ketua DPRD Manggarai Timur, Lucius Modo kepada Kompas.com, Rabu (31/10/2018) menjelaskan, tradisi Kebhu itu sebuah kegiatan penangkapan ikan dan biota lainnya secara bersama-sama dalam suasana persaudaraan yang didahului dengan ritus adat yang dilakukan setiap lima tahun.
Ke depan, lanjut Modo, untuk menjaga kelestarian lingkungan dan alam serta tradisi Kebhu dibuatkan peraturan desa (Perdes) tentang Kebhu. Dalam peraturan desa itu mengatur tentang masyarakat adatnya dan atur pula tentang wae limbunya atau muara limbunya. Bahwa masyarakat adat Suku Lowa terpelihara dan lingkungan Wae Limbu (muara limbu) terjaga dengan baik.
“Selama ini masyarakat Suku Lowa sudah mengurus dan menjaganya dengan baik, tetapi masih ada sebagian warga yang kurang taat dengan aturan-aturan adat dari Suku Lowa, karena tidak semua orang di sekitar Nangarawa adalah warga Suku Lowa. Selama ini masih ada yang sembunyi-sembunyi atau bolos menangkap ikan dan biota lainya di Limbu Lea dengan alat-alat tangkap modern. Dalam peraturan desa itu, ritus adat Kebhu dan menjaga kelestarian lingkungan hidupnya terjada ditangani oleh Suku Lowa sebagai pemegang kuasa dan pemilik ritus dan muara tersebut,” jelasnya.
Pensiunan wartawan Kompas, Frans Sarong kepada Kompas.com, Rabu (31/10/2018) menjelaskan, tradisi Kebhu merupakan nilai-nilai luhur dari Suku Lowa yang diwariskan nenek moyang untuk merawat alam dan menjaga kelangsungan keanekaragaman hayati di laut maupun di Limbu Lea. Pesan lain dari tradisi ini adalah setiap warga dan anggota Suku tidak rakus terhadap dalam diri sendiri maupun dalam menjaga alam.
Ini juga anugerah Tuhan Yang Mahakuasa di alam untuk dinikmati secara bersama-sama. Rezeki alam yang dijaga Suku Lowa dan dinikmati secara bersama-sama oleh ribuan warga di Manggarai Timur.
“Tradisi Kebhu merupakan tradisi yang selaras dengan alam semesta. Tradisi ini tidak menangkap ikan dan biota lainnya dengan alat-alat modern serta tidak merusak alam. Selain keadilan terhadap alam semesta karena pelaksanaannya hanya setengah hari,” jelasnya.
Menurut Sarong, kawasan Tanjung Bendera sesungguhnya merupakan pusat pertumbuhan dan perkembangan pariwisata di masa akan datang dan apabila rencana Bandara Internasional di Tanjung Bendera maka salah satu spot pariwisata budaya dan alam adalah tradisi Kebhu di muara Limbu Lea.
Kini menantikan keterlibatan pemerintah dan warga setempat untuk menjaga kelestarian dan kelangsungkan flora dan fauna serta keanekaragaman hayati di bawah laut di pesisir selatan dari Manggarai Timur. (Bersambung...)
https://travel.kompas.com/read/2018/11/01/094600627/kebhu-tradisi-menangkap-ikan-dengan-tali-persaudaraan-1-
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kebhu, Tradisi Menangkap Ikan dengan Tali Persaudaraan (1)"
Post a Comment