Korea Utara sedang mengawasi pemilu paruh waktu Amerika Serikat, bertanya-tanya apakah hasil pemilu akan bisa mempengaruhi negosiasinya dengan Trump. Pasalnya, jika Partai Republikan kalah dalam pemilu paruh waktu bulan November nanti, hal itu bisa jadi akan mempengaruhi kesepakatan Amerika dengan Korea Utara. Korea Utara merasa, kesempatan mereka berunding dengan Donald Trump adalah kesempatan sekali seumur hidup.
Baca juga: Direktur CIA: Rusia Akan Kembali Mengintervensi Pemilu Paruh Waktu Amerika
Oleh: Robbie Gramer (Foreign Policy)
Amerika sedang cemas menunggu bagaimana hasil pemilu paruh waktu kongres yang akan dilangsungkan November ini akan mengikis kekuasaan Presiden Donald Trump di Washington.
Begitu juga Korea Utara.
Para pejabat Korea Utara sedang memantau pemilu paruh waktu Amerika dengan seksama, waspada jika kemunduran Partai Republik Trump dapat menghambat negosiasi mereka dengan Amerika Serikat (AS), menurut para diplomat Korea Selatan, mantan pejabat AS, dan para ahli regional.
Jajak pendapat mengungkapkan, Partai Republik mungkin akan kehilangan mayoritas tipis mereka di Parlemen dan mungkin Senat juga.
Jika Partai Demokrat memenangkan kontrol dari salah satu badan, mereka bisa berada dalam posisi untuk mempengaruhi—atau mungkin menjegal—setiap kesepakatan antara kedua negara, staf kongres mengatakan pada Foreign Policy.
“Mereka sangat, sangat tertarik pada pemilu paruh waktu ini,” kata Sue Mi Terry, mantan analis CIA yang sekarang bertugas di Pusat Studi Strategis dan Internasional.
Menurut Terry dan diplomat Korea Selatan yang berbasis di AS, pemantauan dilakukan sebagian besar oleh para pejabat Korea Utara yang berbasis di PBB.
“Mereka benar-benar khawatir presiden mungkin tidak akan tertarik pada masalah ini lagi, mungkin dia akan dihalangi oleh Kongresnya,” kata Victor Cha, seorang profesor di Universitas Georgetown dan pernah menjadi pertimbangan utama untuk menjadi duta besar Trump untuk Korea Selatan.
Cha dan Terry mengatakan para pejabat Korea Utara mungkin juga prihatin dengan prospek kasus pemakzulan Trump—atas tuduhan kolusi pemilu oleh Rusia atau skandal lainnya yang mengganggu pemerintahannya.
Negara-negara di seluruh dunia, bahkan yang paling terpencil sekalipun, selalu tertarik dengan pemilu AS dan bagaimana hasil pemilu itu dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri negara itu.
Beberapa ahli mengatakan Korea Utara dengan seksama memantau pemilu paruh waktu, tetapi hal itu merupkan hal yang biasa.
“Tentu saja mereka mengumpulkan informasi. … Itu bukan hal baru,” kata Joel Wit, seorang sarjana bidang Asia Timur Laut di Universitas Johns Hopkins dan pendiri 38 North, situs web yang melacak masalah Korea Utara.
“Saya belum mendeteksi tanda-tanda kecemasan apapun [selain] tingkat ketertarikan yang biasa,” kata KA Namkung, seorang sarjana Korea dari University of Washington yang melibatkan pejabat Korea Utara dalam dialog Track II dan memiliki kontak dengan misi Korea Utara di PBB
“Mereka mengawasi sistem politik Amerika … seperti elang,” tambah Namkung. “Amerika adalah subyek nomor satu yang menarik bagi mereka,” katanya, bahkan sampai ke catatan pemilih senat individu.
Apa yang membuat momen ini unik adalah kenyataan bahwa Trump adalah presiden AS pertama yang bernegosiasi secara langsung dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un. Dengan melakukan hal itu—termasuk menawarkan konsesi tegas pada Pyongyang dan bahkan memberi tahu sekumpulan pendukungnya, bahwa dia “jatuh cinta” dengan Kim—Trump telah mengubah kebijakan AS dan bahkan mengejutkan beberapa penasehatnya sendiri.
“Mereka benar-benar percaya … ini adalah kesempatan sekali seumur hidup yang mereka miliki dengan Presiden Trump,” kata Terry.
Selama akhir pekan, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo melakukan kunjungan keempatnya ke Pyongyang, bertemu dengan Kim selama tiga setengah jam. Pompeo kemudian mengatakan, Korea Utara siap untuk mengizinkan para inspektur internasional memasuki situs uji coba nuklir Punggye-ri, yang kata pemerintah Korea Utara telah dibongkar. Dia juga mengatakan mereka membahas tentang rencana pertemuan puncak kedua antara Trump dan Kim, meskipun ia tidak menyebutkan tanggal atau lokasi tertentu.
Korea Utara telah membuat beberapa konsesi dengan Amerika Serikat sejak dimulainya perundingan dengan pemerintahan Trump, termasuk mengembalikan sisa-sisa jasad dari beberapa anggota pasukan AS yang tewas dalam Perang Korea 1950-1953, melepaskan tiga orang Amerika yang ditahan, dan menghentikan uji coba rudal.
Namun Kim belum setuju untuk membongkar program nuklir Korea Utara atau menyerahkan bahan nuklirnya.
Beberapa orang di Kongres menjadi semakin gelisah. “Kami menjadi semakin tidak sabar dengan semua urusan palsu ini dan pada kenyataannya semua ini tidak menghasilkan sesuatu yang signifikan,” kata seorang staf senior di Kongres Partai Demokrat.
Para staf juga mengatakan anggota parlemen merasa Pompeo menyembunyikan sesuatu tentang perundingan dengan Korea Utara. “Tidak ada keterlibatan dengan Capitol Hill,” kata staf itu. “Kami masih belum mendapat penjelasan pada pertemuan [Trump-Kim] yang pertama.”
Departemen Luar Negeri tidak segera menanggapi permintaan untuk komentar.
Baca juga: Pendonor Besar Partai Republik: ‘Pemilu Paruh Waktu Amerika akan Sangat Brutal’
Menurut beberapa staf, anggota parlemen Partai Demokrat sedang bersiap untuk meminta lebih banyak dengar pendapat tentang Korea Utara jika mereka merebut kembali Senat atau Parlemen dan mendorong undang-undang yang mengemisi pengawasan kongres pada kesepakatan nuklir.
Trump menyebut pertemuan puncak bulan Juni dengan Kim di Singapura sebagai tonggak utama dalam upaya AS untuk menghapus program nuklir Korea Utara. Para kritikus menyoroti KTT dan komunike yang menyertainya sebagai sesuatu yang samar dan kurang ada tanda-tanda kemajuan yang nyata.
Kritik terhadap KTT itu datang dari anggota parlemen dari kedua sisi lorong. Beberapa orang merasa KTT itu memberikan legitimasi atas kekuasaan Kim, sementara yang lain khawatir bahwa Trump akan menyerahkan konsesi besar Korea Utara tanpa mendapatkan banyak imbalan.
Menanggapi KTT, Senator Bob Menendez, anggota Partai Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senat, dan Cory Gardner, seorang anggota Partai Republik di komite yang sama, memperkenalkan undang-undang selama musim panas untuk memperkuat pengawasan kongres pada setiap kesepakatan antara Trump dan Kim.
“Setelah pemerintah menandatangani pernyataan bersama yang tidak jelas di Singapura tanpa rincian tentang jalan menuju denuklirisasi, kebutuhan akan pengawasan Kongres lebih jelas dari sebelumnya,” kata Menendez dalam sebuah pernyataan yang menyertai undang-undang tersebut. Undang-undang ini masih tertunda di komite.
Namun Pompeo membela kebijakan pemerintah terhadap Korea Utara.
“Kami membuat kemajuan yang signifikan,” katanya dari Seoul pada hari Senin (8/10) setelah perjalanannya ke Pyongyang. “Kami membuat kemajuan yang lebih signifikan daripada pemerintahan sebelumnya.”
Robbie Gramer adalah seorang reporter diplomasi dan keamanan nasional di Foreign Policy. @RobbieGramer
Keterangan foto utama: Presiden AS Donald Trump dan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bertemu di Singapura pada 12 Juni (Foto: AFP/Getty Images/Saul Loeb)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Korea Utara: Apakah Partai Republikan Akan Kehilangan ..."
Post a Comment