
Catatan Ispiratif dari Ujung Barat Tana Toraja
Ketika memulai tulisan ini, saya sempat membuat judul Hendrik Usa, Pemuda Tangguh dari Simbuang. Namun saya teringat pesan Hendrik kepada saya yang menyelipkan kalimat “memiliki keterbatasan fisik, yaitu hanya satu tangan”, sehingga saya memilih judul yang menggunakan kata disabilitas.

Bicara soal Simbuang dan Mappak, dua kecamatan paling barat di kabupaten Tana Toraja, bayangan orang langsung tertuju pada kondisi jalanan yang berlumpur merah, berlubang, dan susah dilewati. Bayangan itu tidaklah salah. Karena memang hingga saat ini kondisi jalan ke dua kecamatan ini masih sangat memprihatinkan. Masih rusak berat di beberapa titik.
Meski selalu mengeluh soal kondisi jalan yang tak kunjung baik, namun orang Simbuang dan Mappak bukanlah tipe manusia yang mudah menyerah. Mereka begitu mencintai daerahnya. Beberapa pemuda dari daerah itu, juga terbukti kuat dan pantang menyerah. Seperti sosok yang sedang saya ceritakan ini.
Namanya Hendrik Usa. Lajang berusia 34 tahun ini sehari-hari biasa disapa Endi. Karena sebuah kecelakaan beberapa tahun lalu, tangan kanannya terpaksa diamputasi. Kini, Endi hanya memiliki satu tangan, kiri.
Saya menyebutnya disabilitas tangguh yang pantang menyerah. Dia mampu menginspirasi saya, yang punya dua tangan dan panca indra yang lengkap. Betapa tidak, hanya dengan tangan kiri, saban hari Endi membawa mobilnya melintasi medan-medan berlumpur dan berlubang dari Simbuang-Mappak ke Toraja atau Mamasa atau Polman.

“Pertama memang agak kaku, tapi lama kelamaan jadi terbiasa dengan satu tangan,” sebut Endi.
Dia membawa mobil jenis Suzuki Vitara yang sudah dimodifikasi untuk medan berat. Dia juga membawa truk untuk mengangkut orang atau material bangunan. “Air, lumpur, nginap di jalan, hujan, itu sudah makanan sehari-hari untuk kami,” katanya, tanpa ada nada keluhan di dalamnya.

Dengan mobil ini, Endi mengangkut warga Simbuang-Mappak yang hendak ke Toraja atau Mamasa. Dia juga mengangkut material bangunan dan barang kebutuhan pokok. Terkadang juga mengangkut hewan. Dia punya nyali dan semangat yang luar biasa.
“Tentu kami merindukan jalan yang layak untuk dilewati. Biar ekonomi masyarakat di sini bisa berkembang. Banyak hal yang bisa dijual seandainya kondisi jalan bagus. Tapi apa mau dikata, kondisi jalan kami seperti ini,” dia berujar.
Yang membuat saya makin kagum adalah semangat dan jiwa sosial dari Endi. Meski dia sendiri adalah penyandang disabilitas, namun dari hasil keringatnya mengangkut orang dan barang ke Simbuang-Mappak, dia masih menyisihkan sebagian untuk warga yang tidak mampu. Secara berkala dia mengunjungi warga yang menurutnya kurang mampu dari sisi ekonomi. Dia memberikan bantuan kepada mereka, entah itu beras, selimut, mie instan, kasur, atau pakaian.

“Kalau ada lebih-lebih sedikit, ya saya berbagi dengan saudara-saudara yang kurang beruntung dari saya,” katanya.
Endi mengingatkan saya akan sosok pemuda Mappak lain bernama Martinus, yang akrab disapa Belanda. Cukup lama saya tidak bertemu lagi dengan Belanda ini. Terakhir saya dapat informasi bahwa dia sudah jadi ASN dan mengabdi di Mappak.
Tahun 2006, pertama kali saya menginjakkan kaki di Simbuang dan Mappak, ditemani oleh Martinus. Saya ingat bahwa kondisi jalan di Simbuang dan Mappak tahun 2006 hampir sama dengan saat ini. Sepeda motor Honda Win semi trail yang kami pakai waktu itu tenggelam dalam lumpur. Beruntung ada warga yang lewat dan membantu mengangkat sepeda motor itu dari dalam lumpur di tengah hujan lebat.
Saya jadi paham kenapa masyarakat Simbuang dan Mappak selalu berteriak kepada pemerintah untuk memperbaiki jalan mereka. Sebab, amat susah ekonomi berkembang dan taraf hidup masyarakat membaik, jika sarana transportasi ini tidak dibenahi. Dengan kondisi seperti itu, masuk ke Simbuang dan Mappak seolah ke dunia lain. Dunia yang masih serba terbatas, hanya karena sarana jalan yang tidak memadai.
Sebagai penutup catatan ini, saya teringat beberapa warga yang saya sapa di Pasar Kondodewata pada tahun 2006 lalu. “Mau kemana Tanta?” Mereka menjawab,”Mau ke Toraja.” Seolah Mappak dan Simbuang bukan bagian dari Tana Toraja.
Untuk Endi, Marthinus, Ma’dika, dan beberapa pemuda Simbuang-Mappak lainnya, tetaplah berjuang saudara. Tuhan memberkati kalian semua. (Catatan: Avelino Agustinus/Pemimpin Redaksi Karebatoraja.com)


Catatan Ispiratif dari Ujung Barat Tana Toraja
Ketika memulai tulisan ini, saya sempat membuat judul Hendrik Usa, Pemuda Tangguh dari Simbuang. Namun saya teringat pesan Hendrik kepada saya yang menyelipkan kalimat “memiliki keterbatasan fisik, yaitu hanya satu tangan”, sehingga saya memilih judul yang menggunakan kata disabilitas.

Bicara soal Simbuang dan Mappak, dua kecamatan paling barat di kabupaten Tana Toraja, bayangan orang langsung tertuju pada kondisi jalanan yang berlumpur merah, berlubang, dan susah dilewati. Bayangan itu tidaklah salah. Karena memang hingga saat ini kondisi jalan ke dua kecamatan ini masih sangat memprihatinkan. Masih rusak berat di beberapa titik.
Meski selalu mengeluh soal kondisi jalan yang tak kunjung baik, namun orang Simbuang dan Mappak bukanlah tipe manusia yang mudah menyerah. Mereka begitu mencintai daerahnya. Beberapa pemuda dari daerah itu, juga terbukti kuat dan pantang menyerah. Seperti sosok yang sedang saya ceritakan ini.
Namanya Hendrik Usa. Lajang berusia 34 tahun ini sehari-hari biasa disapa Endi. Karena sebuah kecelakaan beberapa tahun lalu, tangan kanannya terpaksa diamputasi. Kini, Endi hanya memiliki satu tangan, kiri.
Saya menyebutnya disabilitas tangguh yang pantang menyerah. Dia mampu menginspirasi saya, yang punya dua tangan dan panca indra yang lengkap. Betapa tidak, hanya dengan tangan kiri, saban hari Endi membawa mobilnya melintasi medan-medan berlumpur dan berlubang dari Simbuang-Mappak ke Toraja atau Mamasa atau Polman.

“Pertama memang agak kaku, tapi lama kelamaan jadi terbiasa dengan satu tangan,” sebut Endi.
Dia membawa mobil jenis Suzuki Vitara yang sudah dimodifikasi untuk medan berat. Dia juga membawa truk untuk mengangkut orang atau material bangunan. “Air, lumpur, nginap di jalan, hujan, itu sudah makanan sehari-hari untuk kami,” katanya, tanpa ada nada keluhan di dalamnya.

Dengan mobil ini, Endi mengangkut warga Simbuang-Mappak yang hendak ke Toraja atau Mamasa. Dia juga mengangkut material bangunan dan barang kebutuhan pokok. Terkadang juga mengangkut hewan. Dia punya nyali dan semangat yang luar biasa.
“Tentu kami merindukan jalan yang layak untuk dilewati. Biar ekonomi masyarakat di sini bisa berkembang. Banyak hal yang bisa dijual seandainya kondisi jalan bagus. Tapi apa mau dikata, kondisi jalan kami seperti ini,” dia berujar.
Yang membuat saya makin kagum adalah semangat dan jiwa sosial dari Endi. Meski dia sendiri adalah penyandang disabilitas, namun dari hasil keringatnya mengangkut orang dan barang ke Simbuang-Mappak, dia masih menyisihkan sebagian untuk warga yang tidak mampu. Secara berkala dia mengunjungi warga yang menurutnya kurang mampu dari sisi ekonomi. Dia memberikan bantuan kepada mereka, entah itu beras, selimut, mie instan, kasur, atau pakaian.

“Kalau ada lebih-lebih sedikit, ya saya berbagi dengan saudara-saudara yang kurang beruntung dari saya,” katanya.
Endi mengingatkan saya akan sosok pemuda Mappak lain bernama Martinus, yang akrab disapa Belanda. Cukup lama saya tidak bertemu lagi dengan Belanda ini. Terakhir saya dapat informasi bahwa dia sudah jadi ASN dan mengabdi di Mappak.
Tahun 2006, pertama kali saya menginjakkan kaki di Simbuang dan Mappak, ditemani oleh Martinus. Saya ingat bahwa kondisi jalan di Simbuang dan Mappak tahun 2006 hampir sama dengan saat ini. Sepeda motor Honda Win semi trail yang kami pakai waktu itu tenggelam dalam lumpur. Beruntung ada warga yang lewat dan membantu mengangkat sepeda motor itu dari dalam lumpur di tengah hujan lebat.
Saya jadi paham kenapa masyarakat Simbuang dan Mappak selalu berteriak kepada pemerintah untuk memperbaiki jalan mereka. Sebab, amat susah ekonomi berkembang dan taraf hidup masyarakat membaik, jika sarana transportasi ini tidak dibenahi. Dengan kondisi seperti itu, masuk ke Simbuang dan Mappak seolah ke dunia lain. Dunia yang masih serba terbatas, hanya karena sarana jalan yang tidak memadai.
Sebagai penutup catatan ini, saya teringat beberapa warga yang saya sapa di Pasar Kondodewata pada tahun 2006 lalu. “Mau kemana Tanta?” Mereka menjawab,”Mau ke Toraja.” Seolah Mappak dan Simbuang bukan bagian dari Tana Toraja.
Untuk Endi, Marthinus, Ma’dika, dan beberapa pemuda Simbuang-Mappak lainnya, tetaplah berjuang saudara. Tuhan memberkati kalian semua. (Catatan: Avelino Agustinus/Pemimpin Redaksi Karebatoraja.com)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Hendrik Usa, Disabilitas Panakluk Kerasnya Medan Simbuang-Mappak - Kareba Toraja"
Post a Comment