Jakarta, Beritasatu.com- Reformasi di dalam tubuh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) diyakini sangat penting untuk menghindari ketidakseimbangan dalam pengambilan keputusan untuk berbagai isu di dunia. Sayangnya, proses reformasi berjalan sangat lambat, bahkan satu-satunya reformasi yang pernah dilakukan DK PBB hanyalah penambahan jumlah anggota tidak tetap dari enam negara menjadi 10 negara pada 1965.
“Sangat penting bagi DK PBB untuk melakukan reformasi karena harus mampu merefleksikan realitas saat ini,” kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Febrian Alphyanto Ruddyard dalam diskusi yang digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Selasa (9/4).
Diskusi bertajuk “Global Challenges Faced by the U.N. Security Council: Perspectives of Poland and Indonesia” atau “Tantangan Global yang Dihadapi DK PBB: Perspektif Polandia dan Indonesia” juga dihadiri Duta Besar sekaligus Perwakilan Tetap Republik Polandia untuk PBB, Joanna Wronecka.
Saat ini, Indonesia menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk periode dua tahun mulai Januari 2019 sampai Desember 2020.
Febrian mengatakan reformasi DK PBB sudah tertuang dalam keputusan Sidang Majelis Umum (SMU) PBB nomor 62/557 tahun 2008.
Empat Isu
Ada empat isu kunci reformasi DK dalam keputusan itu, pertama, kategori keanggotaan mencakup kemungkinan untuk menambah atau mempertahankan jumlah anggota tetap DK PBB. Kedua, hak veto anggota tetap DK.
“Apakah akan dihapuskan, atau tetap seperti saat ini, atau diatur?” ujarnya.
Ketiga, isu perwakilan kawasan. Ini mencakup jumlah negara yang mewakili setiap kawasan, cukup atau harus ditambahkan. Keempat, ukuran DK PBB artinya keperluan untuk memperbesar atau mempertahankan jumlahnya seperti saat ini.
“Apakah kita bicara dari 15 negara anggota (5 anggota tetap dan 10 anggota tidak tetap) menjadi 26, 35, atau 45? Tapi saya pikir persoalan ini, bahkan dengan 15 negara, kita sulit mencapai keputusan. Bisa dibayangkan jika ada 40 negara dengan lebih dari lima anggota permanen yang masing-masing pun hak veto? Kita tidak akan bisa memutuskan apa pun,” kata Febrian.
Febrian mengatakan situasi DK PBB jauh berbeda dari segi dinamika maupun suasananya dibandingkan 10-15 tahun lalu. Sejumlah tantangan yang dihadapi antara lain meningkatnya pengawasan dari dalam negeri dan melemahnya prinsip multilateralisme.
Sementara itu, Dubes Wronecka mengatakan tidak hanya DK PBB, sistem PBB secara umum juga membutuhkan reformasi tetap dan harus diterima semua pihak.
“Saya selalu berusaha membawa ide-ide konstruktif, bahkan ketika kami memiliki kesan ada keputusan sepihak. Kami percaya anggota PBB masih berkontribusi dalam basis multilateralisme,” katanya.
Presidensi Indonesia
Di sisi lain, Febrian menambahkan Indonesia akan memegang presidensi DK PBB sebanyak dua kali, yaitu pada Mei 2019 dan Agustus atau September 2020. Sebagai presiden DK PBB bulan Mei nanti, Indonesia akan mengangkat tema besar “UN Peacekeeping” atau “Pasukan Perdamaian PBB”. Pemilihan tema tersebut berdasarkan rekam jejak dan kapasitas Indonesia, animo dan dukungan dari dalam atau anggota PBB lainnya, serta tantangan terkini.
Febrian mengatakan Indonesia sudah merencanakan sejumlah kegiatan selama masa presidensinya yang berlaku satu bulan. Di antaranya, sidang resmi dalam format debat terbuka mengenai operasi pasukan perdamaian dan perlindungan warga sipil dalam konflik bersenjata, diskusi informal DK PBB dalam format Arria Formula mengenai Palestina, serta resepsi diplomatik dan pertunjukan budaya.
“Pertunjukan budaya akan dimanfaatkan untuk menunjukkan kekayaan budaya Indonesia dan kampanye Indonesia di Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) untuk periode 2020-2022,” kata Febrian.
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Reformasi DK PBB Berjalan Sangat Lambat - BeritaSatu"
Post a Comment