Search

Kearifan lokal luntur, konflik massal makin marak - BeritagarID

Sedikitnya 87 rumah di Desa Gunung Jaya, Buton, Sulawesi Tenggara, dibakar dalam keributan antarpemuda di perbatasan Desa Sampuabalo, Rabu (5/6/2019).

Sedikitnya 87 rumah di Desa Gunung Jaya, Buton, Sulawesi Tenggara, dibakar dalam keributan antarpemuda di perbatasan Desa Sampuabalo, Rabu (5/6/2019). | Emil /Jojon /Antara Foto

Konflik massal melibatkan dua desa di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), terjadi saat hari pertama Lebaran 2019 (5/6/2019). Konflik antara para pemuda Desa Gunung Jaya dan Sampuabalo membuat 87 rumah di desa pertama hangus terbakar.

Data sejarah potensi desa (podes) Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipelajari Lokadata Beritagar.id menunjukkan ini adalah konflik massal pertama yang melibatkan Desa Gunung Jaya dan Sampuabalo.

Namun menurut Darmin Tuwu, Dosen Sosiologi Universitas Halu Oleo di Kendari (Sultra), konflik antar-dua desa tersebut sudah sering terjadi tapi intensitasnya lebih kecil. "Yang terjadi saat Lebaran kemarin adalah puncak gunung es," kata Darmin dari Kendari kepada Beritagar.id melalui telepon, Jumat (14/6).

Konflik massal dalam skala besar terjadi pertama kali antara para pemuda Desa Gunung Jaya dan Sampuabalo di Buton, Sulawesi Tenggara.

Konflik massal dalam skala besar terjadi pertama kali antara para pemuda Desa Gunung Jaya dan Sampuabalo di Buton, Sulawesi Tenggara. | Lokadata /Beritagar.id

Hampir semua konflik massal, BPS menyebutnya perkelahian massal, disebabkan oleh faktor keramaian yang dihadiri orang banyak. Antara lain ajang hiburan atau pertandingan olahraga.

Saat konflik di perbatasan Desa Gunung Jaya dan Sampuabalo, pemicunya adalah konvoi sekitar 20 sepeda motor. Para pemuda Desa Sampuabalo melewati Desa Gunung Jaya dengan knalpot bersuara gaduh.

Aktivitas itu membuat warga Desa Gunung Jaya marah dan membalas dengan lemparan batu. Adapun polisi menyebut pemicunya kesalahpahaman.

Darmin mengatakan keramaian sebagai pemicu keributan sudah terjadi di mana-mana, bukan cuma di Buton. Persoalannya, masyarakat di Buton juga kekurangan hiburan.

Ketika ada hiburan, para pemuda "merayakannya" dengan minum-minum dan mabuk. "Ketika sudah mabuk, orang menjadi sok jago," katanya.

Darmin menegaskan konflik-konflik kecil karena mabuk itu yang sering kali tidak ditangani dengan baik. Polisi, lanjutnya, seharusnya tegas dalam menghadirkan hukum (rule of law).

"Jadi jangan tebang pilih. Tangkap siapa yang membuat keonaran, tidak pandang bulu dia anak siapa atau dari keluarga mana," tutur Darmin yang menyebut hal ini sebagai solusi jangka pendek.

Darmin lebih lanjut mengatakan bahwa pemicu lain yang juga tak bisa diabaikan adalah faktor kecemburuan sosial dan ekonomi. Dalam konteks di Buton yang bekas daerah kesultanan, Sampuabalo adalah desa tertua dan Gunung Jaya adalah desa pemekaran.

"Misalnya ada pembukaan pasar, tapi bukan di Sampuabalo, melainkan di Gunung Jaya yang lebih banyak diisi pendatang. Bupati pun dari lain wilayah," katanya.

Isu seperti itu, sambung Darmin, seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah. Apalagi masyarakat Buton begitu plural sehingga persatuan menjadi hal yang sulit dan rapuh ketika ada masyarakat yang merasa tidak adil.

Darmin pun menyebut kearifan lokal yang dulu pernah ada pada zaman Kesultanan Buton kian luntur. Kearifan lokal dinilai tepat sebagai solusi jangka panjang.

Masyarakat juga perlu kembali melihat nilai-nilai kearifan lokal. Kesultanan Buton pada masa lampau, misalnya, memiliki sara petauna; empat norma bermasyarakat. Masing-masing adalah saling menghargai, saling mencintai, saling menjaga dan memelihara, serta saling menghormati.

"Faktor ini yang sekarang hilang dari masyarakat. Konvoi sepeda motor itu sebagai contoh (tidak menghargai dan menghormati)," katanya.

Faktor lain yang juga hilang adalah orang yang dituakan atau dihormati semua kalangan. Misalnya dulu Kesultanan Buton punya parabela, semacam panglima informal yang punya keunggulan kanuragan dan kharisma.

Meski begitu, keributan massal di Buton atau Sultra secara keseluruhan bukan yang terbanyak, bahkan jumlahnya relatif sedikit --"cuma" 84 kali pada 2018. Peristiwa terbanyak terjadi di Papua hingga 447 kejadian.

Di Papua, jenis konfliknya lebih banyak antarwarga seperti di Jawa Barat --tidak berdasarkan identitas desa asal. Sebaliknya di Jawa Tengah, konflik didominasi oleh perkelahian warga antardesa atau kelurahan. Tiga provinsi ini berada di peringkat atas dalam hal jumlah konflik massal di Indonesia pada 2018.

Dan jumlah konflik massal di Indonesia memang meningkat dalam satu dekade terakhir (2008-2018). Darmin memperkirakan kearifan lokal yang luntur menjadi pemicu kebanyakan konflik massal.

Faktor kearifan lokal ini selaras dengan teori ahli sosiologi asal Amerika Serikat, Ted Robert Gurr, dalam bukunya Handbook of Political Conflict: theory and research (1980). Gurr mengatakan konflik bisa dikendalikan dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan.

Selain kearifan lokal, ada pula pranata sosial yang mulai hilang digilas perkembangan zaman modern. "Coba kembalikan saja perangkat-perangkat kearifan lokal itu," paparnya seraya menyebut ini sebagai solusi mengatasi konflik untuk jangka panjang.

Konflik massal terus meningkat di Indonesia.

Konflik massal terus meningkat di Indonesia. | Lokadata /Beritagar.id

Let's block ads! (Why?)

https://beritagar.id/artikel/berita/kearifan-lokal-luntur-konflik-massal-makin-marak

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kearifan lokal luntur, konflik massal makin marak - BeritagarID"

Post a Comment

Powered by Blogger.