:strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/2093845/original/088286900_1523956367-20180417-Nilai-Tukar-AY8.jpg)
Saat ini, lanjut Tony, krisis dipicu oleh utang luar negeri swasta. Namun belajar dari pengalaman tersebut, pemerintah kini dinilai telah bisa memantau utang swasta secara baik.
"Kejadian itu muncul karena ada indikator ekonomi yang luput, yaitu utang luar negeri oleh swasta. Karena saat sistem devisa kita bebas, jadi swasta boleh utang keluar negeri bebas dan tidak tercatat. Setelah itu pemerintah Indonesia memaksa utang swasta harus dicatat. Sejak saat itu pemerintah bisa meng-handle utang swasta, berapa besar, jatuh tempo kapan sehingga profil utang kita terkendali. Jadi konsidi utang kita tidak seserius seperti 1998," jelas dia.
Meski demikian, Tony tetap meminta pemerintah untuk lebih waspada dan jangan menganggap enteng masalah pelemahan ini. Sebab, Indonesia masih memiliki sisi yang lemah bisa menjadi pemicu terjadinya krisis.
"Sekarang saya duga ada struktur ekonomi kita yang kurang kuat. Ketika membuat studi soal Indonesia dan Asia Timur, negara seperti Taiwan, Korea ekonominya berorientasinya ekspor, maka dia bisa himpun cadangan devisa yang gede makanya mata uangnya stabil. Yang lemah dari kita soal devisa, karena yang masuk kebanyakan mengandung devisa dari hot money bukan ekspor," tandas dia.
https://www.liputan6.com/bisnis/read/3520442/rupiah-14000-per-dolar-as-bayang-bayang-krismon-1998-menghantui-riBagikan Berita Ini
0 Response to "Rupiah 14.000 per Dolar AS, Bayang-Bayang Krismon 1998 Menghantui RI"
Post a Comment