Kritik dari seorang pahlawan perang menimbulkan pertanyaan, apakah militer Israel, yang dilihat sebagai mesin mutakhir, memuaskan? Pasukan Pertahanan Israel (IDF) memang bisa disejajarkan dengan militer kelas dunia lainnya, namun kritik mengatakan ada kelemahan operasional dan doktrin pertempuran perangnya.
Oleh: Zev Chafets (Bloomberg)
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) secara umum dilihat sebagai mesin militer mutakhir. IDF dilengkapi dengan kapasitas perang siber yang sangat mematikan, intel dengan mata-mata di seluruh dunia, sistem pertahanan rudal tingkat perang bintang, angkatan udara yang terkenal, dan kader pasukan khusus—pasukan kecil tapi luar biasa terlatih.
Tapi kritik pedas terhadap budaya IDF dan kesiapan dari seorang pensiunan jenderal telah menciptakan perdebatan di Israel tentang apakah negara itu telah menjadi puas dengan militernya. Ini adalah perdebatan yang menarik, bahkan jika beberapa ketakutan mungkin terlalu dibesar-besarkan.
Kritik datang dari Yitzhak Brick awal bulan ini, pahlawan Perang Yom Kippur 1973, yang telah menjadi ombudsman IDF selama dekade terakhir. Dia bukan anggota staf umum IDF, tetapi seorang aktor independen yang meninggalkan jabatannya pada 1 Januari, setelah 10 tahun bertugas.
Dalam dokumen tebal yang dikirim ke Menteri Pertahanan dan Komite Knesset tentang Urusan Luar Negeri dan Keamanan, Brick merinci apa yang dilihatnya sebagai kelemahan serius dalam kemampuan operasional IDF dan doktrin pertempuran perang. Laporan ini diklasifikasikan sebagai “rahasia,” tetapi menyebarnya laporan itu memastikan bahwa laporan itu secara efisien telah bocor.
Menurut koresponden militer Haaretz Amos Har-el, Brick mengemukakan kekhawatiran tentang apa yang dilihatnya sebagai pengikisan pasukan darat IDF, dan juga ketidaksediaan staf umum untuk menyelidiki sendiri dan memperbaiki kesalahannya.
Kritik Brick datang tepat setelah Kepala Staf IDF Jenderal Gadi Eisenkot, yang menyelesaikan tugas empat tahunnya pada awal tahun 2019, mempresentasikan kepada pemerintah Israel dokumen yang menyatakan kesiapan tingkat tinggi tentara di bawah kepemimpinannya, yang berbunyi:
Sebagai orang yang bertanggung jawab atas kesiapan untuk berperang, saya menyatakan bahwa IDF siap untuk melaksanakan setiap misi yang diperlukan. Tentara dengan kecerdasan dan superioritas udara, kemampuan darat dan pengalaman operasional yang kaya yang diuji setiap hari di ranah perang.
Eisenkot membuat para jenderal bawahannya menandatangani dokumen itu. Sejauh yang saya tahu, tidak ada yang tidak setuju. Jadi laporan IDF mana yang benar?
Para perwira senior segera bersatu di belakang Eisenkot, menunjukkan, dengan benar, bahwa peran ombudsman adalah untuk menangani keluhan-keluhan tentara, bukan menilai kualitas tentara. Mereka juga benar dalam mencatat bahwa militer Israel adalah kelas dunia. Tetapi kritik Brick, yang mempertanyakan kemampuan IDF untuk memerangi perang darat yang sukses di dua front, telah membangkitkan kecemasan terhadap kekuatan ekonomi dan militer Israel.
Pada tahun 1973, sebuah komando tinggi Israel yang mengaku sangat siap terbukti kewalahan saat menghadapi serangan kejutan Mesir-Suriah yang, menurut intelegensi IDF, tidak mungkin terjadi. Dan ketika serangan itu datang, senjata pamungkas Israel, kekuatan udara yang konon tak terkalahkan, kehilangan sekitar sepertiga jet tempurnya karena tertembak rudal SAM 6 yang dipasok oleh Uni Soviet.
Israel terhindar dari bencana hanya setelah serangan balik oleh pasukan infantri dan bersenjata, banyak dari mereka merupakan pasukan cadangan. Secara keseluruhan, lebih dari 2.500 tentara tewas, dan lebih dari 8.500 orang terluka (termasuk Yitzhak Brick)—jumlah yang mengerikan untuk negara dengan total penduduk berjumlah 4 juta.
Brick, yang berasal dari generasi Yom Kippur, berpikir bahwa Eisenkot dan para jendralnya telah melupakan pelajaran dari tahun 1973 tersebut. Bahkan, beberapa kesalahan terletak pada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Netanyahu, yang juga anggota dari generasi Yom Kippur dan merupakan seorang petinggi keamanan dan seorang ahli strategi. Selama satu dekade menjabat, dia telah mengembangkan doktrin militer baru berdasarkan keunggulan teknologi Israel—yang menghasilkan kemampuan perang bintang.
Namun, alat-alat ini sesuai dengan keadaan geopolitik Israel, yang tidak lagi memasukkan ancaman dari negara tetangga Mesir atau Yordania. Mereka memaksimalkan kemampuannya untuk bertarung dari jarak jauh. Kampanye di langit Suriah saat ini adalah salah satu contohnya. Begitu juga kinerja yang hampir sempurna dari sistem anti-roket Iron Dome di depan Gaza.
Pertempuran semacam ini membuat pertempuran dengan cara lama tampak kuno. Tidak ada kebutuhan yang jelas untuk korps lapis baja besar seperti korps yang sangat berjasa di tahun 1973, atau unit cadangan yang dulu merupakan tulang punggung negara. Bahkan waktu lamanya wajib militer pun menyusut.
Sebagian besar orang Israel menyambut perubahan ini. Mereka menginspirasi kepercayaan diri. Orang-orang merasa terlindungi. Ketika Eisenkot mengatakan bahwa tentara siap untuk menghadapi tantangan apa pun, ia dipercaya semua orang.
Dari perspektif itu, Brick tampak seperti utusan dari zaman lain, mengingatkan orang Israel tentang konsekuensi dari berpuas diri. Tetapi walaupun IDF adalah tentara yang sangat kuat, mereka tidak mahakuasa dan para pemimpinnya telah melakukan kesalahan serius.
Pada tahun 2015, intelijen meremehkan jumlah dan bahaya terowongan Hamas, dan infanteri juga benar-benar tidak berkinerja dengan baik. Belum lama ini, tidak ada yang meramalkan keefektifan balon-balon berapi, dan IDF masih tidak memiliki solusi untuk itu.
Pemilihan waktu datangnya pesan Brick ini telah memainkan peran besar dalam mengaduk perdebatan, dan itu bukan kebetulan. Yom Kippur adalah saat di mana bahkan orang-orang Israel yang paling percaya diri merasakan setidaknya sedikit kecemasan.
Sehari setelah Yom Kippur, Presiden Israel Reuven Rivlin mengenang para pahlawan yang gugur pada peringatan ke-45 perang: “Kita butuh mengakhiri kepemimpinan yang berasal dari satu tempat, yang berbicara dengan satu suara dan yang menolak perbedaan pendapat karena, seperti yang telah kita pelajari, konsekuensinya sangat, sangat besar.”
Yitzhak Brick, seorang prajurit tua, mungkin melebih-lebihkan kelemahan IDF. Tetapi dengan menantang penerimaan publik atas evaluasi diri IDF, dia juga membantu merencanakan perang berikutnya. Jika itu menyebabkan lebih banyak introspeksi, bahkan penyelidikan, itu bukan hal yang buruk, dan orang Israel mungkin suatu hari nanti akan berterima kasih kepadanya.
Keterangan foto utama: Seorang tentara Israel siap menembak (Foto: AFP/Getty Images/Jaafar Ashtiyeh)

Bagikan Berita Ini
0 Response to "Miliki Militer Kelas Dunia, Apakah Israel Siap Tempur?"
Post a Comment