Search

Sejak Januari, Terjadi 35 Kasus Konflik Manusia dengan Satwa Liar ...

 

Pekanbaru, Gatra.com - Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau mencatat, sejak Januari hingga Oktober 2018, konflik manusia dengan satwa liar dilindungi ada 35 kasus.

Ini terjadi paling banyak di Kabupaten Kampar, Siak serta Kuantan Singingi. Kejadian itu lantaran semakin sempitnya habitat hewan tersebut, yang berubah fungsi dari hutan menjadi perkebunan.

Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Suharyono mengatakan, untuk di Kampar ada 7 kasus konflik satwa liar dengan masyarakat, seperti Monyet Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) dan Gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatranus).

"Sedangkan di Siak terdapat 6 kasus, antara warga dengan Macan Dahan (Neofelis Nebulosa), Beruang Madu (Helarctos Malayanus) dan Gajah Sumatra," ujar Suharyono, Rabu (14/11).

Di Kuantan Singingi terjadi 6 kasus, konflik warga dengan Buaya Senyulon (Tomistoma Schlegelii), Ungko (Hylobates Agillis), dan Siamang (Symphalangus Syndactylus).

Di Bengkalis ada 5 Kasus, konflik dengan Beruang Madu dan Gajah Sumatra. Dan di Pelalawan ada 4 kasus, antara Harimau Sumatera (Phantera Tigris Sumaterae), Buaya Muara (Crocodylus Porosus), Beruang Madu dan Gajah Sumatra.

Sedang di Kabupaten Indragiri Hilir ada 3 kasus, konflik dengan Harimau Sumatera, Buaya Muara, dan Beruang Madu. Untuk Kota Pekanbaru ada 2 kasus, konflik warga dengan Gajah Sumatra.

"Di Kepulauan Meranti ada 1 kasus, konflik dengan Buaya Muara. Di Kabupaten Indragiri Hulu ada 1 kasus, konflik manusia dengan Harimau Sumatera," katanya.

Untuk menangani konflik antara warga dengan satwa liar, pihaknya melakukan sejumlah pencegahan agar tidak kembali terulang. 

Salah satunya dengan sosialisasi. Hal itu mengacu Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.48/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar.

"Kita sampaikan kepada masyarakat, kita memiliki Quick Respon untuk percepatan penyampaian informasi di nomor telpon saja ke 081374742981. Setelah itu, akan kita kirim personel yang paling dekat dengan lokasi temuan satwa liar dan jika terjadi konflik dengan manusia," jelas Suharyono.

Selain itu, juga dilakukan kordinasi antara BBKSDA dengan instansi terkait, seperti aparat penegak hukum, perusahaan pemegang konsesi, NGO dan masyarakat. BBKSDA juga melakukan pemasangan plank/papan informasi untuk pemberitahuan.

"Kalau nantinya di lapangan tim menemukan satwa liar yang mengganggu manusia, akan kita lakukan penggiringan satwa ke habitatnya. Melakukan pemasangan box trap, kamera trap dan evakuasi terhadap satwa," ucap Suharyono.

Bahkan, BBKSDA lebih menggiatkan pelaksanaan patroli dan pembersihan jerat babi para pemburu yang dapat menimbulkan konflik. 

Sebab, jeratan milik masyarakat meski bertujuan menjerat babi,‎ namun justru yang masuk perangkap adalah harimau dan satwa lain yang dilindungi.

"Kalau kita temukan jeratan babi di sekitaran areal habitat satwa liar, akan langsung ditertibkan, dibongkar," jelasnya.

Suharyono tak menampik semakin sempitnya habitat satwa liar merupakan faktor dominan terjadi konflik dengan manusia. Adanya pembukaan lahan atau perubahan fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, membuat binatang hutan itu keluar ke pemukiman penduduk.

Hewan-hewan itu merasa wilayah jelajahnya sempit. Apalagi perburuan terhadap pakan satwa liar juga banyak, sehingga terkadang satwa itu keluar habitatnya untuk mencari makan. 

“Contohnya saja banyak pemburu memasang jerat babi. Babi salah satu sumber makanan harimau," jelasnya. 


Reporter: Sany Panjaitan
Editor: Mukhlison

Let's block ads! (Why?)

https://www.gatra.com/rubrik/nasional/pemerintahan-daerah/364775-Sejak-Januari-Terjadi-35-Kasus-Konflik-Manusia-dengan-Satwa-Liar-di-Riau

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Sejak Januari, Terjadi 35 Kasus Konflik Manusia dengan Satwa Liar ..."

Post a Comment

Powered by Blogger.