Search

Israel dan AS Cekik Keuangan Otoritas Palestina Jelang Rencana Perdamaian - Mata Mata Politik

Jelang dikeluarkannya rencana perdamaian Israel-Palestina yang diprakarsai Amerika Serikat, AS dan Israel tengah mencoba untuk mencekik keuangan Otoritas Palestina. Sampai saat ini, pihak yang berwenang atas rakyat Palestina itu menunjukkan pertentangannya atas perjanjian damai dari AS itu, karena menganggap AS sangat berat sebelah. Israel telah memangkas pemasukan untuk Palestina sedangkan AS telah menghentikan bantuannya untuk wilayah tersebut.

Oleh: Reuters/NBC News

Baca Juga: Rakyat Amerika Sudah Muak dengan Donald Trump

Israel dan Amerika Serikat tengah menekan keuangan Otoritas Palestina, yang perlawanannya terhadap rencana perdamaian AS dan kemarahan atas sanksi Israel tetap kuat.

Analis menganggap pemotongan bantuan AS untuk Palestina tahun lalu adalah upaya untuk membuat mereka menyetujui rencana perdamaian yang menurut AS akan memiliki manfaat ekonomi tetapi menurut Otoritas Palestina akan gagal mendukung negara Palestina.

Dan selama kampanye pemilihan ulang Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, pemerintah sayap kanannya menjatuhkan sanksi yang telah menyebabkan Otoritas Palestina mengalami krisis keuangan.

Pada bulan Februari, Israel mengumumkan akan memotong sekitar 5 persen pendapatan pajak, sekitar $190 juta, yang ditransfernya setiap bulan ke Otoritas Palestina di Tepi Barat yang diduduki Israel dan Jalur Gaza yang dikelola Hamas.

Jumlah yang dipotong itu setara dengan jumlah uang yang dibayarkan oleh Otoritas―yang menjalankan pemerintahan sendiri secara terbatas di Tepi Barat―untuk keluarga-keluarga Palestina yang dihukum dan dipenjara oleh Israel karena pelanggaran keamanan, termasuk serangan mematikan terhadap Israel.

Israel menyebut tunjangan itu sebagai kebijakan “membayar karena membunuh”. Warga Palestina menganggap saudara-saudara mereka yang dipenjara sebagai pahlawan dalam perjuangan untuk negara merdeka maka dari itu keluarga mereka layak mendapatkan dukungan keuangan.

Presiden Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas, telah menolak untuk menerima pembayaran pajak sebagian dari Israel, mengatakan Otoritas Palestina berhak atas pembayaran sepenuhnya di bawah kesepakatan perdamaian sementara.

Kecuali masalah ini terselesaikan, Bank Dunia mengatakan, kesenjangan pembiayaan Palestina dapat melebihi $1 miliar pada tahun 2019, menyebabkan semakin tertekannya ekonomi yang telah menderita dengan tingkat pengangguran 52 persen.

Setelah menghadapi donor internasional yang lesu, Palestina terpukul oleh pemotongan bantuan pemerintahan Trump senilai ratusan juta dolar tahun lalu. Pada bulan Februari, Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) mengumumkan pihaknya telah menghentikan semua bantuan ke Tepi Barat dan Gaza.

Walaupun Amerika Serikat dan Israel memberlakukan tekanan keuangan kepada Otoritas Palestina untuk alasan yang berbeda, tekanan ini terjadi tepat ketika Otoritas Palestina sedang bersiap untuk menerima rencana perdamaian AS.

POTONG GAJI

Khalid al-Asili, menteri ekonomi Otoritas Palestina, mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara pekan lalu bahwa mereka telah kesulitan untuk mengelola hanya 36 persen dari pendapatan yang dianggarkan.

Otoritas Palestina terpaksa memangkas gaji pegawai pemerintah pada bulan Februari, Maret, dan April untuk mengatasi krisis anggaran, dengan sebagian gaji pegawai negeri Palestina dipotong setengah.

“Jika mereka belum menemukan solusi … itu akan menjadi bencana bagi ekonomi Palestina,” kata Asili.

Menjelang peluncuran rencana perdamaian yang disebut Trum sebagai “kesepakatan abad ini”, Tareq Baconi, seorang analis International Crisis Group, mempertanyakan kebijaksanaan tekanan keuangan AS terhadap Palestina.

Strategi semacam itu, katanya, berasal dari “kepercayaan yang salah bahwa tekanan ekonomi akan membuat Palestina terpaksa melepaskan tuntutan politik mereka”.

Salah satu arsitek rencana ini, penasihat presiden dan menantu Trump, Jared Kushner, menolak mengatakan dalam sambutan publik di Washington pekan lalu mengenai apakah rencana itu akan mendukung solusi dua negara, tujuan dari upaya masa lalu untuk mengakhiri Sengketa Israel-Palestina.

Abbas dan para pejabatnya telah menolak untuk berurusan pada tingkat politik dengan pemerintahan Trump sejak pengakuan presiden AS atas Yerusalem sebagai ibukota Israel pada tahun 2017 dan pemindahan kedutaan AS ke Yerusalem Mei lalu.

Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh menolak “inisiatif politik apa pun yang tidak mengakhiri pendudukan Israel dan pendirian negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya”.

Palestina telah lama berupaya mendirikan negara di Tepi Barat dan Jalur Gaza, wilayah yang direbut Israel dalam Perang Timur Tengah 1967.

Saat kampanye pemilihannya kembali, Netanyahu semakin mengaburkan masalah kenegaraan ini dengan mengatakan bahwa dia akan mencaplok permukiman Israel di Tepi Barat jika dia menang, sebuah langkah yang menurut para pemimpin Palestina akan membunuh setiap prospek perdamaian.

RISIKO UNTUK KEDUA SISI

Walaupun kedua belah pihak sama-sama menunggu proposal AS, sanksi keuangan pada Otoritas Palestina bisa menjadi pedang bermata dua, menimbulkan risiko bagi stabilitasnya dan juga bagi Israel.

“Mengingat sumber utama legitimasi Otoritas Palestina adalah kapasitasnya untuk mempekerjakan sebagian besar tenaga kerja Palestina, ketidakpuasan internal dapat mengganggu kemampuannya untuk memerintah secara efektif,” kata Baconi.

Bagi Israel, melemahkan Otoritas Palestina bisa berdampak pada pasukan keamanan Palestina yang bekerja sama dengan militer Israel di Tepi Barat.

“Israel menerima begitu saja karena tidak pernah lagi mengalami serangan teroris besar sejak bertahun-tahun lalu,” kata Avraham Sela, profesor emeritus hubungan internasional di Universitas Ibrani Yerusalem.

“Koordinasi dengan Otoritas Palestina sangat berharga bagi keamanan Israel,” katanya.

Menteri Ekonomi Eli Cohen, anggota kabinet keamanan Netanyahu, mengatakan pada hari Senin (27/4) bahwa Israel “tidak tertarik” pada keruntuhan Otoritas.

Namun, ia mengatakan di TV Reshet Israel, menahan pendapatan pajak yang setara dengan jumlah “uang saku dan pensiun yang dibayarkan kepada teroris” dapat dibenarkan.

Baca Juga: Bagaimana Amerika Berada di Balik Lahirnya ISIS

“BENCANA”

Di kota Ramallah, Tepi Barat, Kadhim Harb, 50 tahun, yang bekerja di kementerian ekonomi, mengatakan pemotongan gaji telah membuatnya terpaksa menunda pembayaran pinjaman.

“Kami mengurangi segala pengeluaran. Kami hanya membeli barang-barang dasar,” kata Harb.

Seorang perwira polisi di Gaza, Ahmed, mengatakan gajinya dipotong sebesar 65 persen pada bulan Maret.

“Pemotongan gaji? Maksud Anda bencana pemotongan? Saya belum bisa membayar biaya kuliah anak saya semester ini,” kata Ahmed, 39 tahun.

Negara-negara dan lembaga-lembaga donor telah melangkah untuk mencoba menutupi defisit anggaran yang semakin besar.

Atas desakan Abbas, Liga Arab pada pertemuan di Kairo pekan lalu menjanjikan bantuan $100 juta per bulan untuk PA.

Bantuan itu akan menambah peningkatan dana dari negara-negara Teluk Arab setelah pemotongan AS. Arab Saudi pada tahun 2018 memberi $222 juta kepada Otoritas Palestina, naik dari $92 juta pada tahun 2017, kata Bank Dunia. Kuwait menyumbang $53 juta tahun lalu.

Namun, Otoritas Palestina menghadapi kesenjangan pembiayaan yang signifikan pada tahun 2018―sekitar $400 juta, atau sekitar 10 persen dari anggarannya―memaksanya untuk menambah tunggakan pinjaman dari bank lokal dan pemodal sektor swasta lainnya.

Keterangan foto utama: Seorang demonstran Palestina memegang Alquran saat berpartisipasi dalam protes terhadap keputusan Israel untuk memangkas dana tunjangan tahanan, di Hebron di Tepi Barat yang diduduki Israel, pada 19 Februari 2019. (Foto: Reuters/Mussa Qawasma)

Israel dan AS Cekik Keuangan Otoritas Palestina Jelang Rencana Perdamaian

Let's block ads! (Why?)

https://www.matamatapolitik.com/news-israel-dan-as-tekan-keuangan-otoritas-palestina-jelang-rencana-perdamaian/

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Israel dan AS Cekik Keuangan Otoritas Palestina Jelang Rencana Perdamaian - Mata Mata Politik"

Post a Comment

Powered by Blogger.