PUTUSAN FINAL, MENGIKAT, DAN BISA MELEBIHI PERMOHONAN
HAL pertama yang harus dipahami dari sengketa hasil pemilu adalah putusan yang dihasilkan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final dan mengikat. Perkara sengketa hasil pemilu bukan perkecualian.
Apa maksud dari final dan mengikat itu?
Sesuai Pasal 10 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK berwenang mengadili perkara pada tingkat pertama sekaligus terakhir.
Artinya, persidangan di MK mulai dari pemeriksaan pokok perkara tanpa ada mekanisme banding apalagi kasasi atas putusan yang dihasilkan.
Dalam "bahasa" Penjelasan Pasal 10 UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003, maksud dari final dan mengikat adalah:
"Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding)."
℘
Sebagai catatan, UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi hanya berisi perubahan dari UU sebelumnya, baik berupa penghapusan, penggantian, maupun penambahan.
KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman memimpin sidang perdana sengketa pilpres 2019 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019).
Itu pun, sebagian ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 2011 juga dibatalkan berdasarkan Putusan MK Nomor 49/PUU-IX/2011 tentang uji materi UU itu. Saldi Isra dan Arief Hidayat yang kini adalah Hakim Konstitusi merupakan dua dari delapan pemohon uji materi ini.
Perubahan kedua atas UU Nomor 24 Tahun 2003 terjadi pada 2013. Semula, perubahan ini memakai mekanisme peraturan pemerintah pengganti UU (perppu), yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Perppu tersebut kemudian diterima DPR dan disahkan menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Sebagaimana kali pertama, perubahan kedua UU MK juga hanya mengundangkan poin-poin yang berubah, baik berupa penghapusan, penggantian, maupun penambahan.
Bedanya dengan pengadilan umum
Kewenangan MK mengadili di tingkat pertama dan terakhir dengan putusan bersifat final dan mengikat tersebut, berbeda dengan pengadilan perkara pidana dan perdata alias pengadilan umum.
Di pengadilan umum, pokok perkara diperiksa pada pengadilan tingkat pertama. Putusan baru disebut berkekuatan hukum tetap dan bersifat mengikat ketika para pihak tak melakukan upaya hukum atas putusan hakim atau setelah ada putusan kasasi.
Di pengadilan umum, mekanisme banding dan atau kasasi tidak lagi memeriksa pokok perkara tetapi menelisik kemungkinan kesalahan penggunaan pertimbangan hukum dalam putusan hakim tingkat pertama.
Pokok perkara di pengadilan umum baru dimungkinkan diperiksa kembali dalam upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali (PK). Itu pun, PK mensyaratkan adanya bukti baru (novum).
Melebihi permohonan
Ini bahasan yang sempat ramai sekitar satu dekade lalu, dengan puncaknya adalah terbit UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.
Salah satu pemicunya adalah gara-gara MK memutus uji materi atas UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada 2006. Dalam putusannya, MK menambahkan di luar permohonan bahwa Komisi Yudisial (KY) tidak dapat mengawasi hakim konstitusi.
Ada pula kasus MK membatalkan seluruh UU padahal yang dimohonkan adalah uji materi atas sejumlah pasal. Tak berhenti di situ, MK memerintahkan pembuat UU untuk segera menyusun pengganti dari seluruh UU yang telah dibatalkan itu.
Sejak 2003 sampai 2011, setidaknya ada tujuh perkara uji materi UU yang mendapatkan putusan ultra petita di MK. Juga, ada paling tidak tiga perkara yang MK membentuk norma baru (positive legislator) melalui putusannya.
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A
Suasana sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6/2019).
Dengan ringkasan sejarah seperti itu, UU Nomor 8 Tahun 2011 antara lain memasukkan klausul tambahan berupa Pasal 45A sebagai perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003. Kontroversi tetap mengikuti, dari mereka yang pro dan kontra terhadap kemungkinan putusan ultra petita dari MK.
Bunyi Pasal 45A UU Nomor 8 Tahun 2011 adalah:
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh memuat amar putusan yang tidak diminta oleh pemohon atau melebihi Permohonan pemohon, kecuali terhadap hal tertentu yang terkait dengan pokok Permohonan.
Perubahan UU MK juga memasukkan Pasal 57 ayat (2a), yang eksplisit menyatakan putusan MK tidak boleh memuat:
- Amar selain ketentuan Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU MK,
- Perintah kepada pembuat UU,
- Rumusan norma sebagai pengganti norma dari UU yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Diundangkan pada Juni 2011, UU Nomor 8 Tahun 2011 sudah langsung diujimaterikan ke MK dan putusannya terbit pada Oktober 2011. Dalam permohonan, para pemohon meminta Pasal 57 ayat (2a) dibatalkan karena dinilai bertentangan dengan Pasal 45A.
Putusan MK adalah menolak uji materi untuk Pasal 57 ayat (2a). Meski demikian, Pasal 45A dianggap masih membuka ruang ultra petita bagi Hakim MK, sepanjang putusan yang melebihi permohonan pemohon itu memang masih terkait dengan pokok perkara pemohon.
https://nasional.kompas.com/jeo/hal-hal-yang-perlu-kita-tahu-soal-sengketa-hasil-pemilu-2019Bagikan Berita Ini
0 Response to "Hal-hal yang Perlu Kita Tahu soal Sengketa Hasil Pemilu 2019 - JEO Kompas.com - KOMPAS.com"
Post a Comment