Sebanyak 13 perusahaan swasta berkomitmen melakukan adendum IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) untuk mengurangi jumlah lahan yang dimiliki mereka.
Lahan yang dikurangi bakal dikembalikan kepada pemerintah untuk selanjutnya diserahkan kepada masyarakat.
Delapan dari 13 perusahaan tersebut berada di Riau, Jambi, Sumatra Selatan, dan Bangka Belitung. Sementara sisanya berada di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar menyebut total lahan yang dikembalikan kepada pemerintah dari ke-13 perusahaan tersebut mencapai sekitar 60.000 hektare.
“Jadi dengan konflik-konflik (agraria) ini sebenarnya juga kurang sehat untuk dunia usaha. Oleh karena itu, atas inisiatif mereka sendiri mengurangi jumlah area konflik di area mereka dan meminta KLHK untuk melakukan adendum pengurangan luas,” kata Siti dalam jumpa pers di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Hingga hari ini, KLHK telah menerima laporan 320 konflik agraria yang terjadi dalam kawasan hutan. Sebagian besar laporan kasus itu berasal dari Sumatra (201 kasus), disusul Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara dengan 53 kasus, Kalimantan 47 kasus, Sulawesi 13 kasus, serta Maluku dan Papua dengan 16 kasus.
“Di antara kasus yang masuk ini ada yang sedang kita tangani, (ada) yang sudah selesai dalam bentuk mediasi dan kesepakatan, lainnya masih dalam penyelesaian. Kita ikuti terus, kita rapat, kita dorong begitu,” jelas Siti.
Dirinya mengakui, KLHK tidak mungkin menyelesaikan seluruh laporan tersebut sendiri. Diperlukan adanya sinergi dengan semua pihak, baik antar-Kementerian/Lembaga, maupun dengan pelaku usaha.
Maka dari itu, selain dengan pelaku usaha, KLHK bakal mengupayakan penyelesaian konflik dengan instrumen lainnya.
Beberapa instrumen di antaranya melalui perubahan batas kawasan hutan. Instrumen tersebut pada dasarnya sudah termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004, termasuk dengan beberapa peraturan menteri terkait.
Kemudian, instrumen selanjutnya adalah dengan pelepasan kawasan melalui tanah objek reforma agraria juga tukar menukar kawasan hutan. Pada kondisi yang sangat sulit, misalnya ada pemukiman di zona inti taman nasional atau cagar alam, maka KLHK bakal melakukan resettlement (pemukiman ulang).
“Itu pun harus ada gradasinya kalau dikonservasi. Misalnya kita identifikasi dulu sebagai zona khusus,” tutur Siti.
Instrumen paling anyar yang juga akan diterapkan adalah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan yang dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Konsep pemberdayaan yang mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 juga bakal diterapkan. Konsep tersebut bakal disempurnakan dengan Peraturan Menteri Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
KLHK juga tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan instrumen pinjam pakai lahan yang diperuntukkan bagi pemukiman.
Salah satu persoalan yang paling sulit diselesaikan adalah konflik lahan yang melibatkan masyarakat adat. “Kenapa? Hutan adat itu ada definitifnya, pertama harus ada masyarakatnya, kedua harus ada wilayahnya. Jadi, gak bisa KLHK sendiri (yang selesaikan),” katanya.
Siti menekankan, penyelesaian konflik adat bisa rampung jika dua komponen tadi selesai. Masyarakat adat yang berkonflik juga harus berhadapan dengan peraturan daerah. Persoalan ini bisa jadi sangat panjang karena menyangkut proses politik.
“Karena belum ada legitimasi perda atau SK kepala daerah ini, maka kementerian menetapkan wilayah indikatif untuk hutan adat. Itu sebagai upaya percepatan. Kenapa kita tetapkan itu? supaya tidak diganggu-ganggu lagi oleh kepentingan lain,” tukasnya.
Dalam catatannya, wilayah indikatif hutan adat yang sudah diselesaikan mencapai 472.000 hektare. Luasan ini belum seberapa dari target 6,53 juta hektare lahan adat yang berkonflik.
Laporan berbeda
Pada kesempatan sama, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Sofyan Djalil menuturkan capaian berbeda dalam penyelesaian konflik agraria di wilayah hutan.
Kementeriannya menerima sekitar 4.000 kasus selama lima tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, 1.500 kasus di antaranya sudah diselesaikan.
Salah satu langkah penyelesaian yang dilakukannya adalah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
“Jadi kita daftarkan tanah dari desa ke desa, kabupaten per kabupaten, kota per kota, provinsi per provinsi. Dengan demikian, kalau seluruh tanah sudah terdaftar, maka konflik tanah pada masa yang akan datang bisa berkurang atau bahkan hilang,” kata Sofyan.
Jumlah kasus berbeda juga disampaikan Kepala KSP Moeldoko. Pihaknya mengklaim jumlah laporan konflik lahan yang masuk di kementeriannya berjumlah 666 perkara.
Seluruh kasus yang masuk itu terbagi menjadi dua kelompok, berdokumen dan tidak berdokumen. Setidaknya 435 kasus yang diterima KSP memiliki dokumen, sisanya tidak.
“Nah, ini juga menjadi persoalan,” kata Moeldoko.
Kendati begitu, Moeldoko menyebut tidak seluruh laporan kasus yang diterimanya memiliki kategori layak diselesaikan di tingkat pemerintah pusat. Pihaknya bakal memilah lagi kasus-kasus mana yang perlu penanganan khusus dari pusat.
Namun setidaknya ada 67 kasus yang dalam jangka pendek bisa diselesaikan pemerintah. “Inilah perlunya kita duduk bersama dengan berbagai kementerian dan lembaga, agar segera bisa dituntaskan,” tandas Moeldoko.
Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang diolah Beritagar.id, jumlah kasus konflik agraria di Indonesia tahun 2017 mencapai 659 kejadian di lahan seluas 520.491,87 hektare.
KPA mencatat konflik ini melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Angka kejadian konflik tahun 2017 ini meningkat signifikan sebesar 46 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Sejak tahun 2010, jumlah konflik agraria terus meningkat dan hanya menurun pada tahun 2015.
https://beritagar.id/artikel/berita/komitmen-penyelesaian-konflik-agrariaBagikan Berita Ini
0 Response to "Komitmen penyelesaian konflik agraria - BeritagarID"
Post a Comment