Tahun 2018 pemerintah kembali menerapkan sistem zonasi untuk PPDB dengan landasan hukum Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 14 Tahun 2018.
Meski sistem zonasi sudah diberlakukan sejak tahun lalu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ari Santoso menjelaskan, penerapan zonasi secara menyeluruh baru terjadi pada tahun ini dan menimbulkan banyak kehebohan.
"Karena tahun ini semua wajib menjalankan. Tahun lalu masih adaptasi. Tahun lalu bertahap, masih adaptasi dengan peraturan," ujar dia kepada CNNIndonesia.com, Kamis (12/7).
Dengan sistem lama yaitu PSB, daerah menerapkan kebijakan masing-masing. Salah satu seleksi yang populer digunakan adalah dengan NEM. Sistem lama, kata dia, seleksinya jauh lebih sederhana karena hanya memperhitungkan NEM dan hasil tes calon peserta didik baru.
Namun, sistem itu memiliki kekurangan, dalam hal ini soal ketidakmerataan pendidikan. Murid-murid pintar pada akhirnya akan bertumpuk di satu sekolah unggulan. Sistem lama ini juga menciptakan stigma sekolah favorit dan tidak.
"Stigmanya kan anak-anak pinter itu anak-anak orang kaya, anak pejabat ngumpul di situ semua. Bukan berarti anak miskin enggak pinter loh. Tapi kan sebagian besar mikir gitu. Akibatnya sekolah itu jadi fasilitasnya berlebihan," ujar dia.
Sementara dengan sistem zonasi, kata Ari, penerimaan calon peserta didik akan lebih rumit. Menurut dia, hal itu tidak masalah demi mencapai keadilan dalam pendidikan.
"Tapi tak apa rumit, kita jalankan agar tercapai keadilan pendidikan. Sekarang kan sekolah di pinggiran sudah di atas rata-rata NEM. Sekarang kan anak-anak pintar banyak yang sekolah di dekat rumahnya jadinya," kata dia.
Polemik
Kendati bertujuan baik, terdapat beberapa poin yang disoroti berbagai pihak dan menjadikan sistem zonasi PPDB tahun ini dipenuhi polemik.
Bahkan, Dini Fitriani (33) salah satu orang tua murid yang anaknya sampai kemarin belum diterima di sekolah negeri manapun, mengeluhkan beleid baru itu.
Dia lebih memilih sistem lama, yang mana calon peserta didik diterima berdasarkan kemampuan kognisinya, bukan jarak rumah dengan sekolah.
"Mending langsung dites ketahuan dapat atau enggak. Kalau tahun ini kan NEM kecil saja bisa masuk, kan dilihatnya dari zona, umur, dan NEM," ujar Dini kepada CNNIndonesia.com, di Tangerang, Rabu (11/7).
Begitu pun dengan Suwarna (44), orang tua siswa yang lain. Meski anaknya diterima di sekolah negeri yang diinginkan, ia mengakui kurang meratanya fasilitas pendidikan bakal membuat masyarakat kesusahan dengan sistem zonasi ini.
Pasalnya, dari jumlah keseluruhan siswa yang diterima, minimal sekolah menerima 90 persen calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat. Sisanya, lima persen untuk jalur prestasi dan lima persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial.
"Kalau sekolahnya banyak mungkin kita bisa banyak pilihan. Kelemahannya mungkin itu saja sih. Kalau yang kondisi sekolahnya cuma ada satu (dalam satu zona) kesulitan juga, daya tampungnya terbatas, untuk yang di luar zona enggak kebagian," ujar dia.
![]() |
Solusi
Pengamat Pendidikan Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen menilai terdapat dua akar masalah dari sistem zonasi PPDB tahun ini. Masalah pertama adalah terkait dasar penerapan zonasi sekolah.
Menurut dia pemerintah daerah berbeda-beda dalam mengartikan zonasi. Dia mencontohkan yang terjadi di Yogyakarta, pemda di sana menerapkan zonasi sekolah berdasarkan radius jarak antara sekolah dengan tempat tinggal calon peserta didik.
Sementara, di Kota Tangerang, pemdanya menerapkan zonasi berdasarkan wilayah kecamatan tempat sekolah tersebut.
Penerapan zonasi macam itu, kata dia, tentunya tidak bisa diterapkan di semua daerah. Mengingat jumlah sekolah negeri antara satu wilayah dengan lainnya tidak sama. Bisa saja, misalnya, dalam satu zona terdapat banyak sekolah, sementara di zona lain kekurangan.
Sebagai contoh, Kota Tangerang untuk level SMP terbagi dalam tiga zonasi. Pembagian sekolah di setiap zonasi itu pun tidak merata. Di zona 1 yang melingkupi kecamatan Ciledug, Larangan, Karang Tengah, dan Pinang hanya terdapat enam SMP. Sementara di zona dua yang melingkupi lima kecamatan terdapat 15 SMP.
"Kalau penerapan zonasi berdasarkan kecamatan dan jarak, banyak anak yang tidak bisa masuk. Jangan berpikir zona itu selalu terkait pembagian struktur atau wilayah pemerintahan," ujar Abduhzen saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (12/7).
Solusi untuk masalah ini, kata dia, pemerintah pusat dan daerah harus berkoordinasi serta menerapkan satu format dalam pembagian zonasi di masa mendatang. Menurut dia pembagian zonasi harus seimbang antara daya tampung dan jumlah calon peserta didik.
Pemerintah harus terlebih dahulu memperhitungkan jumlah lulusan SD dan SMP di satu wilayah. Setelah memperhitungkan itu, sekolah juga perlu memperhitungkan jumlah sekolah dan daya tampungnya.
Atas dasar perhitungan itu, pemerintah baru menentukan zonasinya. Selain itu, sambil berjalan pemerintah perlu memperbaiki fasilitas dan pemerataan kualitas pendidikan di daerah-daerah.
"Zona itu zona yang dibuat berdasarkan kebutuhan yang berimbang antara jumlah lulusan dan jumlah sekolah. Pembagian zona tiap tahun bisa berbeda, katakanlah ini masa transisi, tapi sambil dikejar perbaikan kualitas pendidikan secara merata," ujar Abduhzen.
![]() |
Setelah menerapkan zonasi, kata dia pemerintah juga perlu mengatur penerimaan dengan sistem ranking. Hanya saja sistem peringkat ini tetap berdasar pada zonasi yang telah dibuat sebelumnya.
Sistem perankingan dilihat berdasarkan nilai akademis dengan penambahan poin untuk NEM masing-masing calon siswa baru sebagai acuan penerimaan.
Sebagai contoh si A masuk dalam zona sekolah, maka dia mendapat tambahan poin, misalnya 20. Lalu si B yang tinggal di dekat sekolah tapi berada di luar zona sekolah dapat tambahan poin 10. Sementara si C yang berasal dari luar zonasi dan jauh dari sekolah tidak mendapat tambahan poin.
"Dengan demikian itu terakomodasi segala kepentingan," terang Abduhzen.
Selain perkara zonasi, penetapan 20 persen pembebasan biaya untuk pemilik SKTM dan kuota masing-masing 5 persen untuk murid berprestasi, serta jalur khusus/pindahan luar kota perlu diberikan penegasan kembali. Pasalnya kebijakan ini saling tumpang tindih.
Pada Bagian Keenam tentang Biaya di pasal 19 Permendikbud 14 tahun 2018 tentang PPDB berbunyi, 'Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah daerah provinsi paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima dibuktikan dengan SKTM.'
Sementara mulai dari Pasal 1 sampai 6 Bagian Keempat tentang Sistem Zonasi, tidak satu pasal pun menyebut SKTM sebagai perhitungan untuk penerimaan calon peserta didik baru.
Sayangnya, terdapat beberapa daerah seperti di Jawa Tengah dan Jawa Barat yang mengimplementasikan aturan ini bahwa calon peserta didik yang memiliki SKTM dapat langsung diterima.
"Ke depan pemerintah harus mensikronkan atau lebih menjelaskan tentang di mana posisi 20 persen yang tidak mampu dengan 5 persen jalur prestasi dan jalur khusus itu. Kalau dilihat ini tumpang tindih dan ada 30 persen jalur yang bisa diotak-atik," terang dia.
Terlepas dari permasalahan implementasinya, sistem zonasi ini secara substansi dan tujuannya dia nilai sudah bagus, yakni pemerataan pendidikan di daerah. Menurut Abduhzen sistem zonasi PPDB ini patut dipertahankan, namun dengan implementasi yang lebih baik. (osc/osc)
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180712190640-20-313662/polemik-sistem-zonasi-dan-format-masa-depan-ppdbBagikan Berita Ini
0 Response to "Polemik Sistem Zonasi dan 'Format Masa Depan' PPDB"
Post a Comment