Search

Konflik di Papua bisa diselesaikan tanpa kekerasan

Kita menyaksikan bahwa konflik kekerasan di Ambon, Poso, dan Atjeh, semuanya bisa diselesaikan Pemerintah tanpa melakukan aksi kekerasan. Konflik-konflik ini diatasi dan diakhiri secara permanen bukan dengan mengangkat senjata, menghabisi pihak lain yang dipandang sebagai musuh, saling mempersalahkan pihak lain, tetapi dengan menempuh jalan tanpa kekerasan.

Dari pengalaman keterlibatan pemerintah dalam mengatasi konflik kekerasan, kita belajar bahwa untuk mengatasi konflik tanpa kekerasan, kedua belah pihak yang bermusuhan, berperang, dan berkonflik mesti bertemu, berdiskusi, dan mencari solusi bersama. Kedua belah pihak mesti difasilitasi agar mereka dapat mencapai kesepakatan  tentang  solusi penyelesaian konflik kekerasannya. Berpegang pada kesepakatan bersama ini, kedua belah pihak dituntut berkomitment untuk tidak lagi melalukan aksi kekerasan.Dengan demikian, konflik kekerasan diakhiri secara damai. Penyelesaian konflik tanpa kekerasan ini memungkinkan kedua belah pihak yang sebelumnya bermusuhan, kini dapat bersahabat , dan secara bersama bergandeng tangan menata masa depannya dan memperjuangkan terciptanya perdamaian di daerahnya. Penyelesaian konflik tanpa kekerasan ini  memberikan hasil yang memuaskan semua pihak. Terbukti bahwa, hingga kini kita tidak mendengar lagi berita tentang adanya konflik kekerasan di  Ambon, Poso dan Atjeh.

Pengalaman dari Ambon, Poso, dan Atjeh, mengajarkan bahwa bukan tidak mungkin konflik-konflik di tanah Papua dapat diakhiri tanpa kekerasan.  Sebagaimana di tiga daerah ini, konflik-konflik di tanah Papua bisa diakhiri dan diselesaikan tanpa kekerasan. Orang-orang yang terlibat dalam konflik ini mempunyai kemampuan dan potensi untuk mengatasi dan mengakhiri konflik kekerasan secara damai, tanpa kekerasan.

Untuk mengakhiri konflik kekerasan di tanah Papua, perlu dibedah jenis konflik yang terjadi di tanah Papua.

Konflik Vertikal

Pertama, di Papua ada konflik vertikal yakni antara Pemerintah yang direpresentasi oleh TNI-POLRI dan orang Papua, khususnya yang diwakili oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB). Konflik vertikal ini terjadi sejak tahun 1963, dan masih berlangsung hingga kini. Banyak orang sudah menjadi korban akibat konflik kekerasan yang terjadi selama 55 tahun ini. Kita tidak ingin jumlah korbannya terus bertambah. Berbagai bentuk aksi kekerasan telah dilakukan oleh kedua belah pihak untuk mengakhiri konflik ini, tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa konfliknya masih belum berakhir. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh pihak manapun, dengan menggunakan alasan yang seluhur apapun, tidak akan berhasil menyelesaikan konflik ini. Malah hanya akan melahirkan kekerasan-kekerasan yang baru.

Maka kekerasan yang mewarnai konflik vertikal antara Pemerintah yang diwakili TNI-POLRI dan TPN yang sudah terjadi selama lima dekade ini tidak perlu diteruskan, dengan alasan pun. Aksi kekerasan, tidak akan mengakhiri konflik ini, karena kekerasan tidak pernah akan berhasil menyelesaikan konflik vertikal ini.

Belajar dari pengalaman di Atjeh, konflik vertikal di tanah Papua pun dapat diselesaikan tanpa kekerasan. Caranya adalah dengan mengedepankan jalan tanpa kekerasan, seperti gencatan senjata. Karena itu, gencatan senjata sengaja diusulkan sebagai cara yang damai untuk mengatasi dan mengakhiri konflik vertikal ini.

Konflik horizontal

Tanah Papua juga diwarnai oleh adanya konflik horizontal yakni konflik kekerasan antara warga sipil yang disebabkan oleh masalah adat.  Konflik ini pun dapat diatasi  bukan dengan melakukan kekerasan terhadap pihak lain yang dipandang bersalah, atau melakukan aksi saling membalas dengan melakukan kekerasan. Kekerasan tidak akan berhasil mengatasi dan mengakhiri konflik horizontal.

Untuk mengakhiri dan menyelesaikan konflik horizontal, mesti ditempuh upaya penyelesaian tanpa kekerasan. Masyarakat adat mempunyai mekanisme tersendiri untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah adat.  Kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik kekerasan perlu difasilitasi agar mereka dapat bertemu mengidentifikasi dan memperjelas masalah dan faktor penyebabnya, kemudian menemukan dan menetapkan solusinya secara damai, tanpa kekerasan.

Pemerintah perlu membentuk forum yang dapat berperan sebagai fasilitator dan mediator yang mempertemukan kedua kelompok yang bertikai agar mereka dapat membahas dan menghasilkan suatu solusi yang disepakati secara bersama. Pertemuan kedua belah pihak ini dapat berlangsung selama beberapa hari atau minggu. Dan akhir dari pertemuan ini adalah kesepakatan bersama untuk mengakhiri konfliknya tanpa kekerasan. Kesepatan yang dihasilkan ini bukan merupakan hasil pemaksaan kehendak dari salah satu pihak yang menganggap dirinya benar dan kuat terhadap pihak lain yang dipandang lemah. Kesepakan tersebut dicapai setelah didiskusikan dan disetujui bersama oleh kedua belah pihak. Kesepakatan ini, selanjutnya, menjadi pegangan bersama untuk mengakhiri dan mencegah konflik kekerasan di masa mendatang.

Ada juga konflik horizontal yang terkait pemilhan kepada daerah (pilkada) yang terjadi di beberapa kabupaten. Masyarakat terbagi dalam dua kelompok yakni satu kelompok yang mendukung calon tertentu melawan kelompok lain yang mendukung calon lain. Anggota masyarakat menjadi korban kekerasan. Terkadang aparat POLRI yang hadir untuk menjaga keamanan pun menjadi korban kekerasan ini.

Bagaimana menyelesaikan kasus  konflik horizontal yang terjadi terkait dengan pemilu? Tentu, saling membalas aksi kekerasan tidak akan mengakhiri konflik seperti ini. Dalam kasus seperti ini, peranan elit politik lokal sangat menentukan. Konflik kekerasan dapat terjadi ketika rakyat didorong dan diprovokasi untuk memperjuangkan kehendak para elit politik lokal dengan menggunakan kekerasan.

Apabila para elit politik lokal menempuh jalur hukum, seperti membawa masalah pilkada ke Mahkamah Konstitusi, maka konflik kekerasan dapat dihindari. Sebab itu, diperlukan adanya kesepakatan dan komitmen bersama antara para elit politik lokal baik para calon bupati dan wakil bupati maupun para calon legislatif Kabupaten dan Provinsi untuk tidak memprovokasi rakyat dan akan menyelesaikan perbedaan hasil pemilu melalui jalur hukum. Pemerintah Daerah, KPU, dan PANWAS kabupaten dapat berperan sebagai fasilitator dan mediator yang membuka ruang bagi para elit politik lokal untuk mencapai komitmen bersama akan pemilu yang aman dan damai. Melalui cara seperti ini, kekerasan yang terkait dengan pemilu dapat dihindari dan dicegah.

Dengan demikian, baik konflik vertikal maupun konflik horizontal di tanah Papua dapat diakhiri dan dicegah tanpa kekerasan.

Let's block ads! (Why?)

https://www.pasificpos.com/item/29831-konflik-di-papua-bisa-diselesaikan-tanpa-kekerasan

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Konflik di Papua bisa diselesaikan tanpa kekerasan"

Post a Comment

Powered by Blogger.