Search

Langkah PBB dalam Menghapuskan Tentara Anak di Zona Konflik Dunia - Mata Mata Politik

Perserikatan Bangsa-Bangsa baru saja mengeluarkan laporan daftar hitam negara-negara dan kelompok yang bersalah karena mengeksploitasi anak-anak dalam perang–termasuk merekrut tentara anak. Namun, beberapa negara juga dikeluarkan dari daftar itu karena berhasil memperbaiki diri mereka, seperti Sudan dan Kolombia. Kemungkinan kecil kesuksesan Sudan dan FARC membuktikan anak di bawah umur dapat dilindungi dari konflik.

Oleh: Jonathan Kolieb (Foreign Policy)

Dalam laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perlindungan anak-anak selama konflik bersenjata, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menghapuskan tiga pasukan bersenjata yang sebelumnya disebutkan untuk catatan rekam jejak yang mengerikan: pasukan keamanan pemerintah Sudan, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC/Revolutionary Armed Forces of Colombia), dan pasukan Arab Saudi yang beroperasi di Yaman.

Keberhasilan ketiganya dalam melakukan hal itu terbukti berguna. Jika negara-negara lain yang bergantung pada tentara anak mempelajari hikmah dengan benar, proporsi yang lebih besar dari sekitar 350 juta anak yang saat ini terkena dampak konflik bersenjata akan jauh lebih baik.

Sebagian besar, tahun 2017 adalah, sebagaimana UNICEF menyebutnya, “tahun mimpi buruk” bagi anak-anak yang terjebak dalam zona konflik. Menurut laporan Guterres, pada tahun tersebut telah terjadi 21.000 pelanggaran berat hak-hak anak di zona konflik bersenjata. Angka tipis dan peningkatan, sebanyak 35 persen dari angka 2016, sangatlah mengkhawatirkan.

Hal ini mencerminkan meningkatnya jumlah anak-anak yang dipaksa menjadi pelaku bom bunuh diri, misalnya di Afghanistan dan Nigeria; diculik; dan menjadi korban insiden kekerasan seksual terhadap anak-anak. Milisi dan angkatan bersenjata lainnya terus merekrut dan mengeksploitasi anak-anak sebanyak puluhan ribu jiwa.

Unsur paling penting sekaligus kontroversial dari laporan Guterres adalah lampirannya, yang menyebutkan kelompok-kelompok yang bertanggung jawab atas pelanggaran terburuk hak-hak anak. Mencantumkan daftar hitam telah memicu pemantauan dan pelaporan lanjutan oleh PBB.

Dua puluh negara dan 66 kelompok pejuang disebutkan di sana, lebih banyak sebanyak tiga kelompok daripada tahun 2016. Milisi di Republik Demokratik Kongo, Mali, dan Yaman disebutkan untuk pertama kalinya karena pelanggaran hak yang meliputi pemerkosaan yang meluas, penculikan, dan perekrutan besar-besaran anak di bawah umur.

Namun, pada saat yang sama, pasukan pemerintah Sudan dan FARC membuat kemajuan berkelanjutan dalam mengakhiri dan menghapuskan perekrutan tentara anak.

Tahun 2016, Presiden Sudan Omar al-Bashir, yang tidak dikenal karena kepatuhannya dengan hukum internasional, menandatangani rencana aksi multi tahunan dengan perwakilan khusus PBB untuk anak-anak dan konflik bersenjata. Kemungkinan besar tidak ada alasan tunggal untuk sikap kooperatifnya yang tiba-tiba.

Alih-alih, kombinasi faktor, termasuk keinginan untuk bergerak melampaui status pariah global, lebih sedikit kebutuhan militer untuk tentara anak-anak, hampir satu dekade dorongan lunak dari para pejabat PBB, dan empat tahun negosiasi, di antara hal lain, mungkin mendorongnya untuk menyetujui rencana tersebut.

Sejak penandatanganan, pasukan pemerintah Sudan telah bekerja dengan PBB untuk menyelesaikan semua langkah yang ditentukan untuk mengakhiri perekrutan anak. Hal ini termasuk arahan dan peraturan baru pemerintah yang melarang praktik tersebut serta prosedur bagi komunitas untuk melaporkan pelanggaran. Kelak akan diketahui apakah langkah-langkah tersebut tetap bertahan, tetapi untuk saat ini kemajuan Sudan telah dan harus dipuji.

Bagi FARC, keputusan untuk melepaskan semua tentara anak-anak mereka adalah bagian tak terpisahkan dari proses perdamaian dengan pemerintah Kolombia. Selama empat dekade konflik, FARC diduga telah mendaftarkan 12.000 anak sebelum melarang perekrutan anak pada tahun 2015.

Selama tahun-tahun berikutnya, FARC secara progresif melepaskan semua tentara anak-anak yang tersisa di antara pasukan mereka, menurut penelitian yang dilakukan oleh PBB. Tanda harapan lain datang tahun 2018 dengan pembentukan mekanisme keadilan transisional Kolombia, termasuk “Pengadilan Perdamaian,” yang diharapkan dapat mendatangkan banyak anak muda korban kejahatan perang (yang sama-sama dilakukan oleh pemerintah dan pasukan gerilya) ke pengadilan.

Lebih jelasnya, Sekretaris Jenderal PBB juga menghilangkan pasukan pemerintah Yaman dan koalisi yang dipimpin Arab Saudi di Yaman dari daftar hitam utama pelanggar hak anak dalam konflik bersenjata. Hal ini terlepas dari fakta bahwa PBB mengaitkan lebih dari 600 korban anak-anak dengan pasukan yang dipimpin Saudi pada tahun 2017 dan terlepas dari tuduhan-tuduhan yang terkenal tentang penembakan sekolah dan rumah sakit yang disengaja oleh Saudi.

Sebaliknya, pasukan Yaman dan Saudi sama-sama terdaftar di bagian terpisah untuk “pihak-pihak yang menerapkan tindakan yang bertujuan meningkatkan upaya perlindungan anak-anak.” Ini terjadi setelah mantan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon secara kontroversial menghapus Arab Saudi dari daftar hitam laporan 2016. Moon mengutip ancaman Saudi untuk menarik pendanaan AS untuk membenarkan keputusannya, dan perhitungan serupa mungkin sedang dimainkan saat ini.

Lebih lanjut, meskipun laporan tersebut menyebutkan beberapa milisi Irak atas kejahatan mereka terhadap anak-anak (termasuk perekrutan anak), laporan PBB tersebut gagal menyertakan pemerintah Irak dalam lampirannya. Israel maupun kelompok Palestina apa pun tidak pernah terdaftar, meskipun laporan mencatat bahwa Sekretaris Jenderal PBB “sangat prihatin” tentang kekerasan yang sedang berlangsung terhadap anak-anak di Israel dan berbagai wilayah Palestina. Dalam semua contoh ini, politik jelas memainkan peran.

Terlepas dari kekurangannya, laporan tahunan Sekretaris Jenderal PBB tetap merupakan alat yang berguna untuk menarik perhatian komunitas internasional terhadap penderitaan anak-anak dalam konflik bersenjata. Selain itu, terlihat jelas dari langkah-langkah positif yang dilakukan oleh pemerintah Sudan dan FARC bahwa berada di daftar hitam dapat menjadi pendorong untuk menunjukkan perilaku yang lebih baik.

Meski demikian, politisasi daftar hitam PBB adalah simbol dari keprihatinan yang lebih besar. Pelanggaran besar terhadap hak-hak anak selama konflik sedang meningkat, dan terlalu sedikit yang telah dilakukan untuk melindungi generasi berikutnya dari kerusakan perang. Sistem hukum internasional saat ini yang dirancang untuk melindungi anak-anak selama konflik telah membuat mereka gagal.

Untuk memperkuat perlindungan bagi anak-anak dalam perang, beberapa kesenjangan dan inkonsistensi harus diatasi. Misalnya, hukum humanitarian internasional tidak memasukkan larangan tegas atas penculikan anak-anak selama konflik. Selain itu, berbagai perjanjian yang menawarkan perlindungan kepada warga sipil di zona konflik menggunakan istilah yang berbeda untuk menggambarkan standar perawatan minimum yang khusus dimiliki anak-anak.

Mungkin yang paling mencolok, hukum internasional kurang memberikan perlindungan bagi sekolah di daerah konflik, dibandingkan dengan perlindungan yang telah diberlakukan terhadap rumah sakit dan fasilitas medis. Sedangkan Konvensi Jenewa secara eksplisit melarang menyerang rumah sakit dan memberikan mereka simbol yang dilindungi khusus (Palang Merah dan Bulan Sabit Merah).

Sebaliknya, sekolah tidak mendapatkan simbol khusus maupun larangan untuk diserang. Faktanya, sekolah hanya menawarkan perlindungan dari serangan, sama halnya dengan infrastruktur sipil lainnya, itu pun tidak banyak. Misalnya, di Afghanistan, sekolah secara teratur dibombardir dan staf mereka dipenggal. Menurut UNICEF, di Yaman, 2 juta anak telah dikeluarkan dari sekolah. Lebih dari 4 juta berada di bawah ancaman kehilangan akses mereka ke sekolah karena kurangnya dana, guru, dan bangunan.

Koalisi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang terus berkembang didedikasikan untuk mengatasi kesenjangan ini. Tahun 2015, koalisi mereka (dipimpin oleh Argentina dan Norwegia) menciptakan “Deklarasi Sekolah Aman” dan mengundang negara-negara untuk berkomitmen melindungi sekolah agar tidak digunakan untuk keperluan militer dan agar tidak diserang.

Lebih dari 80 negara telah menandatangani inisiatif ini, termasuk banyak negara di Eropa dan Afrika. Negara yang menandatangani harus mendorong lebih banyak negara untuk bergabung, selain dari daftar pendukung termasuk Australia, China, Rusia, dan Amerika Serikat. Semua negara harus bergerak lebih dari sekadar komitmen politik, tapi juga turut mengimplementasi pedoman deklarasi secara aktual untuk melindungi sekolah dan universitas dari penggunaan militer selama konflik bersenjata.

Di luar itu, Dewan Keamanan PBB harus mempertimbangkan kembali bagaimana PBB memutuskan untuk menyertakan negara-negara ke daftar hitamnya. Saat ini, hanya lima dari enam pelanggaran berat terhadap hak-hak anak selama konflik bersenjata yang diakuinya memicu untuk memasukkan suatu negara.

Menolak akses kemanusiaan kepada anak-anak adalah yang aneh, dan anehnya begitu. Merupakan prinsip hukum internasional yang sudah mapan bahwa warga sipil. terutama anak-anak, harus diberikan perawatan dan bantuan yang mereka butuhkan. Juga relatif mudah untuk melakukan verifikasi atas contoh-contoh di mana akses kemanusiaan ke anak-anak telah ditolak (misalnya: mengepung kota atau menolak jalan menuju bantuan). Dewan Keamanan PBB harus dengan cepat memperbaiki anomali ini dalam sistem pemantauan dan pelaporan PBB.

Melakukan hal itu akan menunjukkan bahwa keenam pelanggaran tersebut merupakan masalah yang sama penting dan paling diutamakan. Yang lebih penting, hal itu dapat mendorong PBB maupun lembaga kemanusiaan lainnya untuk lebih banyak mengawasi dan merespon situasi seperti itu di Yaman yang dilanda kelaparan, di mana jutaan anak berisiko kelaparan, dan membantu mengakhiri kekebalan hukum yang dimiliki pihak-pihak yang bertikai yang menolak atau membatasi pengiriman bantuan kepada anak-anak di zona konflik.

Untuk saat ini, melanggar salah satu dari enam pelanggaran berat hak-hak anak selama konflik bersenjata dapat dianggap sebagai kejahatan perang, yang membuka kemungkinan penuntutan di Mahkamah Pidana Internasional (ICC/International Criminal Court) atau di sejumlah pengadilan domestik masing-masing negara. Bahkan, Thomas Lubanga Dyilo, orang pertama yang menghadapi persidangan di ICC, dihukum atas tuduhan merekrut tentara anak-anak. Tapi kasusnya luar biasa. Pengadilan dan para pendukungnya harus memprioritaskan kembali upaya penuntutan atas pelaku kejahatan perang terhadap anak-anak.

Akhirnya, UNICEF dan Kantor Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal untuk Anak-anak dan Konflik Bersenjata memerlukan lebih banyak dukungan dari pemerintah nasional yang tertarik untuk melindungi hak-hak anak. Bersama dengan organisasi masyarakat sipil, mereka bekerja untuk mendidik angkatan bersenjata untuk mempromosikan perawatan yang lebih baik untuk anak-anak di area konflik. Mereka juga mengembangkan mekanisme yang semakin canggih untuk mengumpulkan dan mempublikasikan informasi tentang pelanggaran hak-hak anak.

Peningkatan pendanaan dari pemerintah yang berpartisipasi akan membantu mempercepat upaya ini. Dana tersebut juga dapat mendukung pekerjaan pasca konflik untuk membangun kembali kehidupan dan komunitas anak-anak. Pelucutan senjata, demobilisasi, dan reintegrasi mantan tentara anak-anak telah menjadi fokus khusus PBB, tetapi langkah itu menunjukkan keberhasilan yang beragam, sebagian alasannya karena kurangnya sumber daya. Selain cenderung pada efek fisik dan psikologis yang sering bertahan lama setelah permusuhan berakhir, negara-negara juga perlu membangun kembali sekolah dan berbagai lembaga lainnya.

Pada dasarnya, mungkin ada satu pelajaran bersama yang dapat dipelajari dari kemajuan Sudan dan Kolombia dalam melindungi anak-anak selama perang maupun kegagalan Yaman dalam bencana kemanusiaan. Pelajaran tersebut ialah bahwa dalam mencegah dan menyelesaikan konflik bersenjata dan melakukan pembangunan kembali setelahnya, semua pihak harus memiliki fokus yang jelas dalam melindungi dan memperjuangkan hak-hak anak.

Melindungi anak-anak yang terkena dampak konflik bersenjata adalah keharusan moral. Mereka adalah korban yang paling rentan dan tidak bersalah.

Ketika bertemu pada bulan Juli 2018 untuk membahas masalah ini, Dewan Keamanan PBB memberi tajuk debatnya: “Melindungi Anak-snak Saat Ini Akan Mencegah Konflik di Masa Depan.” Hal itu benar adanya, dan kita pasti dapat melakukan pekerjaan ini dengan lebih baik.

Keterangan foto utama: Tentara anak-anak yang baru dibebaskan menunggu dalam barisan untuk pendaftaran mereka selama upacara pelepasan di Yambio, Sudan Selatan, 7 Februari 2018. (Foto: AFP/Getty Images/Stefanie Glinski)

Langkah PBB dalam Menghapuskan Tentara Anak di Zona Konflik Dunia

Let's block ads! (Why?)

https://www.matamatapolitik.com/langkah-pbb-dalam-menghapuskan-tentara-anak-di-zona-konflik-dunia/

Bagikan Berita Ini

Related Posts :

0 Response to "Langkah PBB dalam Menghapuskan Tentara Anak di Zona Konflik Dunia - Mata Mata Politik"

Post a Comment

Powered by Blogger.