Dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (30/7), Wakil Presiden CNRP Mu Sochua menyebut gelaran pemilu itu sebagai "kematian demokrasi" dan sejarah gelap Kamboja.
"Pemilu kemarin seharusnya menjadi perayaan bagi demokrasi di mana warga berhak memilih sendiri pemerintah yang mereka inginkan. Tapi, partai berkuasa berupaya menggelar pemilu palsu yang melanggar konstitusi negara dan komitmen internasional dengan tak memberikan warga Kamboja pilihan lain," kata Sochua.
"Kami dengan tegas menolak hasil pemilu 29 Juli kemarin-yang menurut kami bagaikan pertunjukan sirkus-karena konsekuensi serta bahayanya." PM Hun Sen dipastikan kembali berkuasa untuk lima tahun ke depan setelah CPP menang telak dalam pemilu kemarin. Kemenangan itu disebut palsu lantaran dia terlebih dahulu menyingkirkan seluruh pesaing dan pengkritiknya, termasuk CNRP.
Hun Sen membubarkan CNRP tahun lalu lewat keputusan Mahkamah Agung. Dia juga memenjarakan sejumlah anggota partai tersebut dengan tudingan pengkhianatan.
PM yang sudah menjabat selama 30 tahun terakhir juga membubarkan sejumlah media dan organisasi untuk membendung kritik yang dapat merusak peluangnya untuk kembali berkuasa.
"Tanpa partai pilihan rakyat Kamboja, jutaan warga Kamboja tidak memiliki pilihan selain memboikot pemilu. Masyarakat terus hidup di tengah intimidasi dan ancaman konstan dari partai berkuasa yang memaksa mereka untuk memilih," tutur Sochua.
Di Jakarta, Sochua turut meminta komunitas internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Uni Eropa, ASEAN, termasuk Indonesia, untuk tidak mengakui kemenangan Hun Sen.Menurutnya, perbuatan Hun Sen menjadikan gelaran pemilu Kamboja kemarin tidak bisa diterima dan diakui secara hukum.
Dalam jumpa pers di Jakarta, partai oposisi menolak mentah-mentah hasil pemilu Kamboja. (CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)
|
Dalam kesempatan yang sama, advokat hak asasi manusia, Marzuki Darusman, mengatakan kisruh pemilu Kamboja tak hanya berpengaruh bagi negara tersebut, tapi juga mengancam penerapan demokrasi di Asia Tenggara.
Mantan Pelapor Khusus PBB untuk penegakan HAM di Korea Utara itu menganggap apa yang terjadi Kamboja saat ini bisa memberikan efek domino bagi negara tetangga."Ini seharunya bisa memberi peringatan bagi Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar di kawasan, untuk menganggap serius masalah demokratisasi di kawasan," kata Marzuki.
"Yang terjadi di Kamboja ini membingungkan ASEAN dan komunitas internasional lainnya. Ini bisa menjadi kebiasaan bagi negara ASEAN. Yang terjadi di Kamboja bisa menggambarkan apa yang saat ini terjadi di Myanmar saat ini, bahkan Filipina dan Thailand," tutur mantan Jaksa Agung RI.
Lebih lanjut, Marzuki mendorong pemerintah Indonesia dan negara ASEAN lain membujuk pemerintah Kamboja berdialog untuk menyelesaikan masalah pemilu dan penerapan demokrasi yang lebih sehat.
"Indonesia dan negara ASEAN lain harus bisa menyuarakan ini dengan meminta penjelasan pemerintahan Hun Sen mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Forum-forum ASEAN bisa dimanfaatkan Indonesia untuk membicarakan masalah demokrasi dengan pemerintah Kamboja."
(aal)
ARTIKEL TERKAIT
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Oposisi: Hasil Pemilu Tanda Kematian Demokrasi Kamboja"
Post a Comment